Menjelang Proklamasi
![Menjelang Proklamasi](https://merahputih.com/media/77/03/1c/77031c309194c247b2901b6ef35ac463.jpg)
Badanku terasa remuk redam. Hari-hari menegangkan penuh tekanan yang melelahkan beberapa hari ini membuat malariaku menyerang kembali. Fat istriku memeriksa suhu tubuhku.
“Empat puluh derajat. Tinggi sekali Bung,” Fat menggumam sambil menempelkan handuk hangat di dahiku. Lalu meminumkan obat penurun panas yang diberikan dokter Suharto. Badanku menggigil dari kepala hingga ke kaki.
Dua kali aku dihajar penyakit yang nyaris merenggut nyawaku ini. Yang pertama kudapat ketika aku dibuang ke Endeh, kampung nelayan di Pulau Bunga yang terpencil di Flores tahun 1934. Kedua, ketika aku dan Hatta dibawa ke Makassar untuk bertemu pembesar Jepang pada bulan Maret 1945. Pertemuan rahasia untuk membicarakan bagaimana bentuk negara ini di masa mendatang di tengah serangan sekutu yang tak henti-henti. Selama lima hari di Makassar kami mengalami pemboman oleh Sekutu lebih dari 20 kali. Karenanya kami terus-menerus sembunyi di dalam lubang perlindungan yang penuh bermacam jenis serangga. Seekor nyamuk telah menggigitku dan menjangkitkan sejenis penyakit malaria baru yang lebih ganas, malaria tertiana. Ia terus menetap di tubuhku dan menyerang setiap dua hari tanpa ampun. Tak tersembuhkan.
Tanggal 15 Agustus jam 12. 00 waktu Tokyo, Jepang bertekuk lutut. Pendudukan Jepang di bekas wilayah Hindia Belanda secara resmi berakhir. Sejak itu, suasana di Jakarta seolah sedang “hamil tua”. Kasak kusuk tentang akan adanya proklamasi telah terdengar. Kata “proklamasi” dan "merdeka" seperti mengandung kekuatan gaib di kalangan rakyat. Rasa antusias dan cemas bercampur aduk.
Sekitar jam 10 malam, para pemuda tak sabaran memenuhi beranda rumahku di Pegangsaan Timur 56. Mereka mendesakku untuk segera mengumumkan kemerdekaan. “Kita kobarkan revolusi malam ini juga. Kami sudah siap. Dengan satu isyarat dari Bung, seluruh Jakarta akan terbakar,” seru Chairul Saleh.
Aku menolak keras. Aku tak mau ada pertumpahan darah sia-sia karena tindakan gegabah. Setiap langkah harus penuh perhitungan karena Jepang yang putus asa masih memiliki senjata. Di tengah perdebatan itu, Hatta dan Soebardjo datang. Mendengar tuntutan mereka agar proklamasi dilakukan malam itu juga atau besok pagi, Hatta juga menolak.
“Tidak bisa, besok pagi Panitia Persiapan baru akan rapat. Tak mungkin kami menyampingkan anggota Panitia Persiapan yang lain.”
Mendengar itu, Wikana menjawab, “Kami tidak mau proklamasi dilakukan oleh Panitia Persiapan. Itu badan bentukan Jepang!”
‘Kalau kalian anggap kami bekerja sama dengan Jepang, kalian carilah orang lain untuk melakukannya!” sahut Hatta. Nada suaranya rendah tetapi lugas.
Pembicaraan terus memanas. Dalam temaram cahaya lampu, mataku menangkap sekilas benda berkilat. Nampaknya seperti sepotong baja. Kuperhatikan lebih seksama, itu adalah sebilah pisau panjang pada ikat pinggang salah seorang pemuda. Akupun menyadari bahwa tamu-tamuku bersenjata lengkap; bedil, pisau, bahkan golok. Mereka siap menodongku untuk mengancam.
“Revolusi berada di tangan kami dan kami memerintahkan Bung! Kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu…”
“Lalu apa? Aku berteriak dengan kemarahan menyala-nyala. “Aku sudah lebih lama memeras keringat untuk kemerdekaan dari pada engkau anak-anak! Jangan kira kalian bisa menekan dan mengancamku!”
Aku melompat ke tengah-tengah mereka dan menyodorkan leherku. “Ayo penggal leherku! Kalian bisa membunuhku. Tapi jangan kira aku bisa dipaksa untuk mengadakan pertumpahan darah yang sia-sia hanya karena menuruti kemauan kalian!”
Suasana hening. Aku meredakan emosi dan berkata dengan suara rendah, “Aku sudah menentukan saat yang tepat. Tanggal 17.”
“Mengapa harus tanggal 17? Mengapa tidak sekarang saja atau besok tanggal 16,” desak Sukarni.
“Aku orang yang percaya pada hal-hal di luar nalar. Aku tak bisa menjelaskan. tapi aku merasakan dalam kalbuku bahwa dua hari lagi adalah saat waktu yang
terbaik
. Angka 17 adalah angka keramat. Angka suci. Pertama, kita sedang dalam bulan Ramadhan, waktu kita semua berpuasa. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Ini berati masa yang paling suci bagi kita. Bukankah begitu?”
“Ya.”
“Hari Jumat ini Jumat Legi. Jumat yang berbahagia. Jumat suci. Dan hari Jumat adalah tanggal 17. Alquran diturunkan tanggal 17. Orang Islam salat 17 rakaat dalam sehari. Mengapa Rasulullah memerintahkan 17 rakaat, mengapa tidak 10 atau 20 saja? Karena kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia. Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 adalah ketentuan dan petunjuk Allah. ”
Mereka melunak. Walaupun tetap dengan raut wajah tak puas. “Kita akhiri pertemuan ini sampai di sini!” kata Hatta tegas. Mereka pun membubarkan diri. Waktu sudah dinihari 16 Agustus 1945.
Sumber:
- Cindy Adams, “Bung Karno - Penyambung Lidah Rakyat Indonesia”, Gunung Agung 1966
- “Bung Hatta Menjawab”, wawancara dengan Dr. . Yasni, Gunung Agung 1979
- Subagijo I.N., “Sudiro – Pejuang tanpa henti”, Gunung Agung 1981
- www[dot]bengkuluinteraktif[dot]com/meluruskan-jati-diri-perajut-sang-saka-merah-putih
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.