Sahabat Laut

Sahabat Laut

Kami berjalan meniti dermaga yang menjorok jauh ke tengah laut. Aku melangkah perlahan. Tak ingin melewatkan indahnya pemandangan air laut yang jernih di bawah dermaga. Ikan-ikan kecil warna-warni tampak berkejaran di sela-sela gugusan terumbu karang. Menggoda sulur-sulur anemon laut yang seolah berusaha menggapai-gapai mereka. Sebuah perahu kecil tertambat tenang di tiang dermaga. Bagaikan tergeletak di atas kaca bening. Di hadapan kami, pulau Kelapan terlihat hijau rimbun. Sendirian di hamparan laut biru kehijauan.

“Kau sungguh nak pulang sekarang?” tanya bang Gappa memecah keheningan. Sudah dua kali ia menanyakan hal yang sama.

“Tinggallah sehari dua hari lagi. Nanti malam kami ke bagan. Kau kan bisa ikut kami memancing. Sekarang sedang musim ikan. Mudah sekali dapat ikan manyung, tenggiri, jerbung dan kerapu. Sotong ge banyak, besak-besak. Langsung kita panggang dan makan di atas bagan,” lanjutnya mencoba menahanku.

Aku hanya bisa tersenyum. Hatiku bimbang. Memancing di bagan di tengah laut selat Gaspar sungguh pengalaman yang menarik dan langka. Tapi ini bukan saatnya berlibur. Banyak pekerjaan menunggu di Jakarta.

Makaseh bang. Ku tengah banyak gawi di Jakarta. Kelak lah, Insya Allah kami datang agik,” jawabku. Gerimis halus yang dihembus angin laut pukul empat sore mulai riuh menerpa wajah. Kami harus segera berangkat sebelum laut mulai bergolak. Aku merangkul bahunya yang kokoh.

“Baiklah. Sering-sering kau tengok kami di sini. Ajak anak istrimu. Kau sudah jadi keluarga kami. Kalau mau datang telepon saja. Nanti pacak kujemput di Pelabuhan Sadai.”

Aku mengangguk.

“Berangkatlah. Semakin sore ombak akan semakin tinggi,” sambungnya sambil menjabat tangan dan menepuk pundakku. Kulihat mata bang Gappa berkaca-kaca. Mataku pun menghangat. Ada sebersit rasa haru menyusup di hati. Karena teringat Sompa sahabatku. Karena merasa punya keluarga baru.

***

Nama pelaut tangguh keturunan Bugis itu Abdul Gaffar. Tapi lidah orang Bugis memanggilnya Gappa. Aku mengenalnya lebih dari 30 tahun lalu karena ia beberapa kali datang mengunjungi adiknya, Sompa, di rumah petak tempat kami kos. Kalau bang Gappa datang, buah tangannya adalah ikan asin tenggiri yang akan menjadi lauk makan kami yang nikmat di tanggal-tanggal kritis.

Ikan asin bakar, nasi panas dan sambal belacan adalah menu andalan Sompa yang selalu kami tunggu-tunggu. Lalu kawan lain akan memetik pucuk daun tangkil muda untuk direbus sebagai pelengkapnya. Selama tiga tahun aku tinggal di tempat kos yang sama dengan Sompa dalam suka dan duka sebagai saudara sekampung.

Aku dan Sompa satu sekolah di satu-satunya SMA negeri di Pangkalpinang. Kota terbesar di pulau Bangka. Sompa adalah kakak kelas, satu tahun di atasku. Tetapi kami tidak terlalu saling mengenal walaupun hafal wajah. Perawakannya yang tegap berkulit gelap dan rambut sedikit kribo memang agak berbeda dengan yang lain. Seringkali kami bertemu di warung kopi Mang Sakban pagi-pagi sebelum bel masuk. Ia asyik sendiri menikmati sarapannya, pempek murah dari ikan tamban yang kenyal ditemani segelas kopi hitam.

Setelah ia lulus SMA, aku tak pernah lagi melihatnya. Biasanya anak-anak kampung kami melanjutkan sekolah ke Jawa. Aku pun demikian. Aku ke Jakarta dan diterima di perguruan tinggi swasta di daerah Pasar Minggu. Daerah yang sepi di tengah kebun buah-buahan. Saat mamakku datang ke Jakarta dan menengok tempat kosku, komentarnya pertama kali adalah: “Kau jauh-jauh ke Jakarta akhirnya tinggal di tengah kebun juga. Lebih baik kau urus kebun sahang (lada) kite di Belilik,” kata mamak dengan lugunya. Membuat kawan-kawan kosku tergelak-gelak.

***

Pada saat masa orientasi mahasiswa, banyak senior yang bukan panitia mencuri kesempatan untuk merundung kami. Karena posturku yang tinggi, aku selalu berada di barisan belakang para mahasiswa baru. Barisan belakang adalah makanan empuk para senior. Mereka bisa menyeret salah satu dari kami untuk dikerjai beramai-ramai.

Saat itu, sudah ada seseorang yang menarikku keluar barisan ketika tiba-tiba ada yang mendekat dan dengan suara pelan tapi berwibawa berkata: “Ini jangan lu ganggu. Dia adek gua!” katanya singkat. Aku terkejut dan menoleh ke sumber suara. Sompa! Ia menyeringai. “Ape kabar? Sape bai kawan kite yang masuk sini? Ka tenang bai ok, ku ade deket-deket sini,” katanya setengah berbisik. “Makaseh bang,” jawabku lega.

Setelah mulai kuliah, aku tinggal satu kos dengan Sompa. Mayoritas yang tinggal di lingkungan kos Sompa berasal dari Bangka walaupun dari kota yang berbeda-beda seperti Toboali, Sungailiat, Belinyu dan Muntok. Suasana yang seperti di kampung sendiri sangat menyenangkan karena ada rasa senasib sepenanggungan dan saling membantu.

Seiring waktu, aku mulai mengenal Sompa lebih dekat. Baru aku tahu bahwa ia berasal dari pulau Kelapan, sebuah pulau kecil di gugusan kepulauan Lepar-Pongok di selat Gaspar, di bagian paling selatan pulau Bangka. Nama pulau yang tak ada di peta itu pun baru pertama kali aku dengar. Aku selalu terpesona jika Sompa bercerita tentang keindahan dan kekayaan laut di kampungnya, tentang pelaut-pelaut tangguh yang berlayar menempuh badai, mencari ikan berhari-hari hingga ke perairan timur pulau Belitung, juga tentang kekerasan hatinya untuk terus bersekolah walaupun harus terpisah jauh dari orangtuanya sejak lulus sekolah dasar.

Sebagai nelayan, tentu keluarga Sompa bukan orang berada. Tak ada tradisi keluarga mereka bersekolah tinggi. Bang Gappa pun hanya tamat SD dan sudah melaut sejak usia baru berbilang belasan. Tapi ia mendukung tekad Sompa untuk terus bersekolah. Sejak sekolah dasar, Sompa telah bersekolah di luar pulau. Ia bersekolah SD di pulau Lepar, pulau terbesar di gugusan kepulauan di sana, dan SMP di kota kecamatan Toboali yang harus ditempuh sekitar 2,5 jam berlayar sampai pelabuhan Sadai ditambah dua jam jalan darat ke Toboali. Lalu ia melanjutkan ke SMA Negeri Pangkalpinang, 125 kilometer dari Toboali.

“Kalian tau dak…” ceritanya pada suatu sore. “Waktu jaman SMA dulu, aku pernah nekad pulang menyeberang malam-malam, ikut kapal nelayan pancing. Ada beberapa orang yang menumpang, salah satunya ibu dengan anak bayi berumur 8 bulan. Di tengah laut kami dihajar hujan badai. Kami sibuk melindungi bayi itu dari terpaan hujan dan angin sementara kami sendiri juga ketakutan. Basah kuyup semue. Tige jam kami terpontal-pontal di tengah laut. Pengalaman yang dak pacak kulupakan.” Kami mendengarkan sambil ternganga, takjub sekaligus ngeri membayangkannya.

Sompa anak yang cerdas. Setiap kenaikan tingkat tak pernah ada mata kuliah yang mengulang dan indeks prestasinya selalu tinggi. Tahun keempat ia telah meraih sarjana muda. Tercepat dari sekitar dua ratus mahasiswa di angkatannya. Tinggal dua tahun lagi anak pulau itu akan menjadi Insinyur. Memang tak mungkin lebih cepat lagi karena sekolah kami masih menerapkan sistem kenaikan tingkat tahunan.

Selain pandai, Sompa juga aktif di berbagai kegiatan seperti karate, dayung dan pecinta alam. Sebagai anak laut, kehebatannya berenang dan lengannya yang tangguh seperti batang kayu pelawan menjadikannya andalan tim dayung untuk bertanding di berbagai kejuaraan antar mahasiswa. Belakangan ia juga menjadi asisten dosen sehingga punya sedikit penghasilan tetap.

Tidak setiap libur lebaran Sompa bisa pulang kampung karena tak ada biaya. Tapi tinggal sendirian di kos tak terlalu membuatnya sedih. Ia pandai membaur dan kenal baik dengan orang-orang kampung sehingga banyak yang mengundangnya merayakan lebaran bersama. Kalaupun pulang, ia hanya mampu lewat jalan darat yang amat panjang melalui Palembang, lalu menyeberang selat Bangka menuju Muntok. Dari Muntok ke Pangkalpinang dengan bis selama 4 jam, lalu berganti bis ke Toboali. Dari Toboali ke pelabuhan Sadai, titik paling ujung selatan pulau Bangka dengan menumpang truk pengangkut es, lalu ikut perahu nelayan yang hendak pulang ke pulau Kelapan. Habis 4-5 hari perjalanan Sompa baru sampai ke kampung halamannya.

Bulan Juni 1986, menjelang ujian kenaikan tingkat, aku sedang asyik membaca komik Kho Ping Hoo ketika Sompa masuk kamarku sambil memegang sebuah amplop surat.

Cek, aku nak minta tolong,” katanya canggung. “Cek” adalah panggilan di kampung kami untuk kawan sebaya.

Ade ape cek?” sahutku heran. Tak biasanya ia bersikap seperti itu.

“Aku nak pinjam uang. Aku harus pulang. Ayahku ninggal seminggu lalu.” Ia menghela nafas sejenak. “Aku baru dapat surat ini. Diterima di rektorat entah lah berape hari. Dakde yang beri’ tau,” sambungnya menyesali.

Aku terdiam tak tahu harus berkata apa. Ayahnya meninggal sudah seminggu lalu. Kalau Sompa pulang naik pesawat pun, ia baru akan sampai dua-tiga hari ke depan.

“Apa ka yakin harus pulang? Cemane pun ka dak akan bertemu ayahmu agik. Melihat jenazahnya pun dak. Sebentar lagi kita nak ujian pulak,” kataku hati-hati.

Ia hanya tertunduk diam. Disorongkannya surat yang dipegangnya. Surat dari bang Gappa, mengabarkan ayahnya kena malaria berat dan meninggal di perjalanan panjang ke rumah sakit umum di Pangkalpinang. Bang Gappa juga menyampaikan pesan maknya agar Sompa dan adik-adiknya segera pulang. Sompa tujuh bersaudara. Selain bang Gappa dan Sompa, masih ada lima orang adiknya. Tak mungkin lagi aku menyuruhnya tak mengindahkan pesan maknya. Segera kuambil uangku dan kuberikan kepadanya.

“Berangkatlah,” kataku membesarkan hatinya. “Sampaikan salamku untuk mak dan bang Gappa.”

Ia menjabat tanganku erat-erat dengan mata berkaca-kaca. Itulah perjumpaan terakhir kami. Seminggu, sebulan, setahun dan berpuluh tahun setelahnya, aku tak pernah mendengar kabarnya lagi. Sompa tak pernah kembali. Meninggalkan begitu saja jalan panjang yang telah ditempuhnya demi meraih cita-cita menjadi Insinyur Sipil yang tinggal selangkah lagi.

***

Bulan November 2010, pada sebuah acara reuni SMA, aku bertemu seorang kawan, Agus namanya. Agus bercerita bahwa ia sering berkeliling kepulauan Lepar-Pongok, menjadi pemborong beberapa proyek desa. Ia mempromosikan keindahan laut di sana yang kaya lokasi memancing dan menyelam. Sangat potensial untuk dikembangkan menjadi destinasi wisata baru bila ada yang berminat investasi. Mendengar cerita Agus, aku langsung teringat pada Sompa.

“Gus, ka inget dak kek Sompa, kakak kelas kite?” tanyaku.

“Mmm… ada ingat samar-samar. Kenapa?”

“Sompa tu sahabatku jaman kuliah. Dia orang pulau. Ku lupa ape name pulau e. Abangnya bernama Abdul Gaffar. Kami manggil die bang Gappa.”

“Ooo, pak Gappa… ku tau be,” Agus menukas. “Dia kepala dusun pulau Kelapan. Kami sering ketemu saat rapat di kantor Kecamatan di pulau Lepar.”

“Ya… ya… benar, pulau Kelapan. Aku baru ingat. Alhamdulillah. Gus cube tolong cari di mane Sompa tu. Tanya pak Gappa ok?”

“Baiklah. Kelak kukabari ya.”

Makaseh Gus.” Hatiku bungah karena ada harapan bisa menemukan Sompa.

Aku sudah lupa pembicaraan itu ketika beberapa minggu kemudian Agus menelepon. “Oi ceek… ku tengah di Pulau Kelapan ni, ade gawi merehab dermaga. Ku lah ketemu Sompa. Ni die ada di sebelahku nak ngerebut hp ku. Dak sabar agik nak ngomong kek ka,” katanya sambil tergelak.

Mane… mane Sompa?” sahutku tak sabar.

“Assalamualaikuuuum,” sebuah suara berat setengah berteriak terdengar di ujung sana.

“Oooiii… Wa’alaikumsalaaam kawan lame yang hilang ditelan bumi,” sahutku cepat dan kami tertawa bersama. Melepas rindu hampir 30 tahun tak jumpa. Selanjutnya, kami seru bertukar cerita tak habis-habis hingga satu jam kemudian.

Terakhir ia berkata: “Cek, ka harus ke sini. Kelak ku ngajak ka pegi mancing. Sekarang sudah gampang dak seperti dulu. Lima jam dari Pangkalpinang lah sampai di sini. Aku tunggu ya.”

“Insya Allah cek, kelak aku minta antar Agus ke sana,” janjiku.

”Aku akan jemput kau di Sadai dengan perahuku. Jangan khawatir,” katanya lagi. Lalu kami mengakhiri pembicaraan.

***

Kesibukan membuatku lupa memenuhi janji pada Sompa. Hingga suatu hari di bulan Maret 2011 Agus menelepon: “Ceeek… inna lillahi wa inna ilaihi rojuuun. Kabar duka ceeek... Sompa hilang di bagan due hari lalu. Bagannya roboh dihantam badai dan ia terhempas ke laut. Sampai sekarang masih dicari, lom ketemu. Sepertinya dakde harapan hidup,” kata Agus di ujung telepon.

Hening. Perasaanku campur aduk. Terkejut, sedih, dan tak habis-habis menyesali diri tak segera menunaikan janji pada Sompa. Berpuluh tahun aku mencarinya. Ketika perjumpaan hampir di depan mata, untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Kehidupan di depan kita memang rahasia Allah.

Akhirnya aku berkata: “Gus, besok aku ke sana. Ka pacak dak jemputku di bandara?”

Agus menjawab cepat: “Pacak! Ka ambik pesawat paling pagi supaya kite sampai di Kelapan dak terlalu sore,” katanya.

***

Masih pagi ketika aku tiba di Pangkalpinang. Agus telah menunggu dan kami segera berangkat mengarah ke kota Toboali. Agus sudah mendapat kabar bahwa tadi menjelang subuh jenazah Sompa telah ditemukan. Tersangkut di akar bakau di sebuah pulau tak berpenghuni dan siang ini akan dimakamkan. Kami berharap masih sempat menghadiri pemakamannya.

Tak sampai tiga jam kami telah tiba di pelabuhan Sadai. Agus segera mencari kapal motor yang bisa mengantar kami menyeberang. Ternyata tak mudah mendapatkan kapal yang bersedia berlayar. Bulan Maret memang bukan musim yang baik untuk melaut. Cuaca ekstrem membuat situasi di tengah laut tak dapat diprediksi. Hujan lebat disertai petir, angin kencang dan gelombang tinggi bisa datang tiba-tiba. Akhirnya Agus bisa mendapatkan sebuah perahu kecil dengan motor tempel. Aku menatap Agus dengan cemas. Tapi Agus meyakinkan. “Tak apaaa… amaaan… ayo naik,” katanya ringan.

Sudah menjelang tengah hari ketika perahu kami meninggalkan dermaga Sadai. Laut tenang tak bergelombang walaupun langit tampak redup karena matahari sedikit tertutup awan. Kami sedikit khawatir akan turun hujan di tengah perjalanan. Tapi motoris speedboat yang masih muda itu terlihat cukup terampil. Perahu melaju mengitari pulau Lepar, melewati pulau Tinggi yang gagah seperti gunung menjulang di tengah lautan, dan pulau Panjang. Pulau Kelapan masih belum terlihat sama sekali karena berada jauh di balik pulau Lepar.

Satu jam kemudian, angin mulai kencang membuat laut menjadi gelisah. Air biru mulai bergolak. Senyum pun menghilang berganti wajah pucat. Kami hanya bisa berdoa dan berserah diri pada Tuhan serta berusaha yakin pada kemampuan motoris yang sibuk meliuk-liukkan lunas perahu mendaki punggung ombak yang terus meninggi.

Semakin lama, ombak semakin mengganas. Perahu kami terpental-pental dilempar gelombang menimbulkan bunyi papan berderak-derak seakan mau pecah. Seluruh ruas tulang belakang seperti bergemeratak saling beradu karena tubuh terus terhempas. Ombak mengguyur kami hingga basah kuyup tiada ampun. Gelombang datang dari arah mana saja sesuka angin memainkannya. Perahu tidak bisa diarahkan lurus langsung ke tujuan karena bila ombak menerpa dari samping maka kami akan tertumpah ke laut. Rasanya kami tak lebih besar dari sekelompok semut di selembar daun di kolam. Karena perahu terus meliuk-liuk menyiasati ombak, waktu tempuh menjadi semakin lama dalam derita yang sepertinya takkan pernah berakhir.

Akhirnya, Agus menunjuk sebuah titik di kejauhan dan berkata: “Itu Kelapan!” 

"Alhamdulillaaah..." Aku tak bisa menyembunyikan rasa lega. Semakin lama semakin terlihat jelas. Sebuah pulau kecil sendirian di tengah laut luas. Dikelilingi rerimbunan hutan mangrove dengan punuk bukit tepat di tengah pulau.

Setelah perahu merapat di dermaga. Agus menunjuk berbagai perahu besar kecil yang sandar sepanjang dermaga."Ini perahu para pencari dan pengantar jenazah Sompa yang datang dari pulau-pulau sekitar," kata Agus.

Kami bergegas menuju ke mushola untuk berganti pakaian, membersihkan tubuh yang babak belur dan solat Ashar, lalu menuju rumah Sompa. Banyak sekali orang berkumpul di sana. Obrolan mereka terhenti melihat kedatangan kami. Seseorang berdiri dengan ekspresi wajah keheranan.

“Bang Gappa!” aku memanggilnya.

“Budi kah?” tebaknya ragu.

“Iya bang,” aku menjabat tangannya erat-erat dan ia memelukku.

“Akhirnya sampai juga kau ke dusun kami. Tapi Sompa sudah pergi. Maafkan dia ya Budi,” suara bang Gappa tersendat. Aku hanya diam dan menepuk punggungnya. “Mana istri dan anak Sompa bang?” Tanyaku.

“Masuklah.” Ia mengajak kami masuk menemui seorang perempuan yang duduk di atas tikar purun diapit dua anak bujang yang gagah.

“Ini Budi, kawan Sompa dari Jakarta,” kata bang Gappa pada wanita itu.

Aku mengangguk pada beberapa ibu di dalam dan menyalami istri dan anak Sompa. Setelah mengucapkan belasungkawa dan mengobrol sejenak, kami bergabung dengan kaum pria yang duduk di luar. Aku dan Agus menyimak pembicaraan tentang kejadian yang menimpa Sompa dan proses pencariannya. Dari pembicaraan mereka, tampaknya Sompa orang yang dihormati dan dikenal luas. Tapi aku belum paham apa yang membuat Sompa seperti tokoh masyarakat di sini.

Kami bermalam di rumah bang Gappa. Bersama anak-anak Sompa, kami menikmati makan malam dan mengobrol hingga larut malam. Bang Gappa bercerita mengapa dulu Sompa tak kembali lagi ke Jakarta. Sompa memutuskan untuk membantu bang Gappa menjadi nelayan bagan. Selain mengalah agar kelima adiknya tak putus sekolah, Sompa ingin memajukan industri perikanan di kampungnya. Sompa juga memperjuangkan pendirian sekolah dasar di dusun itu dan ikut mengajar.

“Sompa mengajarkan kami untuk mengolah ikan-ikan tertentu hasil tangkapan menjadi ikan asin sehingga bernilai tambah,” kata bang Gappa.

“Warga di sini tak banyak, hanya 34 keluarga yang semuanya punya hubungan kerabat dan mak kami orang yang dituakan di sini. Mak mengajak ibu-ibu dan anak remaja belajar mengolah hasil tangkapan terutama ikan manyung, tongkol dan remang jadi ikan asin jambal roti. Masyarakat yang tadinya hanya tau menjadi nelayan, jadi punya kegiatan baru yang menghasilkan. Karena ikan asin lah semua adik Sompa dan sebagian besar anak-anak di sini bisa sekolah tinggi,” cerita Bang Gappa panjang lebar.

Aku menyimak sambil mencoba memahami keputusan besar Sompa saat itu. Pengorbanan Sompa memang tak sia-sia. Semua adik Sompa sudah berhasil. Ada yang menjadi camat, kepala sekolah, pegawai PT Timah dan pengusaha pemasok ikan untuk restoran dan pasar swalayan besar di Jakarta.

“Berbulan-bulan Sompa mencoba berbagai bahan alami untuk pengawet ikan asin. Di sini kami tak pernah pakai pengawet formalin, tapi pakai larutan teh dan daun pandan hasil percobaan Sompa. Sompa juga merancang mesin pengering sehingga proses pengeringan bisa lebih singkat tak tergantung cuaca.” Sambung bang Gappa.

“Alhamdulillah, kini pulau Kelapan, Celagen dan Panjang lah dikenal sebagai penghasil ikan asin terbesar di Bangka-Belitung. Ikan asin produksi kami yang berkualitas terbaik lah tekirim sampai Jakarta dan Lampung,” kata bang Gappa bangga.

Lalu aku pun bercerita tentang masa-masa kami kuliah dulu. Tentang prestasi Sompa di kampus. Tentang cita-citanya bekerja di perusahaan kontraktor terkemuka hingga punya cukup pengalaman dan terkumpul modal untuk mendirikan perusahaan sendiri.

Anak Sompa terkejut setengah tak percaya mendengar ceritaku. Mereka tak pernah tahu masa lalu ayahnya. Mereka hanya tahu ayahnya hanyalah seorang nelayan dan guru SD sepanjang hidupnya.

Kukatakan pada mereka: "Aku dan ayahmu bersahabat. Tapi sahabat sejati Sompa adalah laut Gaspar ini. Sudah jauh ia merantau untuk bersekolah, berjuang untuk menjadi sarjana pertama dari dusun ini. Tapi kemudian ia memutuskan untuk pulang dan menyerahkan hidupnya pada laut yang dicintainya. Ia memilih untuk bermanfaat bagi orang banyak daripada hanya untuk dirinya sendiri.”

Kupandangi kedua anak Sompa yang tertunduk menyembunyikan air mata. Aku memandang foto Sompa. Tertawa lebar di atas kapal ikan yang megah kebanggaannya. Rambut kribonya nyaris tak bersisa. Kulitnya hitam legam. Tapi tubuhnya semakin kekar berotot.

“Jadilah seperti ayahmu, keras hati dan hidupnya selalu punya tujuan,” kataku perlahan. Semua memori masa-masa kami kuliah berputar seperti film di benakku.

*** 

Keesokan harinya, setelah berziarah ke makam Sompa dan menikmati keindahan pantai yang dipenuhi serakan batu granit raksasa itu, kami pun berpamitan. Bang Gappa berusaha menahan kami lebih lama. Aku menolak halus dan berjanji akan datang lagi dalam waktu dekat. Aku memang sungguh ingin kembali. Sepertinya aku telah jatuh cinta pada keterpencilan dusun pulau Kelapan, pada kejernihan laut selat Gaspar, dan pada aroma ikan asin yang melayang-layang terbawa angin.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.