Sama-Sama Enak
Anda Butuh Waktu, Kami Butuh Uang

Anda Butuh Waktu, Kami Butuh Uang
"Pak, gak bisa langsung jalan? Udah satu jam nih belum jalan juga."
"Sebentar, Kang. Itu ada yang lagi jalan ke sini."
Supir angkot kembali berteriak, "Terakhir! Terakhir! Terakhir!"
Kalimat sakti itu sudah diucapkan supir sialan rambut gondrong berulang kali. Dari tadi angkot ini hanya maju sedikit. Tepatnya, pura-pura maju. Supaya yang lagi jalan itu mempercepat langkahnya. Dan sudah lima penumpang tertipu. Termasuk aku.
Yang tiga penumpang, sudah keluar lagi, begitu angkot ini selama lima menit hanya gerak maju mundur. Hanya tersisa aku dan dia. Perempuan dengan jaket tebal di pojok itu. Ia masih juga bertahan. Padahal sudah satu jam supir angkot ini mengelabui.
Perempuan itu tampak santai saja. Seperti tidak bersahabat dengan waktu. Tidak gelisah sedikit pun. Entah apa alasannya.
Aku bisa bertahan selama satu jam ini, karena memang tidak dikejar waktu. Dan angkot jauh lebih murah daripada taksi. Tiga penumpang yang langsung keluar tadi, bergabung dalam taksi yang sama.
Pintar juga, kenapa aku tidak bergabung saja tadi? Kalau patungan kan jadinya murah juga. Aku menggobloki diri sendiri.
Supir gondrong itu membuka pintunya. Keluar dengan santai, dengan rokok di bibirnya. Tangan kanannya bertato kulihat.
"Ayo Neng terakhir, Neng! Ayo A, terakhir! Terakhir!"
Kembali pembohongan publik. Aku benci sekali supir itu. Dia berjalan semakin jauh. Menuju bus yang baru saja menjejakkan rodanya di terminal. Mencari penumpang segitu gigihnya. Tapi tidak seorang pun bergabung di angkot ini dari bus kuning itu.
Tinggal aku berdua. Dengan perempuan di hadapan ini. Yang pahanya bisa kulihat dengan pinggiran mata. Kenapa ia berpakaian seminim itu pukul segini?
Tubuhnya mengeluarkan aroma vanili. Kalau begini situasinya, dua jam dalam angkot pun tak akan terasa. Dan ia sedang memandangiku. Tepat di pusat bola mata.
"Mau ke mana, A..."
Gincu di bibirnya berwarna natural. Tidak terlihat seperti wanita murahan. Malah cantiknya elegan. Walau aku terganggu dengan rok sepahanya.
"Mau pulang, Teh."
"Kok semalam ini pulangnya? Dari mana emangnya..."
"Dari Cilegon. Abis Isya baru berangkat, jadi sampai Bandung ya pasti jam segini."
"Cilegon? Berapa jam naik bis?"
"Tujuh jam biasanya. Yang lama ngetemnya. Kayak angkot ini."
"Tapi Aa betah udah sejam di sini."
Senyumnya imut sekali. Ditambah kerling matanya.
"Betah... kalau ada yang nemenin."
Kenapa aku mengeluarkan kalimat itu? Seperti lelaki penggoda saja. Bodoh!
"Ah bisa aja si Aa..." balasnya sambil mencubit lututku.
Ia memandang jauh ke luar.
"Supirnya mana, ya?"
"Di mana, ya... tadi dia cari penumpang ke sana."
"Mampir ke warung itu kali ya, A?"
"Mungkin."
Hembusan napasku mengembun di kaca belakang.
"Lama gak, ya? Jangan-jangan dia makan burcang!"
"Heh? Bisa jadi, ya."
"Berani-beraninya dia makan sendiri. Emang kita gak laper ya, A?"
"Emang sialan tuh supir, Teh. Ngetem lama banget."
"Tapi bareng saya gak sialan kan, A?"
"Mm, itu berkah namanya, hehe."
Aroma perempuan ini makin tercium. Ia pindah duduk tepat ke sebelahku.
"Gak apa-apa kan saya duduk di sini? Di sana dingin."
"Eee... gak apa-apa, Teh."
Jantungku mulai gak keruan. Tangan kirinya memarkir di paha kananku. Ada bagian dari tubuhku yang bereaksi. Merinding bulu roma.
"Udah berkeluarga, A?"
Ternyata napasnya juga wangi. Pasti berkumur dengan larutan khusus. Aku kenal wangi ini. Setiap malam sebelum tidur aku selalu berkumur dengannya.
"B-belum, Teh."
"Mm... meni kasian. Sering dikeluarin gak...." Ia melirik ke arah bawah.
Rasanya aku paham ke mana arah pembicaraan perempuan ini. Posisiku terpojok. Benar-benar di pojok angkot. Ke mana supir sialan itu? Brengsek lama sekali dia!
"Saya bantu, yah..."
Perempuan itu bergerilya. Memainkan jemarinya. Dan aku tidak berdaya.
Ada rasanya lima menit. Atau sepuluh menit. Aku tidak menghitungnya. Tapi rasanya lega sekali. Dia membasahi bibirnya. Aku lirik ke arah luar, supir itu sedang berjalan ke sini.
"A, saya dibantu atuh. Lagi butuh uang..."
"Eh... b-buat apa, Teh?"
"Ya buat hidup sehari-hari. Saya hidupnya susah. Ini aja kerja sampe malam gini. Tiga ratus aja, A. Keburu dia ke sini tuh... gak enak kalo ketahuan."
Nadanya terdengar manja. Dan menggemaskan. Ia melirik ke supir itu. Aku pun tergerak membuka dompet dan menyerahkan tiga lembar uang merah padanya. Dia mengecup dua jari kanannya, lalu meniupkannya padaku.
Apa ini hipnotis? Tapi kenapa aku sadar? Apa ini hipnotis yang disepakati? Karena tadi enak sekali.
"Makasih ya, Aa ganteng…." Lagi-lagi ucapnya dengan nada manja.
Supir itu masuk dan membanting pintu.
"Ah, sepi!"
Akhirnya mesin menyala lagi. Dia membuang puntung rokoknya. Angkot pun menggerung kembali. Siap-siap berangkat. Dia betulkan posisi kaca spion, hingga bisa melihatku dan perempuan ini.
Perempuan itu bangkit dari duduknya di sebelahku. Berjalan berbungkuk di dalam angkot, lalu keluar. Ia pindah duduk ke depan. Memandangi supir, lalu tersenyum. Tidak berkata apa-apa, tapi seolah bilang "hai" padanya.
Apa perempuan itu akan menggodanya juga?
Tapi supir itu hanya senyum dengan sunggingan sebelah bibirnya. Lalu mengedipkan sebelah mata ke perempuan yang menjamahku tadi. Mereka menyalakan rokok bersama. Menghembuskan asapnya penuh kenikmatan ke arah jendela.
Pukul tiga dini hari. Angkot rombeng ini akhirnya bergerak maju, yang betul-betul maju.
Udara dingin Bandung dini hari menjalar lewat pintu angkot yang terbuka lebar, menjalar ke sela tubuhku.
Dari pojok ini bisa kulihat jelas supir angkot mengusap rambut perempuan itu. Lalu melirikku dari spion sambil tersenyum. Kemudian menepuk-nepuk pundak si perempuan.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.