Gending Bali
Samar-samar terdengar suara gending Bali dari belakang rumah
2009
Akhirnya pesawat Garuda touch down di landasan pacu bandara Ngurah Rai, Bali. Waktu menunjukkan 15 menit menuju jam 10 malam. Baru sekali itu aku ke Bali dengan penerbangan malam. Suara roda pesawat berdecit saat menyentuh landasan. Aku melihat dari balik jendela pesawat, "ah Bali. I am coming again."
Rasa lega tiba di Bali. Begitu pesawat mulai melambatkan kecepatannya menuju garbarata, aku mulai melepaskan seatbelt dan mulai menyalakan hp. Orang-orang melakukan hal yang sama. Terdengar beberapa orang memastikan bahwa mereka dijemput. Begitupun aku. Baru saja hendak menelfon, hp ku sudah berbunyi.
"Halo. Ren. Gw tunggu di depan pintu geser kedatangan ya," kata temanku. "Gue ditemenin sama Uchan."
"Ya.. ya.. ntar kalau sudah selesai urusan koper dan pemeriksaan, gue telfon ya," kataku. Akupun keluar dari badan pesawat dan memasuki garbatara (belalai panjang) untuk menuju ke dalam gedung bandara. Tidak lama urusanku dengan koper dan pemeriksaan. Setelah itu aku menelfon temanku lagi. Dan benar mereka sudah melambai-lambaikan tangan. Kami bertiga saling berpelukan dan bercipika-cipiki. Perempuan kan seperti itu ya kalau ketemuan. Cipika-cipiki. Lalu kamipun meluncur ke Jimbaran. Salah satu temanku, Yayan, tinggal di daerah Jimbaran bersama keluarga kecilnya. Sementara Uchan nge-kost di Denpasar. Tapi malam itu dia menginap di Jimbaran menemani aku.
Hari ke-tiga aku menginap, suatu malam terdengar bunyi gending Bali mengalun. Kalau tidak salah ingat, waktu itu sekitar jam 8 atau jam 9 malam. Suara gending Bali terdengar dari arah belakang rumah temanku. Dan kebetulan kami sedang bercengkerama di teras belakang, sehingga cukup jelas terdengar. Bunyi khas gending Bali terasa begitu mistis. Aku bertanya ke Andre, suami Yayan. "Malam apa ini? Kok ada yang main gendingan?"
"Dua hari lagi Nyepi, jadi suka ada yang main gendingan. Yah, seperti ini kalau di Bali. Apalagi kamu tinggal di perumahan seperti sekarang. "
"Oh.. I see," kataku. Mulutku membentuk huruf 'o'. " Nek. Mereka mainnya lama? "
"Gak ngeh juga gue. Gue gak pernah perhatiin. Kenapa? Takut?" Yayan meledek aku. "Itu mah biasa di Bali."
"Ya elu biasa karena sudah beradaptasi dengan daerah perumahan di Bali. Lha gue baru sekali ini. Biasa nginep di hotel. Gak pernah kedengaran gendingan seperti ini kecuali siang," kataku sedikit merinding.
2007 (kalau tidak salah ingat)
Taksi yang aku sewa memasuki daerah Denpasar. Tidak lama, setelah 3 menit memasuki Denpasar, taksiku berbelok ke kanan (yang aku ingat) memasuki daerah perkampungan. Kanan - kiri pohon pisang besar-besar dan melewati kebon. Tidak lama, terbuka daerah persawahan dan di depannya, sebelah kiri pintu taksi yang aku tumpangi terlihat sebuah rumah kos-kosan yang kokoh dan terdiri dari 2 lantai.
"Beuh! Sampai juga lo ke sini," sambut Uchan tertawa lebar sambil memperlihatkan giginya. "Yuk, kamar gue di lantai atas. Noh di pojokan."
Temanku yang satu ini selalu ceria dan tertawa. Kalau ngobrol selalu diselipin tertawa khasnya yang renyah. Lesung pipitnya pun terbentuk.
Jam 5 sore telfon Uchan berbunyi. Aku mendengar percakapan dia dengan pegawai kantor tempat dia bekerja.
"Yah.. gue lagi ada temen nginep. Siapa yang sakit?" (pihak kantor memberi jawaban) " Ya.. ya udah gue terbang kalau memang tidak ada yang lain. Harusnya jatah libur gue hari ini. "
Dengan tidak enak hati, temanku pamit tidak bisa menemani aku malam itu karena dia akan dijemput sekitar jam 8 malam. Dan akupun mau tak mau memaklumi kondisi dia.
Keesokan harinya, selagi aku duduk di teras depan kamar temanku, seorang pelayan perempuan datang membersihkan teras daerah kamar temanku dan kebetulan persis di samping kamar temanku ada tempat sembahyang.
"Pagi bu," sapanya sambil tersenyum. "Oya nanti malam ibu jangan keluar ya. Di dalam kamar saja."
"Oh kenapa begitu?" tanyaku
"Karena ini malam ini semua harus masuk tidak dibolehkan keluar, "katanya sambil menjelaskan secara samar-samar.
Aku tidak tahu kalau malam itu merupakan malam Nyepi. Dan malam itu pun aku di kamar sendirian. Dan mengunci diri. Begitu jam mendekati tengah malam - aku lupa tepatnya - sayup-sayup terdengar suara gending. Kemudian tidak lama dari area persawahan terdengar suara lolongan anjing bersahut-sahutan. Aku tidak tau ada berapa anjing. Tapi ramai sekali. Dan irama gending pun semakin intense. Aku pun mulai merinding. Mau mematikan lampu aku takut. Mataku hanya menatap ke jendela. "Pintu kamar sudah aku kunci. Kapan permainan gending ini akan berhenti?" aku membatin. Kemudian, aku memberanikan diri mengintip keluar jendela kamar. Semua lampu kamar-kamar tetangga gelap termasuk koridor. Gelap. Lampu di daerah tanggapun gelap. Tiba-tiba aku melihat ada sosok yang berjalan di koridor seberang menuju kamar paling pojok. Sesaat aku terpana. Mataku mengikuti gerakannya. "OMG... Apa yang barusan gue lihat? Asem!!" Begitu aku menyadari sebenarnya apa sosok tersebut. Langsung aku tutup korden dan lari ke atas tempat tidur. Aku peluk guling erat-erat dan kembali menatap daun pintu dan jendela bergantian. Aku begitu ketakutan. Irama gending terus menerus berbunyi begitu juga dengan suara lolongan anjing dan terasa semakin meneror diriku yang sedang ketakutan. Aku melihat jam tangan dan jarum jam sedang menuju setengah 1 pagi. Aku mematikan suaran hp ku dan berusaha memejamkan mata sambil terus berdoa Bapa Kami dan Salam Maria. Terus...terus...terus
Tiba-tiba kudengar samar-samar pintu kamarku diketuk. Aku membuka mataku perlahan dan berusaha bangkit dari tempat tidurku. Suara gending sudah menghilang. Suara lolongan anjingpun sudah tidak ada. Kemudian terdengar lagi suara ketukan dipintu. Aku terdiam.
"Bu..bu.." suara seorang perempuan memanggil.
Aku melihat jam tanganku dan ternyata sudah jam 6 pagi. Akupun turun dari tempat tidur dan membuka pintu kamar. Ternyata pelayan perempuan yang kemarin memintaku tetap berada di kamar.
"Ibu aman ya semalam?" tanyanya
"Ya.. ya.. saya baik-baik saja kok," jawabku sambil tersenyum.
"Baik kalau begitu bu. Terima kasih," katanya membalas senyumanku dan kemudian berlalu.
Aku kembali ke tempat tidur dan berusaha mengingat peristiwa semalam saat aku melihat makhluk dengan kain putih dan berambut panjang berjalan dari tangga menuju kamar di seberang kamarku. "Duh Gusti untung aku tidak melihat wajahnya."
Hari itu Uchan pulang. Jam 2 sore dia tiba kembali ke kos-kosan. Setelah berbesih diri dan beres-beres kopernya, kami pun mengobrol mengenai peristiwa semalam. Seperti biasa Uchan pun ketawa-ketawa.
"Lo lagi pake ngintip-ngintip. Kalau Nyepi di Bali elu gak boleh keluar kamar. Udah disuruh di kamar ya di kamar aja. Harusnya elu matiin lampu. Bagus tu makhluk gak nengok ke elu," Uchan pun terkikik mentertawakan aku.
"Matiin lampu. Elu tau gue penakut banget kalau di ruang gelap. Bagus gue gak matiin lampu semalam. Beuh.. tau apa yang terjadi kalau sampai matiin lampu," kataku membela diri.
Aku kembali lagi ke Bali setelah peristiwa Nyepi, namun terakhir kali aku memilih ke Bali setelah usai acara Nyepi.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.