TITIAN WAKTU

TITIAN WAKTU
Sumber : Pixabay

         Kemarin malam jam delapan Fe tiba di Denpasar. Al, sepupunya,  menjemputnya di bandara. Malam itu dia menginap di rumah Al. Pagi-pagi sekali dia sudah bangun karena harus menjemput Kevin. Pesawat yang membawanya dari Jakarta akan mendarat sekitar jam delapan. Fe sudah di bandara setengah jam sebelumnya. Al  yang mengantarnya setelah sarapan bubur ayam.

        “Yakin nggak mau ikut kita Al?” Fe mencoba membujuk Al.

        “Nggak. Takut mengganggu orang pacaran,” Al menggodanya.

        “Siapa yang pacaran?” Fe mengelak meskipun pipinya bersemu merah. Mungkin banyak orang yang mengira mereka sepasang kekasih. Tahun lalu waktu Kevin datang ke Yogya dan dia menemani jalan-jalan, hampir semua orang yang bertemu dengan mereka di tempat-tempat wisata mengira Kevin adalah pacar Fe.  Pasangan bule ganteng dari Amerika dan cewek manis berwajah Jawa. Sayangnya mereka selalu berpisah di loket masuk karena tarif masuk turis mancanegara berbeda dengan turis domestic. Bedanya sangat jauh.  Hampir sepuluh kali lipat.

         “Tapi ngarep  jadi pacarnya kan?” Al tak henti menggodanya.

         “Dia sudah punya pacar,” suara Fe terdengar kecewa.

         “Siapa tahu sudah putus,” sambung Al  memberi harapan.

        Mendengar itu Fe  cuma tersenyum. Tidak ingin berharap terlalu jauh. Dia hanya mengenal Kevin lewat situs pertemanan. Korespondensi lewat  message inbox yang disediakan di sana lalu bertukar alamat e-mail. Menjelang kedatangannya ke Yogya setahun lalu, beberapa kali melakukan kontak lewat e-mail. Hanya dua hari satu malam di Yogya tetapi mereka telah bersama-sama selama dua puluh enam jam.  Hampir dua hari penuh dihabiskan berwisata dengan menyewa mobil dan sopirnya. Mulai dari menonton sendratari Ramayana di Open Theatre   Candi Prambanan, lava tour di lereng Merapi, mengunjungi museum budaya, melihat sunset di Prambanan dan sunrise di Borobudur  dilanjutkan dengan melihat candi-candi kecil yang ada di Yogya. Karena Kevin tidak suka berbelanja, Fe hanya mengantarkan ke toko souvenir di ujung jalan Malioboro. Dia hanya membeli dua buah topeng kayu dan beberapa  hiasan untuk kulkas berbentuk pin dengan ikon  ciri khas Yogya seperti becak , andong atau tugu.

   "Pesawatnya sudah landing itu Fe,” Al berkata lagi setelah mendengar pengumuman kedatangan pesawat Garuda dari  Jakarta. “Paper-ku belum selesai Fe, jam sepuluh dikumpul. Aku pulang dulu ya! Hati-hati di jalan. Oleh-olehnya jangan lupa lho!”

         “Patung komodo ?”  tebak Fe .

        “Komodonya aja,” canda Al sebelum punggungnya menghilang dari pandangan.

     Setidaknya Fe harus menunggu setengah jam lagi sampai Kevin ke luar. Di bandara ini terlalu banyak bule. Dia harus memperhatikan betul-betul siapa saja yang telah melewati pintu ke luar. Sosok Kevin tidak jauh beda dengan kebanyakan bule yang sedang liburan. Memakai t-shirt dan celana pendek.  Kacamata  akan melindungi matanya dari silaunya sinar matahari. Untuk kenyamanan jalan-jalan lebih suka memakai sandal gunung. Ransel  yang menggantung di punggungnya agak menggembung karena isinya penuh. Lebih sering membawa botol minuman berisi air mineral atau air oksigen. Kadang-kadang memilih soft drink dalam kaleng yang mudah dibuka dan dibuang setelahnya.

         “Fe, sudah lama menunggu?” suara itu mengagetkannya. Kevin tersenyum lebar dan Fe segera bangkit dari duduknya. Di luar dugaan  Kevin memeluknya erat  beberapa lama. Setelah melepaskan pelukannya , dia meneliti wajah Fe adakah yang berubah di sana. “Kamu lebih cantik sekarang.”

         Wajah Fe  memerah mendengar pujian Kevin. Itu bukan sekedar basa-basi. Mata Kevin memancarkan ketulusan dalam kalimatnya. Sayang sekali dia sudah punya pacar.   Teringat kata Al tadi, jangan-jangan dia memang mengharapkan Kevin tidak lagi bersama pacarnya. Dia dan pacar Kevin adalah sama-sama teman di situs pertemanan Internasional. Sebagai perempuan Asia, Fe tidak punya keberanian mengungkapkan perasaannya kepada lelaki. Sementara itu pacar Kevin adalah perempuan Iran , yang dengan gencar melancarkan serangan sampai Kevin tak punya alasan untuk menolaknya.

     “Aku sudah mengatakan semua kejelekanku tetapi gadis ini tetap mau menerimaku. Dia tidak pernah  berhenti mengirimiku pesan. Di  message inbox, lewat post card, menelpon . Dia tidak pernah putus asa  sampai aku mau menjadi pacarnya,” Kevin menjelaskan lewat telpon pada suatu pagi sehari setelah Fe memberinya selamat atas status barunya dari single menjadi in Relationship. Fe membacanya di Facebook yang nampaknya jarang digunakan oleh Kevin  tetapi status barunya itu ditulis tiga hari setelah  kepulangan Kevin dari Yogya. Kevin masih single ketika berlibur di Yogya bersama  Fe dan kedua adik kembarnya yang masih SMA. Kepada mereka, Kevin berjanji akan datang lagi untuk mengajaknya berlibur ke pulau Komodo.

       “Sayang , Nano dan Nino tidak bisa ikut bersama kita,” gumam Kevin kecewa. “Di mana mereka ikut  kompetisi ?”

     “Di  Jakarta,”  Fe  tersenyum bangga membayangkan wajah kedua adik kembarnya yang sedang serius mempresentasikan karyanya dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja mewakili Propinsi DIY di tingkat nasional.  Mereka membuat batu bata tahan gempa  dari campuran tanah dan abu limbah pabrik gula .

         “Mudah-mudahan  mereka menang ,” Kevin berharap.

        “I hope so,” sambung Fe.

     “Pesawat ke Labuan Bajo berangkat jam berapa?” Kevin sudah tidak sabar.               “Dua jam lagi,” Fe mencari-cari tiket yang dibelikan Al di travel agency tadi malam. Cukup mahal. Hampir satu juta untuk 90 menit perjalanan dari Denpasar ke Labuan Bajo. Tidak banyak penerbangan ke Labuan Bajo. Sementara  kalau menggunakan ferry  meskipun ongkosnya jauh lebih murah tetapi akan makan waktu sekitar 36 jam. Terlalu lama untuk mereka. Apalagi Kevin berencana berwisata di Bali setelah menikmati keindahan pulau Komodo. Liburan selama seminggu di Indonesia pasti akan dimanfaatkan sebaik-baiknya. Dia telah mentransfer uang untuk biaya perjalanan dan akomodasi selama liburannya ini awal bulan lalu. Fe telah menghitung total biaya perjalanan mereka sebelumnya sehingga Kevin bisa menyisihkan uangnya setiap bulan sejak pertengahan tahun. Begitu pula Fe yang harus menghemat pengeluran bulanan agar bisa share biaya wisatanya bersama Kevin. Tidak seperti ketika di Yogya dulu, semua biaya ditanggung Kevin.

      “Dari Labuan Bajo ke Pulau Komodo naik apa?” Kevin mengamati sekilas dua tiket yang ditunjukkan Fe kepadanya tetapi masih penasaran dengan rute perjalanan mereka. Nampaknya akan lebih sulit dibandingkan dengan liburan ke Yogya tahun lalu.

      “Kalau naik boat sekali jalan sekitar enam juta. Kita bisa share dengan 10 atau 17 orang  Satu setengah jam sudah sampai. Kalau naik perahu lebih murah. Sekitar tiga juta bisa share dengan 10 orang. Waktu perjalanan sekitar tiga jam,” Fe menjelaskan dan membiarkan Kevin membuat pilihan.

      “Lebih baik naik boat  saja,” Kevin mantap dengan perjalanan yang lebih singkat waktunya.

      Perjalanan udara segera dimulai. Tidak ada yang istimewa dengan mega-mega putih  dan hamparan pemandangan di bawahnya. Sudah biasa melihatnya. Melintasi laut menuju pelabuhan Loh Liang menjadi sangat istimewa bagi mereka. Ada lima belas orang dalam satu kapal . Hanya tiga orang turis lokal termasuk Fe. Sisanya turis manca negara berusia awal tiga puluhan.  Mereka dari Inggris, Jerman. Swedia, Belanda, Australia duan Perancis . Hanya ada  tiga cewek dalam perjalanan itu. Fe , Margareth dan Lenore. Dua cewek bule itu berasal dari Australia.  Dua turis lokal yang lain masih mahasiswa. Aldo dan  Ali yang kuliah di Bandung tetapi berasal dari  Jawa Barat. Sesekali mereka bercakap-cakap ringan mengomentari pemandangan sekitar.

Bukit-bukit  di kanan kiri laut  tanpak kecoklatan karena tidak seluruhnya tertutup rumput. Tetapi birunya air laut menawarkan kedamaian tersendiri. Sepoi-sepoi angin bertiup mengirimkan hawa sejuk yang menenangkan. Rasanya ingin segera sampai agar bisa segera bertualang di  kawasan taman nasional Komodo.  Semangat yang menggebu membuat mereka tak sabar.

Dermaga Loh Liang sudah kelihatan  dari jauh.  Jembatan kayu  memanjang  dengan pagar kuat di  kedua sisinya menjadi jalan utama para  turis yang akan. menjejakkan kakinya di Loh Liang. Mereka melihat rute perjalanan yang akan ditempuh pada peta yang terpampang sesudah pintu masuk kawasanTaman Nasional Komodo. Tour guide menawarkan paket trekking menyusuri hutan untuk melihat komodo dan binatang buruannya.

        “Kita ambil  paket adventure Trek ,” usul Kevin . Itu paket trekking yang paling lama. Teman-teman seperjalanan tadi ternyata hampir semuanya juga memilih paket trekking yang paling lama itu. Mungkin karena mereka semua masih muda. Tidak masalah kalau harus berjalan lama menyusuri hutan mangrove. Pemandangan yang akan ditemui pastilah sungguh luar biasa. Melihat komodo dari dekat. Reptil purba itu akan melakukan aktivitasnya seperti biasa tanpa terganggu oleh kehadiran manusia  di sekitarnya.

Rusa, kerbau  dan babi adalah buruan yang sehari-hari hidup bersama komodo. Mereka sama sekali tidak menyadari kalau keselamatannya terancam setiap saat. Tetapi begitulah  kehendak alam. Air liur komodo  memiliki enam puluh jenis bakteri berbahaya  yang mematikan. Bagi komodo tak perlu waktu lama  untuk menghabisi seekor ular kobra dengan mudah. Kekuatan sebagai pemangsa  ini memberinya tempat  tertinggi di puncak rantai makanan. 

Pemandu menjelaskan rute yang akan dilalui serta apa saja yang tak boleh dilakukan. Salah satunya adalah tidak  boleh memakai benda yang berjuntai-juntai karena itu akan menarik perhatian Komodo.  Untunglah di antara mereka  tidak ada yang memakai benda seperti itu. Tetapi pemandu menyarankan  Lenore melepaskan syal yang dikalungkan di lehernya. Syal warna merah itu akan melambai-lambai jika tertiup angin. Dari pada diburu Komodo, Lenore melepaskan syal itu cepat-cepat lalu memasukkan ke dalam ranselnya. Semua mata tertuju padanya dan itu membuatnya merasa tidak enak .

Mereka segera mulai trekking selagi matahari belum terlalu tinggi. Hutan yang mereka lalui tidaklah serimbun hutan jati di Jawa. Pohon-pohonnya tidak terlalu tinggi tapi cabang-cabangnya banyak.  Dari kejauhan seperti tangan raksasa yang melambai-lambai. Jarak antara pohon tidak terlalu rapat juga. Mereka bisa leluasa berjalan dalam formasi dua dua .

“Minuman kita cukup kan?” Kevin memastikan botol-botol air mineral di ransel Fe bisa menuntaskan dahaganya nanti.

“Ada dua botol ,”  Fe membalasnya tanpa menoleh karena harus membetulkan tali sepatunya yang lepas.

“Tidak usah kuatir. Nanti kita ketemu kafetaria  di ujung sana!” Pemandu menenangkan mereka.

“Kapan kita akan melihat komodo?” Lenore bertanya tak sabar.

“Tunggu saja setelah ke luar dari hutan,” janji Pemandu.

 “Kamu cape ?”  Kevin memperhatikan sekilas keringat yang membasahi leher Fe.

“Nggak,” Fe menyangkalnya sambil membelalakkan matanya. Tindakannya itu membuat Kevin tersenyum. Tak ingin menjadi bahan ejekan Kevin maka Fe segera mengalihkan pembicaraan. “Gimana pacarmu?”

“Pacar ?    She is all right ,” Kevin seperti enggan menjawabnya.

“Kamu sudah ke Teheran ?” kejar Fe merasa tak puas dengan jawaban pendek Kevin. Wajah cowok bermata biru itu kelihatannya tidak suka dengan pertanyaan seputar pacar.

“Aku lebih suka ke Yogya,” Kevin mengucapkan sebaris kalimat itu tanpa memandang Fe yang  masih saja penasaran. “Aku lebih suka kamu dari pada dia.”

Teman-teman seperjalanan mereka nampaknya lebih suka menikmati pemandangan tanpa banyak bicara seperti mereka. Mungkin karena  baru kenal lama  beberapa jam yang lalu. Kesamaan tujuan yang mempertemukan mereka lantas menjadikan mereka satu kelompok dalam trekking melintasi hutan di Pulau Komodo.

“Lihat . Itu ada komodo sedang berjalan!” suara pemandu yang meskipun tidak terlalu keras membuat semua anggota kelompok trekking itu berhenti sejenak. Membiarkan sang predator lewat.  Rasanya seperti sedang menonton film  Dinosaurus. Menyaksilkan reptil purba berjalan pelan-pelan menyeret ekornya yang panjang dan tajam ujungnya. Jika dikibaskan kuat-kuat bisa melukai siapa saja.  Rupanya dia sedang menuju mata air tempat berkumpulnya rusa dan babi. Pemandu mengingatkan agar mereka tidak membuat keributan yang akan mengganggu kawanan binatang itu.

“Itu ada bukit ,” celetuk Fe .

“Kita akan mendakinya,” lanjut Kevin yang dibenarkan oleh Pemandu.

“Kalau pagi kita bisa melihat burung dari bukit itu,” jelas Pemandu mengiringi mereka naik bukit.  Dari sana ternyata bisa melihat laut luas dan pemandangan perbukitan. Bukan bukit  yang hijau tetapi  coklat. Tanaman di bukit itu  tampaknya mengering karena kemarau panjang.

“Fe, kamu sudah punya pacar?” Kevin bertanya  ketika mereka menuruni bukit.

Karena terengah-engah Fe tidak segera menjawab. Sebetulnya dia juga merasa aneh mendengar pertanyaan Kevin. Kenapa  harus bertanya.Seharusnya dia sudah tahu sejak setahun yang lalu. Kalau punya pacar, Fe pasti akan memperkenalkannya kepada Kevin. Tidak mungkin  pacarnya membiarkan  Fe pergi berduaan dengan Kevin menonton Ramayana Ballet di Prambanan malam-malam.

“Aku harus menjawabnya?” Fe ganti bertanya .

What’s wrong with my question?” Wajah Kevin  terlihat bingung.

Fe melihat teman-teman  lainnya yang  terus melangkah meskipun matahari semakin tinggi. Bayang-bayang  tubuh mereka terhalang pepohonan ketika Fe ingin memastikan siapa yang jalan  beberapa langkah di depannya.

“Pak, aku mau istirahat sebentar ,” Fe  setengah berteriak memberitahu Pemandu yang sudah berjalan agak jauh darinya.

“Oke Mbak, kami belok ke kiri nanti ditunggu di kafetaria,” serunya tanpa menghentikan langkah.

Are you okay ?” Wajah Kevin mendadak cemas mendapati Fe menghampiri pohon dengan langkah lunglai.  Dia hanya ingin duduk di bawah pohon itu. Mengeringkan keringat yang meleleh di dahinya dan kembali meneguk air mineral dari botolnya. Kevin mengikutinya duduk di sampingnya.

“Aku tidak apa-apa,” ujar Fe  sesaat kemudian. Seulas senyum di bibirnya akhirnya berhasil menentramkan hati Kevin.

I just broken with her ,”  gumam Kevin seolah bicara pada dirinya sendiri.

“Kenapa?” Fe memandangnya heran

Kevin diam sejenak. Ranting-ranting pohon bergerak pelan seirama hembusan angin. Fe memejamkan matanya ketika angin mengusap lembut wajahnya sampai kemudian telinganya menangkap suara Kevin.

 “Because I love you,” suara Kevin mengalun lirih namun syahdu terdengar di telinga Fe. “Dia memaksaku menjadi pacarnya. It was crazy. She drove me crazy too. Aku sangat bodoh  waktu itu karena mau saja menjadi pacarnya. I am happy now because  it’s over. I’m free. “

Fe  cuma diam tetapi matanya berbinar-binar. Terngiang apa yang diucapkan Al tadi pagi di bandara.  Al benar, Kevin telah putus dari pacarnya.   Beginikah cara Tuhan mengikat tali kasih di antara keduanya? Entah kenapa, dia tak rela Kevin dimiliki cewek lain. Ketika tahu Kevin punya pacar, Fe  berusaha keras memupus harapannya tetapi selalu gagal. Dia  merindukan pesan-pesan singkat yang dikirimkan Kevin di inbox message. Merasa kehilangan jika terlalu lama tidak  ngobrol di Whatapps.

I love you too,” bisiknya mengalir bersama risik angin di dalam hutan.

Kevin memandangnya  seakan tak percaya tapi  binar mata Fe meyakinkannya. Dia mendekat dan mencium lembut kening Fe.  Tak peduli jika datang rombongan turis lainnya yang akan trekking di sana. Biarlah mereka tahu ada dua hati yang menyatu.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.