Bagai Dekapan Ibu

Bagai Dekapan Ibu

Ini Ramadhan pertamaku tanpa Ibu. Sepi, sunyi, dan sendiri yang kurasakan. Karena sepenuhnya hidupku hanya kulewati berdua dengan Ibu di dunia ini.

Terlahir sebagai anak tunggal, sudah cukup membuatku merasa sendiri, tapi kemarin aku masih ditemani sosok Ibu yang mampu berperan sebagai kawan, sahabat, ayah, guru, bahkan kakak untukku.

Kini aku hanya sendiri. Bahkan air mata tak ingin menemaniku, di luar suara gerimis menemani sore menjelang Ramadhan.

Rumah sudah bersih, jendela rumah sudah kubuka dari pagi. Seolah ingin kupenuhi seluruh bagian rumah dengan berkah Ramadhan agar aku tidak sepi sendiri. Setiap pojok rumah sudah kuberi irisan pandan juga sejumput melati yang kupetik pagi tadi di kebun, seperti cara Ibu menyambut Ramadhan.

Entahlah, aku dan Ibu suka sekali wangi keduanya saat memenuhi ruangan. Lembut dan manis.

"Tak usah masak kolak lagi Ibu, aku sudah mencium aroma kolak dari irisan pandan ini," ujarku suatu saat pada Ibu, yang kemudian dibalas tawa olehnya.

"Berarti jangan buat bubur ketan juga, ya?" balas Ibu sambil menabur irisan pandan di atas piring kecil.

"Kalau bubur ketan tetep bikin, dong. Ilsya pengen makan bubur ketan hitam dengan santan kental ya, Ibu," sahutku manja.

Sejak kepergian Ibu, tak pernah aku rasakan bubur ketan hitam yang enak, atau tepatnya tak pernah ada yang pas di lidahku. Selalu ada yang beda dari bubur ketan buatan Ibu. Hanya ibu yang sempurna soal masakan.

Setahun sejak kepergian Ibu, jarang sekali ada yang datang ke rumah. Pintu rumah selalu tertutup, aku menghabiskan waktu sendiri di rumah ini. Waktuku habis di kebun, seperti dulu aku dan Ibu selalu menghabiskan waktu di kebun. Pekerjaan yang membuat kami berdua bisa tertawa bersama. Memetik sayuran setiap pagi adalah tugasku, lalu Ibu akan mengolahnya menjadi masakan yang sangat enak.

Sayang, aku tak sempat belajar banyak cara mengolah sayuran. Aku tak pernah benar-benar menyiapkan diri untuk kesendirian.

Aku merasa Ibu tak akan begitu cepat meninggalkan aku. Seperti janjinya, Ibu akan menemaniku saat aku wisuda nanti, Ibu akan membuatkan aku kebaya pengantin berwarna putih seperti kebaya Ibu dulu. Tetapi waktu berkata lain, harapan hanya tinggal harapan tanpa butuh menjadi kenyataan.

Hari ini aku ingin semua berubah. Ramadhan akan kusambut dengan senyum.

Sejak subuh aku sibuk memetik sayur-mayur di kebun. Cabe, tomat, semua aku panen dengan senyum. Daun pandan aku petik, serai yang tua aku cabut, kelor aku potong lalu kuikat menjadi beberapa bagian, semua kubagi sama rata. Kumasukkan dalam plastik hingga menjadi 10 plastik sedang.

Terakhir, aku ambil kardus di dapur yang masih berisi penuh dengan bungkus gula pasir, teh dan mie instan. Semua aku bagi rata dalam 10 plastik sayur hasil kebun. Lalu aku keluar pagar, mendatangi tetangga rumah kami dengan senyum mengembang.

"Assalamualaikum … Bu Parjo, ini hasil kebun Ibu. Saya baru panen pagi ini."

"Ibu Bambang, ini ada sedikit hasil panen dari kebun Ibu."

"Mbak Minto, ini ada sedikit panen kebun Ibu ...."

"Mbak Ida,  maaf cuma sedikit dari hasil kebun Ibu ...."

Semua kantong plastik sudah habis terbagi, langkah kakiku ringan kembali pulang.

Memandang kebun yang sudah tampak rapi, berdoa agar Sang Pencipta menurunkan hujan untuk menyiraminya dengan air langit pembawa kesuburan.

"Ibu ... aku merasakan senyum dan bahagiamu di sana."

Sore gerimis menyambut Ramadhan, kubuka kamar Ibu. Aroma khas Ibu selalu terasa hangat. Kucari dalam laci lilin kecil yang selalu disimpan Ibu yang menjadikan kamarnya wangi. Bahkan wadah kecil dari tanah liat yang menjadi tempat menaruh lilin masih rapi tersimpan.

Kubuka plastik lilin bertuliskan sandalwood essential itu dengan perlahan, seolah lilin itu terbuat dari porselen yang mudah pecah. Kubakar lilinnya, kuhirup wangi lembut yang menyebar sambil kupejamkan mataku. Kucari tetesan air mata yang biasanya ikut hadir setiap aku merindukan Ibu, kini tak ada datang menemaniku.

Haruskan aku marah? Karena air mata itu tak hadir?

Kenapa bibirku ditarik menjadi seulas senyum?

Apakah Ibu ingin aku tersenyum mulai hari ini?

Kutatap diriku dalam cermin, lebih kurus dari sebelumnya. Wajahku tampak tirus tak terurus, bahkan ada lingkaran hitam di mata. Tanganku sibuk mencari sesuatu di meja rias Ibu. Benda kecil berwarna emas itu kutemukan masih rapi tersimpan, lalu tergesa kubuka dan kuoleskan pada wajahku. Sama seperti bila Ibu mengoleskan cairan ini di wajahnya.

Sambil memijat ringan wajahku, aku tetap tersenyum melihat kekonyolan yang kulakukan.

"Maaf ya Ibu, Ilsya obrak-abrik kamar Ibu minta minyak mawarnya buat wajah Ilsya," ucapku pelan seolah takut ketahuan oleh Ibu.

"Ilsya pengen cantik juga kaya Ibu, wangi kaya Ibu ..." ucapku pelan takut terdengar bila bersuara keras.

Sejenak merasakan sensasi segar di wajahku, aku beranjak ke tempat tidur Ibu yang selalu rapi. Seprai batik kesukaan Ibu selalu terpasang dengan kerapian yang terjaga. Sejak Ibu pergi, tiap pagi dan sore kamar Ibu selalu kubersihkan, rutin kuganti seprainya seolah Ibu akan kembali pulang dan bahagia melihat aku tetap menjaga kamar pribadinya.

Kurebahkan diri di atas kasur Ibu yang wangi. Entah aroma mana yang membuat aku menjadi ingin tertidur. Apakah dari lilin dengan aroma cendana, atau rose oil yang kuoleskan di wajahku, atau aroma jasmine yang lembut dari taburan melati yang ikut menerobos masuk dari ruang sebelah. Aku tak tahu yang kurasakan, tapi tubuhku menjadi rileks dan ingin berbaring di kasur Ibu.

"Sekarang Ilsya tahu, biarpun sendiri, Ilsya tak benar-benar sendiri karena wangi Ibu selalu ada menemani Ilsya. Bahkan seluruh penjuru ruangan di rumah ini masih sama seperti Ibu ada. Ilsya akan terus mengikuti cara Ibu merawat diri, Ilsya pengen cantik kayak Ibu, pengen wangi kayak Ibu ...."

"Ilsya ... kangen ibu. Peluk Ilsya terus ya, Bu ..." bisikku sampai mata terpejam.

Gerimis di luar mengembuskan angin sejuk yang menerobos dari jendela kamar Ibu, seperti dibuai oleh dekapan Ibu, aku tertidur lelap tanpa air mata. Karena sepenuhnya aku tahu, Ibu masih menemaniku dengan wujud aroma wangi cendananya. Aroma yang lembut, yang bahkan sekilas saja dapat membuatku merasakan hangat dekapan Ibu. Aroma yang tidak pernah pergi meninggalkanku, karena aroma Ibu adalah aroma keabadian.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.