Cerita Pengalaman 2

Akhirnya kelas menulis itu saya ikuti sampai tuntas. Saya sanggup menulis 1000 kata setiap harinya. Meskipun cerita saya masih belum bagus, settingnya, karakternya, kalimatnya masih belum efektif, masih banyak typo, dsbgnya. Ceritanya berputar-putar disitu saja. Seperti sengaja dibuat panjang dan bertele-tele Saya sendiri yang menulisnya tidak memiliki kepercayaan diri untuk membaca ulang. Hanya membaca ulang bukan mengeditnya. Apalagi untuk diupload disebuah platfrom, sungguh saya belum memilki kepercayaan diri itu.
Yang membuat saya bangga akan diri saya adalah komitmen saya untuk tidak dikeluarkan dari group belajar. Saya berhasil menyelesaikan tantangannya. Boleh bukan saya berkesimpulan bahwa seseorang itu bisa jika benar-benar mau.
Bayangkan disela-sela kesibukan saya bekerja, saya selalu memyempatkan diri untuk menulis 1000 kata, mungkin mudah bagi mereka yang sudah terbiasa menulis cerita. Tapi tidak dengan saya. Deadline tugas dikumpulkan setiap hari sebelum pukul 8 wita. Jika saya baru sempat menulis pukul 6 wita maka saya akan memakai seluruh fokus saya untuk menyelesaikan tulisan tersebut dengan terus mengetik maju. Tidak peduli dengan apapun yang saya tulisan. Jika saya terlalu mempedulikannya dapat dipastikan jari saya akan selalu mundur, menekan terus tombol backspace.
Menulis berbeda dengan menanam padi. Jika keberhasilan menanam padi terletak pada gerak mundur, maka keberhasilan menulis terletak pada gerakan maju. Jika sering bergerak mundur maka tulisan tidak pernah selesai dan ide mudah menguap. Lalu mulailah membuat alasan sedang "Block writer".
Menulis fiksi menurut saya lebih susah dibandingkan menulis non fiksi. Cerita fiksi memerlukan daya imaginasi yang tinggi dan tetap logis. Andrea Hirata pernah berkata, "Menulis itu cepat." Untuk novel terbarunya hanya perlu 10 hari. Namun memerlukan waktu 9 tahun untuk risetnya. Bayangkan 9 tahun.
Menulis non fiksi ibarat menuliskan sebuah dunia baru. Yang temanya sama, itu-itu saja. Namun dengan gaya bercerita yang berbeda, dan tokoh serta setting yang berbeda juga. Apalagi cerita dengan tema fantasi.
Tapi menulis fiksi memberikan kebebasan kepada penulisnya, mau dibawa kemana ceritanya. Disana penulis dapat berimajinasi menjadi sangat sukses, memiliki segalanya. Atau memilih menjadi sangat menderita dan sengsara. Penulis juga dapat memilih menjadi sangat bengis dan kejam. Jadi semua terserah penulis. Apa hanya penulis yang harus paham tentang PUEBI atau EYD dan KBBI? Mungkin. Karena penulis harus sebisa mungkin menghindarkan typo pada kalimatnya.
Namun apa yang membuat saya kecewa dengan penutupan kelas ini? Hanya karena tidak adanya kesimpulan. Tidak ada review dari tulisan yang sudah susah payah dibuat selama 30 hari. Setelah selesai, ya sudah selesai. Padahal katanya tulisan yang kita kumpulkan setiah hari itu dibaca semua oleh pemberi materi . Bukankah bisa sedikit untuk masing-masing orang diberikan masukan menurut penilaian pemateri? Jadi saya dapat mengetahui kelemahan tulisan saya dari sisi orang lain. Untuk E-sertifikat pun didapatkan jika setelah memberikan testimoni dan japri. Merepotkan bukan? Bagi saya iya. Kenapa tidak langsung diberikan saja? Sama seperti kamu melakukan perjalanan panjang yang melelahkan dan begitu sampai tujuan mereka yang kamu cari tidak ada. Saya mengira akan ada sesuatu dipenghujung kelas dan ternyata zonk. Atau sayanya saja yang berlebihan, mungkin saja.
Dari semua kelas menulis yang pernah saya ikuti ini adalah kelas yang membuat saya tertantang untuk tidak dikeluarkan dari group. Sering ilmu itu hanya dipelajari bukan untuk dipraktekan. Jika sudah sering mengikuti kelas menulis seharusnya sudah setidik lebih mahir bukan? Sama seperti kita belajar nyetir, selesai kursus tidak praktek. Buyar sudah, hanya menyetir dalam angan.
Kebiasaan menulis harusnya sudah terbentuk pada diri saya. Bukankah sesuatu yang baru akan menjadi sebuah kebiasaan dalam 21 hari? Saya sudah melakukannya selama 30 hari. Dan ternyata tidak. Saya belum terbiasa menulis 1000 kata. Apa mungkin perlu waktu lebih lama lagi? Saya masih kesulitan untuk menulis 1000 kata. Dan jika tidak saya bulatkan kembali tekad saya, maka saya pastikan dalam hari-hari kedepan saya tidak akan menulis apalagi 1000 kata. Menulis itu sebenarnya sama entah berapa katapun, yang penting punya amunisinya? Katanya juga menulis dan membaca adalah sepaket. Semakin banyak mebaca karya orang lain maka akan semakin bagus karya kita.
Jadi apa yang lebih penting? Repetisi atau tekad? Menurut saya tekad. Jika sudah membulatkan tekad maka apapun bisa. Membulatkan tekad dari hati bukan hanya ucapan. Tapi setitik saja keraguan maka semua tidak akan pernah terjadi.
Daripada orang lain kita lebih sering meragukan diri sendiri. Dan lebih mudah meyakinkan orang lain atau mempercayai orang lain melebihi diri sendiri. Benar bukan? Ada ungkapan yang mengatakan saya pernah mengatakan, "Tidak bisa" pada diri sendiri ganti dengan belum terbiasa. Lihat, betapa kita menipu diri sendiri. Apa yang salah dengan mengatakan tidak?
Kata tidak berarti penolakan. Sebagian orang tidak menyukainya, saya pun terkadang. Tetapi mengapa? Bukankah tidak semua harus dijawab, "Iya?" Kenapa kita tidak cukup berbesar hati menerima kata, "Tidak?"
Disetiap kelas yang saya ikuti, saya jarang terlibat aktif. Seperti memperkenalkan diri, menyimpan nomor teman lainnya, saling menyapa, mengobrol, dsbgnya. Mungkin saya hanya akan sesekali bertanya, jika perlu. Begitupun menjawab obrolan group, sesekali saja jika perlu.
Yah begitulah kelas itu sudah usai, tapi saya tidak usai mengikuti kelas lainnya. Semoga goal saya tercapai. Kenapa masih semoga? Karena saya masih meragukan diri saya sendiri. Tentu saya tidak dapat memaksakan diri saya untuk berpura-pura yakin bukan?
Berpura-pura sepertinya tidak dapat kita hindarkan. Kita perlu beberapa penyangkalan terhadap realita agar tetap diterima dimasyarakat. Agar harimu damai. Jika selalu berterus terang, apa adanya, akan banyak yang terluka, akan ada banyak perdebatan. Coba saya didunia kerja sering-sering mengatakan tidak pada atasan, maka sisa harimu dipastikan akan penuh siksa.Untuk itu kita menyiasatinya dengan berpura-pura berkata iya, walaupun hatimu menjerit tidak. Sesuai kata pepatah, " Dalamnya hati dapat diukur, dalamnya hati siapa yang tahu?"
Berapa sering hati dan otakmu tidak sinkron? Mana yang lebih kamu dengarkan, pikiranmu atau hatimu? Mereka jarang bersatu. Selalu berlawanan arah dan bertentangan. Selalu tolak-menolak. Selalu berdebat. Lihatlah, pikiran dan hati yang dalam satu tubuh kita saja tidak jarang bersatu. Kita saja sering menyangkal kata hati bukan?
Jadi setiap kelas pasti mempunyai penilain yang berbeda dari para pesertanya. Kelas menulis ini mendapatkan penilaian 8/10. Dan diluar sana jika kamu rajin, menfollow akun-akun kepenulisan akan banyak sekali ilmu kepenulisan yang gratis. Begitu dengan lomba menulis akan ada banyak sekali. Yang penting kamu punya naskahnya. Siapkan naskahmu maka cepat atau lambat, kamu pasti punya sebuah karya.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.