Di jaman penjajahan Jepang dahulu, 1941-45, berbicara bahasa Belanda adalah terlarang. Dalam percakapan sehari-hari, orang-orang Indonesia diwajibkan memakai bahasa Indonesia. Padahal, banyak orang Indonesia yang tak bisa berbahasa Indonesia dengan baik dan benar. Berhubung sejak lahir mereka terbiasa bercakap dengan Bahasa Belanda.
Karenanya, tempat-tempat kursus bahasa Indonesia pun banyak diselenggarakan. Berbondong-bondonglah orang-orang Indonesia, terutama anak-anak sekolah, mendaftarkan diri. Termasuk di antaranya adalah Ibu saya, yang waktu itu kira-kira duduk entah di bangku SMP akhir atau SMA awal, serta kakak-kakak dan adik-adiknya.
Saat mendaftar, Ibu menerima formulir pendaftaran. Biasalah, isi data ini dan data itu, termasuk nama lengkap. Formulir kemudian diserahkan kembali ke petugas. Setelah sejenak mempelajari isi formulir dari Ibu, petugas lalu memandang ibu saya.
"Tamimi? Tadi sudah ada juga pendaftar bernama Tamimi," celetuk sang petugas.
Tamimi adalah nama keluarga Ibu.
"Oh, itu mpok saye," jawab Ibu. Sang pertugas tersenyum saja.
Loh, itu Ibu ngomong bahasa Indonesia kan? Buat apa kursus lagi? Demikian saya bertanya ke Tante Enna, kakaknya Ibu, yang menceritakan kisah ini ke saya.
"Yang ibumu pakai itu bahasa Betawi. Hitungannya bahasa daerah, bukan bahasa Indonesia," jelas Tante Enna. "Kalau bahasa Betawi, kami semua memang lumayan bisa," katanya lagi.
Bahasa Betawi dipelajari Ibu dan kakak-adiknya dari pembantu rumah tangga (PRT), yang adalah orang-orang Betawi. Mau tak mau semua harus menguasainya, untuk dapat berkomunikasi dengan para PRT sehari-harinya.
"Karena, para PRT kami tak seorang pun bisa berbahasa Belanda," kata Tante Enna lagi. =^.^=