Kisah Ayahku si Kaum Urban

Sepotong catatan perjalanan seorang putra daerah untuk bisa merantau ke ibu kota.

Kisah Ayahku si Kaum Urban
Image by Clker-Free-Vector-Images from Pixabay
Kata ‘urban’ menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia daring adalah, orang yang berpindah dari desa ke kota. Orang seperti itu sering disebut sebagai kaum urban. Termasuk dalam kelompok ini adalah almarhum ayahku. Karena, beliau sejatinya seorang putra daerah yang lahirnya juga di daerah.
 
Ayah dilahirkan memang bukan di kampung halaman orang tuanya yang di Kotogadang, Sumatra Barat. Melainkan, di Payakumbuh, sebuah kota yang juga berada di Sumatra Barat. Papanya Ayah adalah seorang guru, yang penempatan dan lokasi kerjanya diatur oleh pemerintahan kolonial dulu itu. Sewaktu Inyiak—demikian papanya Ayah kami panggil, yang artinya kakek—ditempatkan di Payakumbuh itulah Ayah lahir.
 
Kemudian, Ayah dan keluarganya tinggal di Bukittinggi, yang berlokasi tak jauh dari Kotogadang kampung halaman mereka. Ayah anak bungsu, yang mungkin oleh Tuo—panggilan untuk mamanya Ayah, artinya nenek—kalau bisa dikekep terus di sampingnya . Tapi, rupanya jiwa merantau Ayah sudah bergejolak sejak muda—begitu mungkin kalau disebut secara romantisme keblinger hehe.
 
Kalau tak salah, Ayah berusia 12-13 tahun ketika niat merantaunya ke ibu kota, yang dulu bernama Batavia, tak lagi terbendung. Ayah kelahiran 1923, tahun ketika beliau pamit ke Tuo mungkin sekitar 1935-6.
 
"Boleh," kata Tuo, "Tapi, harus pakai uang sendiri ya!"
 
Bukannya tak mampu atau pelit, tapi Tuo tak mau anak bungsunya pergi. Ayah yang tetap kekeuh untuk merantau, segara cari akal. Masa itu, kalau mau ke Pulau Jawa dari Sumatra, penyebrangan bukan dilakukan dari Bakauheni di Lampung seperti sekarang. Melainkan, dari sekitaran Palembang (saya tak tahu tepatnya di mana). Di Jawa mendaratnya di daerah Banten.
 
Tantangan dari Tuo dijawab Ayah dengan bekerja sebagai kenek bis rute Bukittinggi-Palembang. Lumayan! Alih-alih bayar ongkos bis ke Palembang, malah dibayar. Uangnya bisa dipakai untuk biaya perjalanan selanjutnya.
 
Tiba di Palembang, Ayah hitung-hitung uang hasil kerja jadi kenek. Ternyata, masih kurang buat beli tiket kapal sekali jalan ke Jawa dan perjalanan seterusnya. Jadi, sekali lagi Ayah ngenek, kali ini pada bis jurusan Palembang-Bukittinggi.
 
Sesampainya di Bukittingi, Ayah langsung pulang ke rumah. Tuo senang sekali melihat anak bungsunya muncul di rumah meski tampak kumal.
 
“Tak jadi ya?” tanya Tuo sambal tersenyum lebar.
 
Tapi, rasa senang Tuo muncul terlalu cepat. Besoknya, Ayah sudah menghilang lagi. Lagi-lagi jadi kenek bis ke Palembang, lagi.
 
Oh ya, dugaanku di atas bahwa saat itu Ayah berusia sekitar 12-13 tahun adalah, berdasarkan sebuah foto lama yang sayangnya sudah rusak terendam banjir. Di mana Ayah berdiri dengan tersenyum bangga, sambil memegang sebuah sepeda yang tingginya hampir sama dengan tinggi Ayah. Lokasinya di Batavia.
 
"Sekitar umur 13 tahun. Itu sepeda Ayah beli dengan uang sendiri, hasil jualan kacang Arab," cerita Ayah bangga.
 
Di Jakarta, eh Batavia, Ayah tinggal pada kerabat yang tak kurang jumlahnya. Tapi, Ayah pernah dipulangkan ke Sumatra oleh pemerintah kolonial Batavia. Waktu itu rupanya ada program memulangkan para urban ke daerah asalnya. Ayah terciduk dan dikirim kembali ke kampung. Kapan kejadiannya, entah saya tak tahu.
 
Namun, sesampainya di Sumatra, Ayah tak melanjutkan perjalanan pulang ke Bukittinggi. Sebaliknya, beliau malah berupaya untuk bisa menyelundup balik ke Jawa. Pada satu malam dengan perahu nelayan bersama sesama kaum urban penyelundup lainnya, berangkatlah Ayah meninggalkan, sekali lagi, Pulau Sumatra. Mendaratnya di Banten dan lalu kembli menuju Batavia untuk melanjutkan hidup sebagai kaum urban.   =^.^=
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.