PANGERAN BERKUDA PUTIH
Malam berjalan begitu lamban menyisakan waktu dengan percuma. Kedua belah matanya yang masih terus terjaga tak menjaga apapun di lubuk hati kecuali segores luka. Entah sudah berapa goresan luka tersayat di hati itu. Luka lama yang mengering mengundang luka baru sebagai pendamping. Siapa yang akan mengeringkan luka-luka itu selain waktu yang nampaknya tak mau buru-buru berlalu?
Dia seorang perempuan dengan hati begitu kecil dan air mata hangat yang kerap membasahi kedua belah matanya. Malam-malamnya terasa begitu menyiksa. Ketika keinginan meminta sebuah nama untuk mengisi ruang di dalam jiwanya yang terdengar hanya gema kesunyian. Tak adakah sosok yang bersedia berdiam di sana?
“Aku telah mengusir semua sosok yang bernyawa dari jiwaku,” bisiknya pelan kepada keinginan yang terus mendesak meminta sebuah jawaban. ”Mereka tak ada gunanya bagi hidupku karena selalu menuntutku tunduk pada kehendaknya. Ketika aku tak mampu memenuhi kehendak mereka yang duniawi mereka menganggapku tak berguna.”
Dia mencoba memunguti kekecewaan yang berserakan di hatinya, menaruhnya dalam keranjang sampah lalu membuangnya ke sudut malam yang gulita. Biarkan saja teronggok di sana karena dia pun tak sanggup melenyapkannya dalam sekejap. Kekecewaan itu beraneka warnanya. Ada yang basah oleh air mata duka, ada yang membara oleh kilatan amarah dan ada yang telah hangus oleh waktu tapi serpihan-serpihannya tak juga musnah.
“Aku inginkan teman yang akan selalu di dekatku dan bersedia untuk selalu bersamaku menguburkan kekecewaan itu di dasar bumi, melindungi hatiku dari tersayat luka dan mendorong jauh-jauh tamparan kekecewaan memenuhi ruang di hatiku.”
Sunyi malam tak menjawab keinginan hati perempuan yang terus terjaga sepanjang malam itu. Sunyi jiwanya pelan-pelan menjawab dalam desah yang samar. Jiwa yang kosong itu terasa hangat seketika. Sebuah sosok menyeruak masuk ke dalamnya. Sosok lelaki mengendarai kuda putih turun dari langit imajinasi menunggu mendapatkan rupa yang sempurna. Perempuan itu menyempurnakan rupanya dalam sosok lelaki bermata tajam berambut hitam sebahu. Wajah lelaki itu dibentuk oleh rahang yang kuat dengan dagu runcing sementara bibirnya lebih sering terkatup tapi segera membentuk seulas senyum menawan ketika perempuan lemah itu menuturkan kisah-kisah penuh luka.
“Pangeran berkuda putih,” desahnya dengan senyum untuk merasakan kehadirannya dalam jiwanya.
“Aku akan hadir kapanpun kau inginkan,” janji Pangeran padanya dengan tatapan mata meyakinkan. “Ke manakah kekecewaan itu akan kita bawa? Kau ingin kuburkan atau kau ingin ceritakan padaku dari mana kekecewaan itu berasal sebelum melenyapkannya bersamaku?”
“Aku ingin bercerita kepadamu Pangeran,” sahutnya dalam suara hati.
Pangeran turun dari kuda putihnya, mendekatinya lalu mereka berjalan menuju bukit kecil penuh bunga-bunga bermekaran di sekitarnya. Tak ada siapapun kecuali mereka berdua, tak ada suara di situ selain desah angin dan risik dedaunan, tak ada bau menyentuh penciuman selain aroma wangi bunga dan wangi rumput di sekeliling mereka berdua.
"Orangtuaku kecewa padaku,” keluhnya dengan pandangan menerawang. “Aku merasakan dari tatapan mata mereka setiap kali melihatku. Aku juga mendengarnya dari keluh ibuku setiap kali menuturkan keadaanku pada bibi-bibiku. Bahkan kepadaku ibuku dengan bersemangat membanggakan kekayaan dan keberhasilan saudara-saudara sepupuku.”
Sesaat dia terdiam dengan mata basah dan dada berguncang oleh tikaman tajam yang membekaskan luka dalam. “Mereka menentukan kriteria kebahagiaan adalah uang banyak yang bisa membeli segala materi duniawi. Lihatlah aku! Mampukah aku mencapai kebahagiaan yang mereka dambakan? Aku sendirian menapaki kehidupan, mempertahankan nafasku dan nafas anakku dengan keringat dan air mata. Sudah lama aku melupakan keinginan duniawi kecuali menyekolahkan anakku dan memenuhi lapar dahaga kami.”
“Kau terluka karenanya?” tanya Pangeran hati-hati sambil menatap ke dalam matanya. “Seharusnya semua itu tak akan melukaimu. Tak ada seorang pun yang bisa melukaimu kecuali kau mengijinkannya.”
“Aku tak akan mengijinkannya,” desahnya serak dan perihnya luka tertahan sejenak.
“Kau terpilih untuk menjalani ini semua,” bisik Pangeran di dekat telinganya.
“Apakah aku menjadi begitu istimewa dengan dipercaya untuk merasakan luka-luka ini?”
“Ya, kau perempuan istimewa dengan kekuatan yang tak dimiliki setiap perempuan di bumimu. Tidakkah kau sadari itu?” senyum Pangeran menghapus sisa-sisa air matanya. “Kau bertahan menjadi orangtua yang baik untuk anakmu satu-satunya. Kau rela menekan semua keinginan duniawi demi mengantarkan anakmu untuk bisa mempunyai masa depan. Bahkan kau rela mengorbankan keinginanmu sendiri untuk ditukar dengan sekeping keinginan anakmu. Kau membutakan mata untuk semua tawaran hedonis. Kau tak pernah menjual derita pada saudara dan teman yang berkelebihan harta. Kau bekerja dengan semangat untuk mempertahankan kehidupanmu dan bukan untuk membukakan mata semua orang agar mengagumi kekuatanmu. Kau sungguh istimewa, kau sungguh hebat meski tak ada yang mengatakannya. Mereka mestinya malu memikulkan beban terlalu berat di pundakmu, karena bebanmu telah begitu berat untuk seorang perempuan yang lemah jiwa raganya.”
“Aku bukan perempuan selemah yang kau kira,” sahutnya sedikit marah.
“Aku tidak mengatakan kau lemah, tapi semua perempuan di bumi ini lebih suka dianggap lemah agar tak perlu berbuat apa-apa untuk kehidupannya.”
“Terkadang aku iri pada mereka,” gumamnya dengan mata menerawang.
“Tidak perlu dan tidak ada gunanya. Setiap perempuan menjalani takdirnya sendiri yang telah dirancang dengan sangat adil oleh Yang Kuasa.”
“Adil?” tukasnya dengan mata membelalak lalu ia tersenyum getir. “Aku menjalani hidupku dalam sebuah garis lurus yang tak terputus, seharusnya aku sudah sampai di tujuan, tapi apa yang terjadi? Aku terperangkap dalam garis-garis kusut masai hingga langkahku terhambat.”
Pangeran menatapnya sesaat sebelum berkata-kata dalam hening sunyi malam itu. “Hidup bukanlah sebuah garis lurus, karena itu akan sangat menjemukan. Kamu punya cukup waktu untuk sampai di tujuanmu meskipun harus mengikuti garis kusut masai terlebih dulu. Setiap orang memiliki waktu berbeda-beda untuk sampai tujuan.”
“Kebahagiaan itu nampaknya mustahil kudapatkan,” bisiknya sendu.
“Kebahagiaan yang seperti apa? Seperti yang mereka inginkan atau seperti yang kamu inginkan? Jangan terjebak pada apa yang kamu inginkan padahal yang sungguh-sungguh kamu butuhkan bukanlah apa yang kamu inginkan,“ ujar Pangeran sambil mengisyaratkan pada perempuan itu untuk duduk di bawah sebuah pohon yang sangat rindang. Ia menambatkan kudanya tak jauh dari pohon itu lalu menyandarkan tubuhnya pada batang pohon yang kokoh dan lebar. Perempuan itu melihat sekilas ke wajah lelaki di dekatnya itu dan mulai menyadari ketampanannya. Bahkan, mantan suaminya yang oleh kebanyakan teman-temannya dikatakan cukup tampan masih kalah dibandingkan pangeran berkuda putih ini. Sorot matanya yang tadi nampak tajam sekarang sedikit lebih redup dan lembut diikuti senyuman tipis yang membuat kedua sisi atas bibirnya tertarik ke atas. Ketenangan mulai merayapi batinnya, membuatnya melupakan perihnya luka dan beratnya beban hidup yang disandangnya.
“Aku butuh ketenangan seperti yang kurasakan saat ini,” gumamnya samar.
“Jika jiwamu tenang maka akan mudah kau raih ketenangan hidup, dan kebahagiaan itu tak lagi mustahil bagimu.”
“Kenapa jiwaku tidak pernah tenang?” perempuan itu seperti bertanya kepada dirinya sendiri, mencoba mencari jawaban dari desiran angin dan berharap Pangeran kembali menenangkan jiwanya yang gelisah dan marah.
“Hilangkan iri, kecewa, sedih dan amarah itu,“ kata-kata lembut dari bibir Pangeran menyadarkannya. Emosi negatif itu seolah melilit seluruh tubuhnya, membuatnya sulit bernafas, sulit bergerak dan selalu menghujamkan rasa perih di hati, rasa sesak di dada dan rasa panas di perutnya. “Ayo, kubantu kau keluarkan semua emosi negatifmu lalu kita hempaskan bersama angin. Pejamkan matamu, pegang erat-erat kedua tanganku, lalu pelan-pelan kau enyahkan semua emosi negatif dari relung hatimu!”
Perempuan berwajah tirus itu terengah-engah mengusir amarah, melenyapkan iri dan membuang jauh sedih dan kecewa. Tubuhnya mandi keringat. Bulir-bulir keringat nampak di kedua keningnya lalu turun ke pipi dan menetes lewat kedua sisi wajahnya. Pangeran pelan-pelan melepaskan kedua tangannya dari genggaman perempuan itu lalu mengangkatnya ke atas. Angin berkumpul di atas kedua tangannya, berputar-putar sejenak sebelum digiring ke arah tubuh perempuan di hadapannya. Hembusan angin terasa sejuk menyiram tubuh perempuan yang basah keringat. Lega sekali rasanya, sesuatu yang berat dan menyesakkan dada telah terlepas begitu saja dan hilang entah ke mana. Pelan-pelan ia membuka mata dan mendapati senyum menawan Pangeran.
“Kau telah merasakan bahagia yang kau cari selama ini,” tutur manis itu terdengar merdu di telinganya. Tiba-tiba ia merasakan tubuhnya begitu ringan seakan sanggup melayang ke angkasa untuk bisa menikmati keindahan seisi dunia dari atas sana.
“Kau akan meninggalkan aku Pangeran?” kekhawatiran tertangkap dalam suaranya yang bergetar.
“Aku akan selalu bersamamu, kapan pun kau inginkan aku akan hadir di dekatmu,” Pangeran kembali mengulangi janjinya. Suaranya mantap, senyumnya menjanjikan ketenangan yang luar biasa.
Kedua belah mata perempuan itu basah, dadanya terguncang keras seiring dengan detak jantungnya yang tak beraturan. Ia tersedu dalam rintihan pilu. “Jangan pergi Pangeran, jangan tinggalkan aku. Kebahagiaan ini akan pergi juga bersamamu.”
“Kebahagiaan itu tetap menjadi milikmu karena aku terus berada di sampingmu saat kau tertidur maupun terjaga. Aku akan selalu menjagamu agar bahagia tak lepas dari hidupmu.”
“Jangan... Jangan pergi!” Ia terisak lagi dan berteriak sejadi-jadinya.
Bayangan Pangeran yang tampan memudar, begitu pula kuda putih yang tertambat di pohon. Kedua sosok itu segera menghilang meninggalkan seberkas cahaya terang dan sangat menyilaukan. Bersamaan dengan itu ia mendengar suara yang sangat dikenalnya dan sepasang tangan menggoyang-goyangkan tubuhnya.
“Mama... Mama... bangun, Ma!” Gita terus menggoyang-goyangkan tubuh perempuan itu agar mau membuka matanya. Hanya kepada perempuan itulah Gita menggantungkan seluruh hidupnya.
“Renjani, sadarlah...!” itu suara Ibunya yang terdengar tegas namun ada nada khawatir menyelimutinya.
Perempuan itu pelan-pelan membuka matanya, memandang ke sekitarnya. Ada dokter laki-laki berbaju putih tepat berdiri di samping kirinya. Gita di samping kanannya dengan rambut dikepang dua tersenyum ke arahnya. Bapak dan ibunya berdiri di sebelah Gita diikuti oleh ketiga sepupu laki-laki yang selama ini tinggal bersama mereka.
“Syukurlah, Ibu Renjani sudah sadar. Tolong, Ibu jangan minum obat-obatan ini lagi,” lanjut dokter itu sambil memunguti butiran-butiran tablet yang tercecer di meja di dekat tempat tidur Renjani.
“Mama... jangan minum obat tidur banyak-banyak,” kata Gita sambil mendekatinya. Dipeluknya gadis kecilnya itu sambil menahan air mata yang hampir tumpah. “Mama tidur sehari semalam nggak bangun-bangun. Gita berangkat sekolah diantar Oom Rizal, pulangnya dijemput Oom Bagas, eh Mama belum bangun juga,“ lanjut Gita menjelaskan keadaan yang terjadi.
“Efek obat tidur ini sangat kuat, dosisnya sangat tinggi,” Dokter itu menimpali, ”Nanti ibu minum vitamin yang saya berikan ini, jangan terlalu capai dan banyak pikiran.”
Jam dinding di kamar itu tepat menunjuk angka lima ketika dokter minta ijin pulang. Sinar matahari sore menerobos masuk lewat celah-celah jendela. “Tolong buka gordennya,” pinta Renjani pada Gita.
Di balik jendela itu Renjani menemukan Pangeran berkuda putih tersenyum ke arahnya. Benar, ia menepati janjinya, akan selalu ada di mana pun dan kapan pun untuk Renjani. Kedamaian itu seolah mengalir dari tatapan matanya lalu pelan-pelan menentramkan hati Renjani
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.