Mari Memilih

Pemilu 2024

Mari Memilih
 
Neng Ts, anak almarhum sobatku, pada malam 13 Februari meneleponku. Katanya, undangan untuk hadir ke TPS buatku tidak ada. Padahal, yang buat Neng Ts ada. Alamat resmi kami berada di tempat yang sama, omong-omong.
 
Waduh... Padahal, sudah sangat niat dan sangat well prepared untuk menjadi pemilih lho! Meski ke mana-mana ngakunya golput, sebab sebal dengan sikap para pendukung dari semua capres. Norak semua deh menurutku! Bikin malas.
 
Maka, dengan agak panik, aku segera mengadu soal tak mendapatkan undangan itu ke mbak Binny Buchori, konsultan-tak-resmi-ku dalam hal teknis menjadi pemilih. Disarankannya, agar aku tetap datang ke TPS-ku. Dengan membawa screen shot DPT online yang menerakan namaku sebagai pemilih terdaftar.
 
“Jangan lupa bawa KTP juga,” mbak Binny mengingatkan.
 
Berhubung waktu kursus santai dengan mbak Binny, seminggu sebelumnya, aku tak melakukan screen shot halaman DPT online tersebut, maka terpaksa aku harus membuka lagi link DPT online.
 
“Kenapa nggak di-screen shot waktu itu?” mbak Binny setengah memarahiku hahaha…
 
Duh, ya ampun, aku nggak bisa masuk lho ke DPT online! Selalu mendapat pop up window yang berbunyi:
Anda harus memasukkan Nomor Induk Kependudukan atau Nomor Paspor (untuk pemilih luar negeri) pada kolom pencarian dengan cara ketik bukan paste.
 
E ya ampun!!! Bolak-balik aku ketik padahal, bukannya copas, tapi dapatnya itu terus! Akhirnya, baik Neng Ts maupun mbak Binny minta NIK-ku. Untuk mereka masukkan demi membuka DPT online. E ya ampun lagi, dua-duanya bisa masuk! Koq aneh?
 
Kenapa ya? Apa karena lokasi mereka sama-sama di wilayah Banten, sementara aku di area Jawa Barat? Hehe, logika ala-ala saat hati heran. Terserahlah...
 
Tapi lagi, kenapa ya koq mesti hujan sih besok paginya? Cuacanya nggak enak begitu—duh, ada apa nih. Beruntung aku cepat mendapat kendaraan yang lalu membawaku ke rumah Neng Ts. Dari mana lalu kami bareng-bareng menuju TPS kami yang berada di lokasi yang lain lagi.
 
Buatku, pemilu macam gini ini sekaligus jadi kesempatan buatku untuk bertemu dan pergi bersama Neng Ts. Dia itu anak almarhum sahabatku, yang rumahnya dulu selama beberapa tahun pernah menjadi tempat tinggalku juga. Di mana Neng Ts lalu menjadi semacam anak asuhku. Aku tak masuk Kartu Keluarga (KK) mereka, tapi punya KK mandiri dengan alamat yang sama.
 
TPS kami berada di lokasi yang sama dengan yang dulu-dulu. Tapi, tiap kali kami selalu bertanya-tanya, di manakah gerangan lokasi TPS-nya. Apalagi saat ini, ketika Neng Ts juga tak lagi tinggal di alamat tersebut. Lucu juga sih situasinya jadinya.
 
"Oh, tempat yang itu juga," demikian kami selalu berucap blo'on.
 
Ketika kami tiba, ramai sudah orang di lokasi TPS. Ada beberapa TPS di lokasi yang sama, yang berada di wilayah RW yang sama—sepertinya begitu. Kebetulan, TPS 098, TPS kami, sepi pemilih sehingga kami tak harus mengantri. Di meja pendaftaran, aku buka suara duluan.
 
"Saya tidak mendapat undangan".
 
"Wah, kalau begitu ibu harus menunggu sampai jam 12 ya," kata salah satu petugas dengan mantab.
 
Begitulah yang beredar, bahwa pemilih tak terdaftar atau tak resmi atau tak mendapat undangan ataupun sejenisnya, bisa memilih setelah jam 12. Konon kabarnya, modalnya cukup KTP. Tapi, sepertinya tak janji sih...
 
"Tapi, nama saya ada di DPT online," sanggah saya cepat.
 
"Coba ibu cek ke sekretariat," kata si mantab lagi sambil menunjuk ke arah yang disebutnya sekretariat.
 
Kulihat Neng Ts ragu-ragu.
 
"Kamu duluan aja, Neng. Biar nggak kelamaan nunggu," kataku.
 
Kupikir, bila aku kena apes harus menunggu sampai jam 12, Neng Ts bisa pulang duluan saja. Dia kan anak muda nan sibuk. Tak usahlah ikut menunggu yang nggak jelas begini.
 
Aku lalu ke sekretarist untuk mendapatkan my moment of truth. Jeng jeng! Sat set cak cek sambil ngobrol ngalor ngidul, segera diketahui bahwa namaku ada dalam daftar undangan. Nomor 0161. Dan, undanganku ternyata memang ada.
 
Sejauh itu, masih misteri kenapa ada tapi tak ada. Maksudku, aku, atau alamat resmiku, tak menerimanya. Sementara, Neng Ts, dan beberapa orang lainnya di alamat itu, mendapatkannya.
 
Aku jadi ingat ketika seminggu lalu aku bertemu dengan mbak Binny, saat kursus kilat untuk menjadi pemilih yang siap. Ada pembicaraan tentang undangan itu
 
"Setiap pemilih harus bawa undangan ke TPS. Tanpa undangan, tak bisa voting," jelas mbak Binny.
 
Aku yakin bahwa pasti aku akan mendapat undangan, karena dulu-dulu selalu begitu. Tapi, sangat aneh menurutku soal undangan itu. Mengapa tak cukup memakai screen shot DPT online saja? Lebih praktis, tak perlu memakai kertas, tak harus membuang enerji petugas berkeliling untuk menyampaikan undangan tersebut, dan lainnya.
 
Ah, ya sudahlah...
 
Dari sekretariat, aku lalu kembali ke TPS 098. Sesuai anjuran, kusebut nomor daftar undanganku.
 
"Kemarin saya ke alamat ibu, tapi ibu nggak ada," kata seorang petugas perempuan dengan nada lumayan menyalahkan. "Kan harus ada tanda tangan penerimaannya".
 
Misteri lagi nih. Kenapa undangan Neng Ts dan lainnya bisa ditinggal saja di kotak pos?
 
Setelah tanda tangan, aku dipersilahkan menuju ke meja pengambilan surat suara. TPS 098 kami sungguh sepi. Di sudut mata kulihat Neng Ts tengah memasukkan surat suara di masing-masing kotaknya.
 
"Tidak boleh bawa barang apapun saat masuk ke bilik suara ya, bu. HP juga nggak boleh," kata petugas, sebelum membiarkanku membuka surat suara untuk memeriksa ada cacat atau tidak.
 
Karena kami masih berada di wilayah yang terhitung DKI Jakarta, kertas suaranya hanya ada 4 buah, saudara-saudara.
 
Aku masuk ke bilik dengan mantab, barangku kutitipkan pada Neng Ts. Seminggu yang lalu, melalui kursus kilat pemilih dengan bimbingan mbak Binny, aku sudah menentukan caleg-caleg pilihanku—yang tanpa kusadari semua adalah perempuan!
 
Soal caleg ini ya, waktu kubuka beberapa calon, ternyata banyak kolom yang tak mereka isi. Misalnya, kolom pendidikan atau riwayat lainnya, yang penting sebenarnya, menurutku, untuk diketahui pemilih dan bisa membantunya dalam menentukan pilihannya. Seharusnya, yang begitu itu tidak boleh donk. Tak tertib banget sih. Bikin malas jadinya kan...
 
Semoga mereka yang begitu tak terpilih, grundelku dalam hati. Aku sih memilih yang aku tahu kiprahnya. Baik yang aku tahu sendiri, maupun atas bimbingan mbak Binny.
 
Buat capres dan cawapres, aku memilih yang terbaik dari yang terburuk. Tak punya calon unggulan, tapi aku tahu calon mana yang tak bisa kupilih. Yang paling malas adalah melihat kelakuan para pendukung semua paslon—eh tadi sudah kusebut ya. Yang menurutku sungguh menurukan kredibilitas para calon, sekurangnya di mataku. Membiarkan surat suara tak tertusuk, atau merusaknya, adalah cita-citaku pada awalnya. Tapi, aku batal berlaku demikian.
 
Mengenai hasilnya, semua kuserahkan ke tangan Tuhan. Que sera-sera. Yang penting, aku sudah menjalankan hak dan kewajiban konstitusi-ku! Lelah…    =^.^=
 
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.