LINGKARAN KEHIDUPAN

LINGKARAN KEHIDUPAN

Ada suatu periode di mana Ayah saya wajahnya selalu muram. Jarang-jarang, loh, dia begitu. Ayah biasanya selalu enerjik. Karena penasaran saya iseng tanya pada Ibu, "Ayah kenapa, sih, Ma? Belakangan ini mood-nya jelek terus,"

"Dia lagi sedih. Bulan ini aja ada dua orang temennya yang meninggal," sahut Ibu.

'Wah, kesian amat Si Ayah.' gumam saya dalam hati.

Saya gak tau harus melakukan apa untuk menghiburnya. Kalo dia lagi duduk sendirian, saya cuma duduk aja di sebelahnya. Siapa tau kehadiran saya membuat dia tidak terlalu kesepian.

Suatu hari saya melihat Ayah sudah berpakaian rapi. Lengkap dengan tongkat dan topi koboynya.

"Mau ke mana, Yah?" tanya saya iseng.

"Ke rumah sakit Jakarta. Ada temen Ayah diopname di sana."

"Mau dianterin, Yah?" tawar saya.

"Gak usah. Ayah jalan kaki aja." kata Ayah lagi. Mukanya masih muram.

Begitu Ayah pergi, saya tanya ke Ibu, "Siapa temen Ayah yang sakit, Ma?"

"Namanya Om Arifin."

"Belum pernah denger nama itu. Rasanya saya tau nama-nama temen akrab Ayah."

"Dia memang bukan temen akrab Ayah," sahut Ibu tersenyum.

"Lah? Ngapain dibesuk tiap hari?"

"Temen-temen segenerasi Ayah udah banyak yang meninggal. Temennya makin sedikit. Di usia tua seperti Ayah, orang butuh temen."

"Wah..."

"Jadi dia berkompromi dengan orang yang sebetulnya gak deket. Bahkan dia juga berkompromi untuk berteman dengan musuhnya."

"Berteman dengan musuhnya?" Saya takjub bukan main.

"Waktu muda mereka berbeda pandangan politik. Setelah tua? Apalagi yang perlu dipertengkarkan. Mereka memutuskan untuk berdamai. Bersama-sama menjalin persahabatan di hari tua."

Mendengar ucapan Ibu, saya ampir nangis loh, Kesian Si Ayah. Mengais-ngais persahabatan di hari tua. Dan ada sebuah cerita lagi yang membuat perasaan saya semakin miris.

Hari itu Ayah menjenguk Om Arifin. Begitu sampai di kamarnya, Ayah tidak melihat temennya di sana. Kasur tempat si pasien sudah digulung. Ayah sedih bukan main. Sambil menahan air matanya, dia mencari suster.

"Suz, jam berapa Bung Arifin meninggal?" tanya Ayah.

Suster tersenyum penuh simpati. "Tenang, Pak Hakim. Pak Arifin cuma pindah kamar ke kelas 2. Keluarganya yang minta."

"Alhamdulillah, "Ayah lega bukan main.

"Sebetulnya keluarganya minta dipindah ke kelas 1. Tapi karena penuh sementara kita taruh di kelas dua dulu. Besok atau lusa mungkin akan pindah lagi ke kelas satu," kata Sang Perawat

"Baik. Terima kasih, Suz." kata Ayah sambil beranjak menuju kelas dua.

Dan benar saja. Esok harinya Ayah tidak menemukan lagi Om Arifin di kamar yang kemarin. Seperti sebelumnya kasur sudah digulung. Ayah pun berjalan menuju ruang suster.

"Suz, Bung Arifin di kamar berapa sekarang? Dia sudah dipindah ke kelas satu, kan?"

Sang Suster menatap Ayah dengan penuh iba sebelum akhirnya menjawab, "Maaf, Pak Hakim. Pak Arifin meninggal dunia tadi pagi."

Ayah shock bukan main. Dengan langkah gontai dia berjalan pulang. Tongkatnya sekarang menahan beban yang lebih berat dari sebelumnya.

Sampai di rumah dia duduk di ruang tamu. Sendirian. Melihat dia dalam keadaan seperti itu, saya duduk di sebelahnya. Saya gak ngomong apa-apa. Jadi, deh, kami duduk berdua tanpa sepatah kata.

"Bud..." Akhirnya Ayah berkata.

"Ya, Yah?" sahut saya.

"Ayah mau ngomong sama kamu."

"Ya, kenapa, Yah?"

"Temen-temen Ayah meninggal satu persatu. Mungkin sebentar lagi giliran Ayah. Kamu harus bersiap menghadapi itu."

"Eh, Ayah gak boleh ngomong gitu. Mati itu di tangan Tuhan. Siapa tau saya yang mati duluan." debat saya.

"Kalo kamu mati duluan, itu peristiwa anomali. Secara alamiah orang-orang seusia Ayah yang akan mati duluan."

"Iya, Yah. Saya ngerti kok. Ayah jangan terlalu sedih. Kan Ayah yang selalu ngomong, kita harus jadi orang yang tangguh."

Mendengar ucapan saya, Ayah terdiam lagi. Kali ini dia berdiam lama sekali. Pandangannya tampak kosong.

"Bud." Akhirnya dia berkata lagi.

"Ya, Ayah."

"Ayah mau ngasih nasihat sama kamu."

"Nasihat apa, Yah?

"Perbanyaklah pertemanan sebanyak-banyaknya," kata Ayah.

"Insya Allah. Ada lagi nasihat lain?" tanya saya.

"Gak ada. Cuma itu." Suara Ayah halus nyaris tak terdengar.

Waktu terus berjalan. Saya hampir melupakan peristiwa itu. Sampai suatu saat pembicaraan saya dengan Ayah muncul kembali ke permukaan. Gara-garanya adalah berbagai berita kematian. Satu persatu teman-teman saya meninggal.

Saya sedih bukan main. Anak saya yang bungsu menatap saya penuh selidik. Mungkin dia heran melihat paras saya yang mendung.

"Doy..." Akhirnya saya berkata pada Si Bungsu.

"Ya, " sahut Si Bungsu.

"Om Bud mau ngomong sama kamu"

"Ya, kenapa?"

"Temen-temen Om Bud meninggal satu persatu. Mungkin sebentar lagi giliran Om Bud. Kamu harus bersiap menghadapi itu."

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.