Gak Pernah Bosan Jadi Anak-anak
Menjadi orangtua tak selalu harus jadi orang dewasa

Malam tadi BangBo, si sulung yang selalu protes gak diajak main sejak ada adeknya, dapat perhatian penuh dari saya. Kita main game A, B, C lima dasar yang dulu sering saya mainkan zaman SD. Kategori kata yang harus ditemukan berdasarkan huruf yang muncul beragam, mulai dari nama negara, nama kota di Indonesia, nama kota di luar negeri, tokoh politik, nama benda dalam bahasa Inggris, dan apapun juga yang terbersit dalam pikiran saya atau BangBo.
Kita bergiliran menentukan kategori, mulai dari berlagak pilih yang susah-susah, sampai yang recehan nama orang yang bisa kita buat sesuka hati. Gimana gak sesuka hati coba? Bisa gitu nama orang Qombeng? Makin malem, makin ngaco sampai waktu menunjukkan pukul 10 lewat. Time to hit the road to our dreams, Baby!
Main sama BangBo itu bikin lupa waktu. Ada satu permainan, Tower of Hanoi yang dimainkan dengan cara memindahkan tumpukan barang struktural dari satu titik ke titik lain, tapi tidak boleh berbarengan. Harus satu-satu, dan hanya menggunakan bidang titik yang ditentukan dan biasanya cuma tiga titik termasuk titik target.
Bingung ya?
Lihat gambarnya dulu ya.
BangBo tadinya yakin banget saya gak bakal mampu menyelesaikan permainan yang dia anggap super susah. Ternyata, dia harus terkesima melihat saya menjawab permasalahan itu hanya dalam 20 hitungan. Dia dengan tulus dan berbinar-binar mengakui, "Mama hebat ya!"
Jiwa bocah saya melonjak-lonjak kegirangan dipuji lawan main. Norak? Emang! Sejak menginjak usia dewasa jarang saya mendapatkan pujian tulus. Kenapa ya begitu? Kecenderungannya, tough love, atau kritikan keras alih-alih pujian, dilakukan supaya seseorang yang berhasil melakukan sesuatu tidak cepat berpuas diri. Kecenderungan ini terkadang malah sarat dengan pesan sponsor dari hati sanubari terdalam. Semacam tidak terima orang lebih berhasil daripadanya. Eh kok malah jadi ngelantur.
Menjadi anak-anak itu enak, pun ada hal yang terasa mengganjal, ya keluarkan saja fair and square di tempat dan waktu yang tersedia. Tak perlu menunggu-nunggu jadi tumpukan kekesalan yang keluar pada saat yang tidak tepat sehingga gak nyambung.
BangBo itu sering mengingatkan saya yang "ibu-ibu banget", yang kalo marah merepet, sehingga kesalahan setahun lalu pun masih disebut juga. Gimana ya, namanya juga ibu-ibu, pasti punya rekaman kesalahan anggota keluarganya supaya bisa jadi evaluasi. Tapi itu alasan aja sih, karena mengomel itu sebenarnya adalah kegiatan katarsis seorang ibu dengan sifat OCD, yang harus serba sempurna, sementara anaknya, setelah sang Ibu berbenah kasur, dia malah loncat-loncatan.
Kok malah curhat?
Menjadi anak-anak dan melupakan OCD saya itu seringkali menjadi penyelamat dari sakit kepala menahun. BangBo juga bilang, "You were so much fun when you're playing with me than becoming a mom". Ada benarnya juga dia bilang begini, karena saya cenderung jadi diktator tiranis kalau pas jadi orangtua.
Speaking of playful, ada satu kekonyolan waktu saya dan BangBo makan siang. Saya terkadang suka mengunyah dengan tatapan kosong, auto pilot mode. BangBo ngomong begini, "Ma, jangan bengong, kalo bengong nanti dibisikin setan lohh!"
Iseng saya muncul seketika, "Memang kalau Mama bengong, Abang jadi pingin bisik-bisik gitu?"
Kontan BangBo mencelat, "Mamaaaa, kok anaknya dibilang setan?"
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.