"Ayah dulu pernah punya motor Harlley Davidson, lho," kata Ayah pada suatu waktu.
"Oh ya!?" jawabku setengah tak percaya, setengah terpesona.
Tentu saja aku terkagum-kagum. Saat itu usiaku sekitar remaja atau menjelangnya, yang lumayan memuja segala rupa yang macho-macho macam motor Harley Davidson (HD) dan perangkatnya. Termasuk gaya pakaiannya yang khas dan unik itu.
Aku coba membayangkan Ayah mengendarai HD yang besar. Rasanya seru dan cocok saja meski Ayah berbadan kurus dan kecil. Tentu saja dalam bayanganku Ayah tak memakai jaket kulit atau jaket jeans yang lengannya asal dipotong sampai benang-benangnya merumbai sembarang. Cukup dengan pakaian standar pemuda sekitar masa 1950-an, seperti yang sering kulihat di foto-foto lama Ayah.
Terkisah seorang kerabat yang kira-kira usianya sama dengan Ayah. Kusebut saja Pemuda A. Orang tuanya membelikannya seperangkat motor HD—sayang saya tak pernah tanya Ayah bagaimana caranya membeli HD pada tahun sekian itu. Ayah cukup akrab dengannya. Terlebih Ayah sangat handal menangani mesin kendaraan, karenanya mudah dipahami bila Ayah seringkali mendapat kesempatan mengendarainya atau sekedar diboncengi.
Pada suatu hari, Pemuda A dan sepupunya yang juga seorang pemuda, ditemukan orang tergeletak di tengah jalan di daerah Tanjung Priok, Jakarta Utara. Keduanya, sayangnya, sudah dalam keadaan tak bernyawa lagi. Motor HD Pemuda A juga ditemukan di situ.
Diduga, mereka melaju motor dengan kecepatan tinggi, dan lalu menghajar lubang menganga di tengah jalan. Mengakibatkan mereka terpelanting dan kepala mereka yang tak memakai helm—pada waktu itu belum ada peraturannya—menghantam aspal. Merenggut nyawa mereka.
Setelah kecelakaan itu, HD almarhum teronggok begitu saja di rumah orang tuanya. Tak ada lagi yang menyentuhnya. Sayang melihat motor bagus itu tersia-sia, Ayah lalu dengan sangat hati-hati meminta ijin keluarga. Apa kiranya Ayah boleh pakai, begitu. Ijin diberikan, dan Ayah pun dengan asyik mengendarainya.
Beberapa waktu kemudian laju Ayah dengan si HD harus dihentikan dahulu. Karena, Ayah masuk dinas militer, tepatnya di AURI (sekarang TNI AU), kedinasan mana yang mengirim Ayah ke Bandung untuk pendidikan setingkat akademi di PTT (sekarang Universitas Telkom). Alih-alih motor HD, Ayah memboyong Ibu yang baru dinikahinya ke Bandung. Si HD ditinggal di Jakarta, dititipkan pada paman kami, kakak laki-laki Ayah. Untuk diambil kembali pada waktunya.
"Waktu Ayah kembali ke Jakarta, HD itu sudah tak ada lagi. Diam-diam dijual pamanmu," kata Ayah.
"Yaaah..., sayang banget! Kenapa?" responku kaget dan agak sedih.
"Pamanmu takut Ayah mengalami kecelakaan seperti pemilik asli motornya" jelas Ayah lagi,
"Tapi kan sayang ya...," aku tetap tak rela.
"Uangnya dibelikan sofa itu," kata Ayah menunjuk ke sofa tanpa lengan milik keluarga kami.
Sofa kuno dan tua di ruang tengah rumah kami itu sudah ada sejak sebelum aku lahir. Terdiri dari sebuah sofa panjang, tiga sofa tunggal, dan satu meja kayu. Bersalut kulit palsu, dan berkaki tiang-tiang kayu pendek membulat yang agak miring gaya art deco. Isinya bukan busa, melainkan sabut kelapa. Karenanya, beratnya bukan buatan. Dan, kuat. Empuk bila diduduki? Tentu tidak, tapi sangat nyaman.
Sejak mendengar cerita Ayah, pandanganku terhadap set sofa itu sedikit berubah. Dari sekedar set sofa, kini mereka adalah set sofa yang gagah.
Sekian tahun kemudian, ketika kami anak-anak Ayah sudah dewasa, Ayah pun berpulang. Dalam mengenang Ayah kami suka saling bercerita tentang Ayah. Salah satu kisah yang kuceritakan adalah hubungan antara HD dan set sofa gagah.
Mendengah ceritaku, Ibu tertawa
"Kamu tahu dari mana tentang itu?" tanya Ibu .
"Dari Ayah donk, Bu".
Tawa Ibu makin lebar.
"Kamu dikerjain Ayah tuh. Seperti nggak tau gimana Ayah kamu aja," kata Ibu lagi sambil tetap tertawa.
Lah…!? =^.^=