CINTA YANG TAK TERUNGKAP

CINTA YANG TAK TERUNGKAP

Ku pandangi nisan kayu bertuliskan "Sudiwiryo Kasinu" di hadapanku. Meskipun Cat biru mudanya sudah mulai pudar , namun tetap bersih terawat. Kakak-kakak dan adik laki- lakiku memang rutin mengunjungi makam Bapakku ini.

Karena 2 hari lagi adalah hari pernikahanku, maka sesuai tradisi keluarga kami adalah mengunjungi makam Bapak untuk mendoakan dan meminta restu.

Kami duduk menghadap pusara Bapak, lantunan doa dan tahlil mengalun dipimpin oleh kakak iparku. Beliaulah yang paling fasih bacaan tahlilnya. Dan background pendidikan agamanya paling baik diantara kami semua.

Tidak ada perasaan istimewa yang aku rasakan saat itu. Karena jujur aku tidak terlalu dekat dengan Bapak semasa hidupnya. Tidak seperti ke 7 kakakku yang selalu menangis sesenggukan ketika meminta restu pada Bapak menjelang pernikahan mereka.

Yang aku tahu, bapak orangnya jarang bicara. Kami hampir tak pernah mengobrol. Mungkin karena saat itu aku terlalu kecil untuk diajak mengobrol.

Sebagai anak ke 8 dari 9 bersaudara, pastilah sulit bagi Bapak untuk mengingat keberadaanku. Sepulang dari sawah, yang kuingat Bapak selalu mencari anak kesayangannya, yaitu si bungsu, adik laki laki ku. Bapak selalu menaikkan adikku di atas pundaknya. Lalu berkata
"Kelak ini adalah Kyai ku" lalu membawa adikku berlarian di atas pundaknya. Hal yang entah pernah dilakukan padaku atau tidak, aku tidak ingat.

Untuk urusan ternak dan sawah, bapak biasa berdikusi dengan kakak - kakak laki-lakiku. Mereka sering membantu Bapak di sawah. Dan mencari rumput untuk makan kambing peliharaan kami. 

Kakak perempuanku adalah tempat curhat bagi Bapak. Setelah ibuku, dia adalah orang yang paling sering dimintai pertimbangan dalam segala hal. Kalau ada ungkapan yang menyatakan cinta pertama seorang anak perempuan adalah ayahnya, mungkin itu hanya berlaku untuk kakak perempuanku. 

Dan aku? Apa yang bisa dibahas Bapak denganku? Hampir tidak ada yang bisa diobrolkan dengan anak perempuan kakang ruju ini (kakang ruju: kakak dari anak bungsu).

Hal yang paling sering dikatakan padaku hanyalah " beliin Bapak rokok ya si warung". Karena entah kenapa untuk urusan membeli sesuatu ke warung semua orang di rumah selalu menyuruhku. Mungkin karena aku yang terlalu penurut waktu itu.

Aku tidak pernah membenci Bapak, dan sebaliknya Bapak juga tidak pernah marah padaku. Tapi aku merasa sangat jauh dari Bapak. Terkadang aku ingin menjadi kakak perempuanku agar aku bisa ngobrol banyak hal dengan Bapak. Atau menjadi adik bungsuku, yang menjadi kesayangan Bapak. Tapi apa daya?hubungan kami terasa sangat datar.

Sebagai ayah dari 9 orang anak, Bapak adalah seorang pekerja keras. Karena urusan perut 9 orang anak manusia bukanlah hal sepele. Belum lagi untuk pendidikannya. Bapak tak mengijinkan seorang pun dari ke 9 anaknya putus sekolah. Karena itulah aku jarang melihat Bapak di rumah sampai menjelang maghrib.

Badannya yang tinggi besar, kira kira 180 cm , semakin hari semakin kekar. Ayunan cangkulnya setiap hari membuat otot2 lengannya terbentuk seperti lengan binaragawan.

Kulitnya semakin hari semakin gelap terpapar sinar matahari. Sehingga ketika beliau melepas kaus dalam yang dipakai, maka tercetaklah bentuk kaus dalam di badannya. Bagian yang tertutup kaus terlihat putih, dan area lengan, leher dan dada terlihat hitam legam.

Setiap hari Bapak berangkat ke sawah mengenakan Caping yang menutupi rambut putihnya yang selalu dipotong cepak. Caping adalah semacam topi dari bambu berbentuk bundar yang biasanya digunakan para petani sewaktu pergi ke sawah. 

Sebagai anak, aku tidak pernah sepeserpun meminta uang pada Bapak. Itu karena semua urusan keuangan keluarga dipegang oleh ibuku. Semua uang hasil keringat bapak diserahkan kepada ibuku untuk dikelola.

Ibu memang tidak pernah mengijinkan anaknya meminta uang langsung pada Bapak. Jika ada keperluan yang cukup besar maka ibu meminta kami mencatatnya di selembar kertas untuk selanjutnya diberikan pada bapak.
Pas hari pembayaran entah darimana uang itu sudah tersedia. 

Kami tak tahu darimana dan bagaimana Bapak mendapatkannya. Tapi aku tidak pernah mendengarnya mengeluh atau mengatakan tidak sanggup pada kami.

Saat musim hujan tiba, bapak memakaikan caping kesayangannya di kepalaku yang membonceng sepeda onthel tuanya menuju ke sekolah. Sementara Bapak dengan basah kuyup memacu sepedanya secepat mungkin menerobos derasnya hujan.

"Ciitttt!!!!" Kami sampai di depan kelasku, dan bapak menghentikan sepedanya menggunakan sandal Lily andalannya. Sandal berbentuk slop dengan warna cokelat kusam yang kian hari kian tipis karena berperan ganda sebagai alas kaki dan sebagai rem alternatif untuk sepeda saban harinya. Bapak cukup menginjak permukaan ban sepeda yang sudah tidak ada selebornya itu untuk membuatnya berhenti. Besarnya tekanan tergantung seberapa mendadak sepeda harus berhenti. 

Sebenarnya tiap kali musim hujan adalah saat yang cukup menyebalkan bagiku. Karena sebenarnya aku tidak terlalu suka Bapak mengantarku sampai ke depan kelas. Aku malu dilihat teman - temanku datang ke sekolah naik sepeda ontel dengan memakai caping. Tapi apa daya, kami tak punya payung. Dan aku juga tidak punya jas hujan kecil warna warni seperti kepunyaan teman temanku kebanyakan. Jadi meskipun harus menahan rasa malu aku tidak punya pilihan lain.

Ibuku selalu mengatakan " Sekolah itu untuk menuntut ilmu bukan ajang pamer kekayaan, sekolahlah yang pandai kalau ingin nasib kita berubah".

Kata - kata ibuk kutanamkan dalam - dalam di benakku. Sejak saat itu aku benar benar serius belajar. Tak akan kubiarkan sepeserpun uang yang dikeluarkan Bapak untuk biaya sekolahku terbuang sia- sia. Aku ingin nasib kami berubah suatu saat kelak.

Suatu hari sepulang sekolah ,tak seperti biasa kudapati Bapak tertidur di kamarnya. Biasanya siang-siang begini Bapak masih ada di sawah. Kata ibuk Bapak kelelahan jadi pulang dari sawah lebih awal.

Namun betapa histerisnya ibuku ketika Bapak tidak bisa dibangunkan. Bapak yang beberapa saat sebelumnya minta dibuatkan jamu, saat ini sudah terbujur kaku tak bernafas. Allah telah memanggil Bapak untuk beristirahat dengan tenang di SisiNya.Tanpa sakit, tanpa pertanda sebelumnya.

Banyak orang terkejut atas berita kematian Bapak. Terlebih orang yang ditemui di sawah pada pagi harinya. Sewaktu di sawah Bapak sama sekali tidak mengeluhkan sakit apapun. Bahkan masih sempat bercanda dengan mereka. Sampai sampai sewaktu mendengar siaran berita kematian dari masjid, ada yang saking kagetnya sampai terduduk lemas, tidak bisa berdiri lagi.

Banyak orang berdatangan ke rumah kami untuk melayat. Entah darimana saja mereka , tidak semua dari mereka pernah aku lihat sebelumnya. Dan cerita mengenai kebaikan bapak mengalir deras memenuhi setiap sudut rumah kami. Aku merasa mereka jauh lebih mengenal Bapak dibandingkan aku anaknya.

Aku sendiri merasa ada perasaan aneh yang menyelimutiku. Ada semacam rasa kehilangan yang tak bisa kujelaskan. Aku tak pernah memiliki kedekatan emosional dengan Bapak, namun aku menangis sejadi jadinya saat beliau wafat. Bahkan malam harinya aku masih merasa Bapak tidur di sebelahku seperti malam-malam sebelumnya. Dan aku dengan panik mencoba membangunkan beliau yang sama sekali tak bergerak. Setelah sadar yang ku goyang goyang badannya ternyata adalah adikku.

"Al Fateha.." suara kakak ipar membuyarkan lamunanku. Kami mengakhiri ziarah hari ini dan pulang ke rumah untuk menyiapkan acara pernikahan yang berlangsung 2 hari lagi.

Sehari sebelum pernikahan sesuai adat kami mengadakan acara walimah. Acara ini menyerupai acara khajatan. Ada nasi yang digelar di atas tampah , beserta ingkung ayam. Sajian tersebut dikelilingi jamaah dengan jumlah ganjil lalu salah satu memimpin doa.

Yang memimpin doa waktu itu tak lain adalah kakak iparku. Beliau yang biasanya memimpin doa dengan fasih dan lancar entah kenapa saat itu bacaannya menjadi tersendat sendat. 

Tiba-tiba wajahnya memerah dan terlihat pucat. Ia terdiam sejenak menundukkan kepala, lalu tiba tiba berjalan keluar menuju teras. Ia menelangkupkan kedua telapak tangan seperti sedang memberi salam pada seseorang. Lalu kembali masuk tanpa sepatah kata pun. Sudut matanya basah seperti menahan air mata.

Para jamaah saling memandang seolah ingin bertanya apa yang sebenarnya terjadi. Namun tak ada satu pun yang berani bersuara. Sampai beliau sedikit tenang dan membuka suara.

"Mbah Nu.." katanya terhenti.
"Enten nopo Bapak kang?" Tanya salah seorang kakakku
"Mbah Nu datang,.. beliau ikut amin..aminn tadi" katanya melanjutkan.

Sontak semua orang yang ada disitu kaget bukan kepalang. Kakak iparku ini memang dianugrahi sedikit kelebihan yang bisa melihat sesuatu yang tak kasat mata. 

Tanganku menutup mulutku yang menganga.entah kenapa jantungku detaknya jadi tak beraturan. Kakiku gemetar. Bapak datang ? Bapak ingat aku?Bapak datang hanya untuk memberi restu dan doanya padaku? Tak terasa Mataku berkaca kaca. 

Aku beranjak menuju kamar dan menangis sejadinya. Kupeluk bantal erat erat, seolah aku berada di pelukan Bapak. Kubayangkan untaian doa dari Bapak sebagai wujud restu dari seorang ayah yang anak perempuannya hendak menikah.

"Bapak... terimakasih.. akhirnya aku tahu kalau Bapak juga mencintaiku. Meski tak pernah sekalipun engkau mengatakannya. Maafkan anakmu ini yang terlambat mengerti". Aku terus menangis sampai sesenggukan.

Anganku melayang, membawaku berada kembali ke boncengan sepeda onthel tua Bapakku. Dengan caping di kepalaku, tanganku memegangi baju bapak yang basah karena guyuran hujan. Dengan sekuat tenaga bapak mengayuhnya, menerobos derasnya hujan, agar aku tak terlambat sampai di sekolah. Tak peduli badannya basah, tak peduli jika nanti harus sakit. Cinta sebesar ini bagaimana bisa aku tak menyadarinya?.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.