Debt Collector Pamungkas

Debt Collector Pamungkas
Sumber image: pixabay.com

 

Sarpin (57) sudah seminggu mengurung diri di dalam rumah. Hal itu terjadi sejak hutang-hutangnya jatuh tempo dan debt collector silih berganti datang menagihnya. Tapi Sarpin sudah bangkrut. Ia tak punya apa-apa lagi selain rasa takut ditagih hutang. Untuk mengakhiri penderitaannya, Sarpin memutuskan membunuh setiap debt collector yang datang.

Satu per satu para penagih itu tewas dibunuhnya, namun selalu saja ada debt collector baru yang datang menagih.

Penderitaannya benar-benar tak berhingga. Kecuali, ya, kecuali oleh kematiannya sendiri. Satu-satunya yang bisa menghentikan penderitaan dunia adalah kematian, pikirnya.

Sejak itu Sarpin menunggu kematian menjemputnya biar membebaskannya dari derita. Namun Maut tak kunjung datang. Entahlah, mungkin dia terlalu sibuk dengan urusan di tempat lain.

Tak sabar menunggu, pria berbadan kurus itu memutuskan untuk menjemputnya.

Sebilah pisau dapur cukuplah menjadi pengantar. Diasahnya pisau itu hingga tajam. Dia tak mau rencananya dipersulit oleh ketumpulan. Ketumpulan adalah kebodohan, batinnya.

Semua sudah siap. Pisau sudah tajam. Ujungnya lancip seperti tudung kematian. Lihatlah, mata pisau itu berkilatan penuh energi. Siap mengantarkan tuannya menuju keabadian.

*

Kira-kira pukul 10 pagi, Sarpin bersiap memotong nadinya. Kematian tidaklah susah, pikirnya. Hanya dalam satu tarikan nafas, lidah pisau itu akan membebaskannya dari jeratan hutang. Merdeka!

Sarpin menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya. Dia mulai berhitung untuk mengeksekusi nadinya. Satu, dua…. "Asu!" umpatnya begitu mendengar ada yang mengetuk pintu rumah.

Dengan pisau terhunus, Sarpin bergegas menuju pintu rumah lalu membukanya; seorang lelaki berbadan besar dengan mantel hitam telah berdiri di sana.

Dari perawakannya yang kekar, Sarpin yakin betul bahwa orang itu adalah debt collector. Maka, tanpa basa-basi lagi, dan karena tak ingin kalah cepat, Sarpin menghunjamkan pisau ke dada orang itu hingga tersungkur.

Sarpin menyeret mayat pria kekar itu ke dalam rumah lalu memeriksa isi kantong baju dan celana si mayat. Dari dalam dompetnya, Sarpin menemukan sebuah kartu identitas.

Begitu membaca identitas si mayat, tubuh Sarpin mendadak gemetar. Darahnya seolah berhenti, nafasnya macet, dan kepalanya berputar-putar pening membayangkan penderitaan tak berbatas masa yang akan dihadapinya.

Sebuah penyesalan yang teramat dalam menyergapnya. Sarpin menjerit amat kencang. Tangannya terkepal teramat kuat hingga urat-urat di lengan dan lehernya nampak menonjol.

Kartu identitas mayat itu tergeletak di hadapannya. Pada kolom namanya tertulis: Malaikat Maut.

***

Bintaro, 2015.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.