Polisi dan Seorang Pelapor
Polisi itu baru saja menutup telepon dari istrinya ketika seorang tamu datang ke ruang kerjanya. Wajahnya tampak pasai. Malam itu pukul sebelas. Sangat jarang tamu datang pukul segitu. Apalagi, katanya, hendak melaporkan sesuatu.
Biasanya, polisi itu tidak sendirian, ada dua rekan tugasnya. Namun, malam itu mereka ada keperluan di luar kantor dengan seorang pejabat. Urusan yang dia tahu dan sangat pahami. Justru karena itulah dia tidak pernah mau terlibat.
Ia persilakan tamunya duduk, seorang lelaki yang membungkus badan jangkungnya dengan jaket berwarna hitam. Katanya, hendak melaporkan suatu pembunuhan.
Polisi dan pelapor itu duduk berhadapan. Antara mereka hanya terpisah sebuah meja di mana terdapat layar komputer menghadap si polisi. Posisi layar komputer itu agak menyamping dan serong sehingga tidak menghalangi pandangannya kepada orang yang duduk di depannya.
“Apakah Anda menyimpan foto si pembunuh?” Polisi itu bertanya.
“Tidak. Saya hanya punya cerita tentangnya.”
“Kalau begitu, ceritakanlah.”
“Badannya kurus,” pelapor itu mulai bercerita, “beratnya tidak lebih dari 62 kilo. Sepertinya dia jarang makan, atau bahkan tidak pernah makan sama sekali. Sungguh, dia sangat kurus dengan badan setinggi 175 senti,”
“Bentuk wajahnya oval dengan dagu terbelah,” Pelapor itu berhenti sejenak seperti sedang mengingat-ingat, kemudian ia melanjutkan, “Tidak, dia tidak berkumis. Sepertinya dia kekurangan hormon penumbuh rambut di wajah. Kedua alisnya pun tipis dengan tanjakan tajam di bagian tengah.”
Polisi yang usianya genap 40 tahun pada seminggu lalu itu mendengarkan dengan baik dan mengetik dengan baik pula di komputernya semua cerita yang ia dengar dari si pelapor.
Pelapor itu melanjutkan, “Matanya kecil namun memiliki tatapan yang tajam. Saat dia menatap calon korban, matanya berkilatan seperti mata kucing yang memantulkan cahaya di tengah kegelapan.”
Tepat ketika pelapor itu mengatakan demikian, polisi itu merasakan darahnya mengalir deras di dalam tubuhnya yang membuat bulu-bulu halus di tengkuknya berdiri. Sejenak, polisi itu melihat ke sekeliling ruangannya. Tidak ada satu pun rekannya di ruangan kantor Polsek itu.
“Dengan apa dia membunuh korbannya?” tanyanya dengan nada sedikit bergetar.
Pelapor meraba-raba kantong jaketnya. Dari kantong sebelah kanan, ia mengeluarkan sebilah belati. “Dengan belati,” kata si pelapor sambil meletakkan belati itu di hadapannya. Polisi itu memundurkan duduknya.
Polisi itu melihat kilatan cahaya dari belati si pelapor. Kilatan cahaya itu seperti mata geledek tanpa suara namun sinarnya tajam menghunjam matanya. Tiba-tiba dia teringat istrinya yang tengah hamil tua yang harus segera melahirkan secara cesar tepat pada hari ia harus membayar uang masuk SMP anak pertamanya.
Tak ada rekannya di ruangan itu, hanya sebuah standing-fan yang berdiri di pojok ruangan yang menghembuskan hawa yang terasa lebih dingin dari biasanya. Pikirannya kembali pulang ke rumah. Dikenangnya kata-kata istrinya, “Makanya, jangan terlalu lurus lah kalau berjalan, sesekali belok kan nggak apa-apa. Kawan-kawanmu yang lain juga begitu. Kenapa kamu tidak mau? Ingat, kamu bukan polisi tidur. Kamu punya istri, punya anak…”
Si Pelapor mendehem sambil tersenyum dengan mata yang sedikit dipicingkan. Setelah mengais kembali kesadarannya, polisi itu bertanya, “Mengapa dia membunuh?”
Si Pelapor tidak lantas menjawab. Dia malah memain-mainkan kilatan cahaya di belatinya. Polisi itu berusaha tenang seraya mengamati wajah tamunya: alisnya berbaris tipis dengan tanjakan tajam di bagian tengahnya, matanya kecil, wajahnya lonjong dengan dagu sedikit terbelah. Tangan polisi itu gemetar.
“Saya tidak tahu persis,” jawab pria pelapor itu sambil merebahkan tubuhnya di punggung kursi. Sejurus kemudian, dia menyondongkan badannya ke depan, “Namun saya mendengar apa yang dikatakan sebelum dia membunuh,” ucapnya dengan suara pelan.
Polisi itu menggerakkan kepalanya sedikit menyerong ke kiri, memasang telinga kanannya untuk menyimak betul apa yang hendak dikatakan si pelapor.
“Aku adalah utusan Tuhan. Kematian adalah jalan terbaik bagi orang-orang baik agar tak terseret dalam keburukan dunia,” pelapor itu setengah berbisik menirukan ucapan si pembunuh.
Polisi itu terbatuk (atau sekadar menyingkirkan sesuatu yang tiba-tiba mengganjal di tengorokannya?), “Sepertinya, dia terobsesi dengan kematian,” ucap polisi itu, kemudian.
“Apakah Anda sudah sampai pada kesimpulan?”
“Eee, tidak. Belum. Saya hanya mengomentari,” jawab polisi, “atas nama pribadi.”
“Sudah berapa lama Anda jadi polisi?”
“Sejak usia dua puluh. Kenapa Anda tanyakan hal itu?”
Bukannya menjawab, si pelapor malah bertanya lagi, “Sudah berapa lama Anda duduk di belakang meja ini?”
“Enam belas tahun. Dan itu bukan urusan Anda,” ucap polisi itu tegas seolah hendak menegaskan suatu perkara di luar perkara yang sedang diperkarakan. “Bagaimana cara dia membunuh korbannya?” tanya polisi itu berusaha mengembalikan pembicaraan pada jalur yang semestinya.
“Sepertinya lidah Anda kurang licin,” ucap si pelapor tak menjawab pertanyaan polisi.
“Apa maksud Anda?”
“Ah, saya hanya mengomentari,” jawab si pelapor, kemudian dengan sedikit berbisik dia melanjutkan, “atas nama pribadi.”
Polisi itu hampir kehilangan kesabarannya jika saja tak segera sadar bahwa ia sedang bertugas, dan ia seorang polisi. “Sebaiknya Anda menjawab pertanyaan saya. Bagaimana dia membunuh korbannya?”
Si Pelapor menghela nafas. Belati yang semula di atas meja kini berpindah ke dalam genggaman tangan kanannya. Kemudian ia menyondongkan badannya ke depan. Refleks, polisi itu memundurkan badannya. Gerakan keduanya seperti dua medan magnet sejenis yang saling bertemu.
“Aku adalah utusan Tuhan,” ucap Si Pelapor, “Ketahuilah, kematian adalah jalan terbaik bagi orang-orang baik agar tak terseret dalam keburukan dunia.” Mata lelaki itu mendadak berkilatan seperti mata kucing yang memantulkan cahaya di tengah kegelapan.
Bersamaan dengan akhir ucapan Si Pelapor, lampu ruangan seketika padam. Gelap. Senyap.
*
Kurang lebih lima menit setelah kejadian itu, dua orang polisi datang memasuki ruangan. Salah satunya menyalakan lampu. Mereka sangat terkejut ketika melihat rekannya duduk terpaku dengan tatapan mata kosong. Tiada siapa pun selain dia. Tiada darah setetes pun keluar dari tubuhnya. Pun, tiada lagi nafas di tubuhnya.
***
Permata Hijau, 11 Oktober 2016
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.