Ngobatin Burung yang Nglêmprêk

Ngobatin Burung yang  Nglêmprêk
Foto Cacatua alba dan Cacatua goffini comot dari internet.

"Selamat pagi, Om," dengan ceria Alba menyapa tetangga baru. Sayangnya yang disapa tak bergeming. Wajahnya kuyu, seperti sedang sakit. Atau sedih?

Kemaren, agak sore, si tetangga datang di sebelah rumah. Alba antusias sekali. Sekian bulan dia tinggal sendirian di lingkungan ini. Sepi banget, tau! Seringkali ia bicara sendiri jika bosan. Ia juga ngoceh sendiri jika sedang riang. Kadang dia baca puisi jika sedang galau.

"Good morning, Mister. Do you speak Indonesian?" tanya Alba lagi. "Mungkin dia dari luar negeri," tebak Alba. "Wajahnya sih mirip aku. Beda dikit. Tapi aku kan sering dibilang bukan dari sini. Malah pernah dibilang eksotis sama tante siapa ya, yang kapan hari bertamu." Alba memang pede dengan dirinya. Kepedean sih, tepatnya.

Si tetangga masih diam saja. Sinar matanya agak redup. Pandangannya kosong. Sepertinya dia bener-bener sakit. Tapi dia tetap diam saja. Gimana mo nolong ya kalo diem begitu?

"Om sakit ya? Atau stres? Jangan takut! Saya punya obatnya. O ya, kenalkan, nama saya Alba," lanjut Alba ga mau nyerah.

Alba ini percaya bahwa kata-kata punya kekuatan. Dan puisi adalah kumpulan kata-kata yang manjur sebagai obat. Obat untuk segala penyakit. Andalan Alba memang puisi. Ia hapal entah berapa banyak puisi dari penyair terkenal. Sering dia merangkai kata-kata sendiri jadi puisi.

"Ehm ehm.. " Alba mendehem-dehem. Menyiapkan pita suaranya. Karena tiap sore Alba menyanyi, maka ia merasa tak perlu warming up. Ia sudah memilihkan sebuah puisi.

"Apa artinya raga bagi cinta, Kekasih? Ia fana dan penuh tipu daya. Suatu saat raga kita terpisah. Tapi sukma kita abadi dalam cinta. Tak kan terpisahkan lagi."

Dengan suara tenor yang mantap, Alba membaca puisinya. Kata-kata indah mengalun dengan merdunya. Penghayatan Alba benar-benar luar biasa!

Si tetangga baru itu tampak hanyut ke dalam suasana syahdu yang tercipta. Matanya berkaca-kaca. Dadanya naik turun menahan rasa. Ingatannya kembali kepada kekasihnya. Ia kembali sedih. Perasaannya campur aduk. Ia ingin menangis, tetapi ditahannya. Ia tak ingin terlihat lemah. Terutama di depan anak muda yang baru dikenalnya.

Alba sudah beberapa kali membawakan puisi ini. Biasanya tanpa penonton atau pendengar. Baru kali ini dia punya pendengar langsung. Dilihatnya Om setengah baya itu menahan tangisnya. Alba sedikit menyesal memilih puisi ini. Ia harus segera menuntaskannya.

"Namun sebelum perpisahan itu terjadi, peluklah hatiku sepenuh cintamu."

Keheningan seakan memberi outstanding applause ketika puisi berakhir. Si tetangga masih termangu. Alba bingung tak habis pikir. Apa sih yang terjadi dengan si Om itu?

"Muimu bagu," ujar si Om tetangga itu lirih.

"Apa, Om?" Alba tak yakin dengan apa yang didengarnya. Bahasa mana, ya?

"Muimu bagu," si Om mengulang ucapannya. "Muimu," ulangnya sekali lagi.

Di kepala Alba seakan ada bohlam tiba-tiba nyala. Clap!

"Makasih, Om. Saya suka puisi memang," ujar Alba. "Om sakit, ya? Suara Om terdengar sengau." Alba lega. Ternyata tetangga baru itu, meskipun tampak nglêmprêk, tapi masih bisa merespons puisi bagus. Tandanya masih ada semangat untuk sembuh.

Menit berikutnya, si om tetangga itu, terbata-bata dengan suara sengau bercerita tentang dirinya. Namanya Goffin. Ia ditinggal mati kekasihnya. Ia berduka lara. Kesedihannya tambah parah ketika ia harus beberapa kali pindah rumah. Sampai akhirnya ia pindah di sebelah si Alba. Sampai Alba melantunkan puisi cinta tadi.

"Jangan kuatir, Om. Bos Tri sudah lihat kondisi Om, kan? Nanti dia pasti belikan Om obat. Sama vitamin juga." Alba mencoba mendorong semangat Om Goffin.

"Om Goffin harus denger puisi langsung dari Bos Mbois. Ia yang bikin puisi tadi. Bos Mbois ini teman Bos Tri. Ia baik banget. Bos Mbois  jual segala obat dan vitamin untuk burung macam kita. Saya juga makan vitamin, kok. Paling keren tuh, dia jago bikin puisi. Dia beberapa kali maen ke sini. Saya bisa puisi juga karena niruin dia." Alba nyerocos tanpa rem.

Goffin mengangguk dan mencoba tersenyum. Masih lemah. Kematian Finnie, kekasihnya, telah membuatnya terpuruk. Kini, bertemu Alba, si burung muda pelantun puisi ini, Goffin merasa semangat hidupnya perlahan tumbuh. Kini, Goffin tak sabar untuk sembuh. (rase)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.