Repotnya Jadi Anjing Zaman Now

Repotnya Jadi Anjing Zaman Now
Gambar meme ambil dari internet

Teret teret. Teret teret. Ponselku bergetar. Ada pesan masuk.

"Hahahahaha ..." Tak kuasa aku ngakak sendirian usai membaca pesan Whatsapp. Dari ponakanku, di grup keluarga. Ia mengirimkan rekaman videonya Mak Cheng, pitbul betina super ramah milik kakak. Ponakanku merekam kelakuan Mak Cheng, yang nyemplung ke kolam dan bermain air. Bisa dipastikan ikan-ikan penghuni kolam langsung stres luar biasa!

Sudah banyak bukti, bahwa pitbul bukanlah anjing galak yang perlu ditakuti. Justru sebaliknya, jenis anjing yang mudah bersahabat. Tentu saja ini terkait nurture, atau pengasuhan, alias cara si pemilik membesarkannya. Mak Cheng adalah satunya. Ia terkenal sangat bersahabat dengan orang, dan suka bermain dan bercanda dengan anak-anak.

Sejak kecil Mak Cheng disayang dan diajak dekat dengan manusia. Bahkan, kemungkinan besar Mak Cheng merasa bahwa dirinya juga manusia. Ia sangat jarang menggonggong, selalu tersenyum di balik gelambir bibirnya, serta sering berkelakuan layaknya manusia. Ia ngambeg jika dicuekin, dan akan mencoba berbagai cara untuk mendapatkan perhatian.

Konon, anjing jadi peliharaan manusia sejak tigapuluh ribu tahun lalu. Sejak itu, karena domestikasi, anjing pun berevolusi. Dari yang garang dan liar, menjadi anjing yang super cute, lucu, menggemaskan, serta nurut sama yang namanya manusia. Tentu saja ada jenis anjing yang galak (atau dilatih untuk galak) serta liar (karena diterlantarkan manusia dan jadi anjing liar?).

Anyway, evolusi itu ternyata masih berlanjut. Duluuu, waktu aku kecil dan tinggal di desa, anjing-anjing milik kami bebas berkeliaran. Tiap malam malah mereka lebih sering berburu (dan berbagai kegiatan yang mereka mau) di luar rumah. Pagi-pagi mereka pulang. Mereka mendapat makan siang dan sore. Satu-satunya kekhawatiran kami adalah: keracunan! Bukan diracun tetangga yaa ... tapi makan tikus yang mati kena racun. Endrin adalah merek racun yang sering dipakai orang untuk meracun tikus, dengan collateral damage kena anjing atau kucing.

Ketika kami pindah ke sini (alias lebih kota), lain lagi kekhawatiran kami. Awal tahun 80an, anjing kami masih bebas berkeliaran. Hanya saja, kami mulai was-was karena anjing justru diburu manusia penyuka kuliner RW alias daging anjing. Apalagi Salatiga, tempat kami tinggal, terkenal dengan sebutan Indonesia mini karena keberadaan kampus lengkap dengan mahasiswa dan dosennya dari berbagai daerah di Indonesia. Tentu ini berbanding lurus dengan peningkatan populasi penyuka RW itu tadi.

Aku ingat, suatu ketika, dua anjing kami, Lesi dan Bledog, beberapa hari tidak pulang, ibuku memberanikan diri mengabsen tempat-tempat itu (entah pengepul atau pemasak) demi mencari mereka. Untungnya, kedua anjing itu akhirnya pulang. Asumsi kami, keduanya sempat ditangkap dan kemudian dilepas karena ibu sempat menitip uang untuk 'menebus'.

Aku pun pernah melakukan hal mirip dengan yang ibuku lakukan zaman itu. Ketika Milo, mongrel kesayangan kami tidak pulang, aku sempat berkeliling ke beberapa tempat yang menurut kabar jadi pengepul anjing curian. Aku membawa foto Milo, bertuliskan namaku dan nomor telepon di baliknya, dengan harapan dia bakalan pulang. Sayangnya hingga kini, Milo tak ada kabar. Anakku dan aku berusaha berpikir positif: Milo masih hidup, ditemukan dan dipelihara orang lain yang juga penyayang anjing.

Buat kami, yang namanya anjing itu adalah kesayangan. Bahkan adalah anggota keluarga. Jadi bukan sekadar peliharaan. Tiap kami melihat anjing selain anjing kami, kami (aku dan anakku) selalu berusaha menyapa. Menyapa lho ya ... bukan menggongong seperti kelakuan banyak orang (baik anak maupun dewasa, yang sorry to say, laki-laki) kalo lihat anjing. Kalo itu sih namanya nantangin kelahi. Hehe.

"Ma, Ma, Ma ... itu si endut. Ampun deh ... lucuuu ...." Begitu anakku selalu heboh ketika melihat beagle endut yang rumahnya di seberangnya rumah sakit DKT. Kami bahkan hapal rumah mana saja yang memiliki anjing terutama sepanjang rute dari rumah ke sekolah, dan rute lain yang sering kami lalui. Kami selalu sempatkan menoleh untuk mengecek keberadaan para gukguk itu.

Biasanya sih kebanyakan anjing yang kami jumpai, berada di halaman berpagar. Ada beberapa yang sering juga berada di dalam kandang. Sedih lho kalo lihat yang dikurung begitu. Tapi ya, itu tadi. Zaman berubah.

Dulu, anjing berkeliaran dan bermain di luar rumah tanpa ada yang complain. Tanah kosong masih banyak, tempat para gukguk bisa pup dengan leluasa dan merdeka. Kini? Menyempitnya ruang gerak bagi anjing, ruang alami sebagai toilet, serta ancaman para pencuri anjing benar-benar membatasi mereka. Belum lagi complain dari para tetangga yang dapat door prize berupa pup dari entah anjing siapa.

Dog poop ini lumayan jadi urusan panjang dan masih ngambang hingga kini. Pemilik dihimbau tidak melepaskan anjing di luar rumah, supaya anjing tidak poop di sembarang tempat. Hampir semua warga menyatakan keberatan jika harus menerima kado pup itu tadi. Sebaliknya, para pemilik, beragam responsnya. Ada yang cuek tetap melepaskan anjingnya. Ada yang mengajak jalan anjingnya jalan, dengan tali kekang, namun membiarkan si gukguk pup sembarang. Ada yang ajak jalan anjingnya, pakai tali kekang, serta bawa plastik untuk ambil poop. Tapiii ... ada lho, yang meskipun ambil poop pake plastik, setelah itu dibuang sembarang. Hahaha .... Geleng-geleng kepala deh kalo menyaksikan itu.

Repot, ya, jadi anjing zaman now? Mungkin kalo leluhur mereka tahu bakalan begini nasib keturunannya, mereka ga bakalan tuh deket-deket manusia. Tapi ya, yang namanya penyesalan itu datangnya selalu terlambat. Betul kan, Guk? Guk! (rase)

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.