[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #5
![[Cerbung] Perawan Sunti dari Bawono Kinayung #5](https://thewriters.id/uploads/images/image_750x_5e6db0a8abec0.jpg)
Lima
Mimpi-Mimpi
Pelan-pelan Paitun menutup pintu belakang pondoknya. Ia melangkah cepat tanpa bunyi menembus kebun melalui jalan setapak. Pekatnya suasana tak menghalangi gerakannya. Begitu sampai di ujung jalan, ia berbelok ke kanan, menyusuri sungai. Tak jauh ia berjalan, ia sudah sampai di sebuah dermaga mungil dengan sebuah sampan tertambat di sana.
Tanpa suara pula, sampan itu mulai meluncur ke arah yang berlawanan dengan pondoknya. Setelah menembus sebuah air terjun kecil, dalam sekejap ia sudah sampai ke sebuah dermaga mungil lainnya.
Setelah menambatkan sampannya, Paitun turun dan masuk ke dalam gua yang bagian depannya tersambung dengan dermaga itu. Tempat yang ditujunya adalah bagian tengah gua. Sebuah tempat dengan langit-langit sangat tinggi dan bersuasana remang-remang. Ada beberapa lorong di sekitar ruangan besar itu.
Paitun menghentikan langkahnya dan bertepuk tangan tiga kali. Tak ada hitungan menit, sesosok bayangan putih muncul dari lorong di seberang Paitun. Seekor ajak putih.
‘Nini, ada apa mencariku?’ Suara berat bernada hormat itu menembus pikiran Paitun.
‘Bondet, benar ada orang dari atas yang mencari Kresna?’
‘Benar, Nini. Tapi karena aku tahu Kang Tirto dan Mbakyu Wilujeng sudah mengambilnya, jadi kusuruh dia membawa teman-temannya kembali ke atas jurang.’
‘Hm.... Jadi kamu berhasil bicara dengannya?’
‘Aku coba dan ternyata berhasil, Ni.’
‘Kamu bisa menghubunginya lagi?’
Bondet terdiam sejenak. Tapi ia kemudian mengangguk.
‘Baik, Nini. Akan kucoba. Apa yang harus aku katakan?’
Dengan panjang lebar, Paitun kemudian memberikan pesannya. Bondet mengangguk-angguk. Pembicaraan itu tak berlangsung lama. Setelah selesai, Paitun pun berpamitan. Bersamaan dengan ia mulai meluncurkan sampan, Bondet pun berkelebat pergi. Kembali masuk ke dalam lorong.
Ajak putih itu punya tugas. Dan, Paitun tentunya tak mau menunggu lebih lama lagi. Ia pun makin bergegas.
* * *
Tiba-tiba saja Samadi terjaga karena rasa haus menyerang kerongkongannya. Ia melirik ke kiri. Tina masih terlelap dengan wajah damai. Pelan-pelan, ia beringsut turun dari ranjang dan keluar dari kamar.
Di dapur, dituangkannya air dingin yang diambilnya dari kulkas ke dalam gelas. Direguknya sampai habis. Udara selewat tengah malam itu, entah kenapa terasa lebih gerah daripada biasanya. Tadi di kamar tidak begitu terasa karena kipas angin menyala cukup kencang. Dituangkannya segelas lagi air dingin, dan dibawanya ke kamar.
Kembali ia membaringkan tubuhnya. Tina sudah berubah posisi. Kali ini membelakanginya. Dengan hati-hati, dipeluknya Tina. Posisi yang membuatnya merasa damai dan nyaman. Pelan-pelan, alam mimpi kembali menguasainya.
Samadi mengerutkan kening ketika mendapati bahwa tiba-tiba saja ia sudah berada di sebuah tempat gelap yang hanya diterangi seberkas cahaya bulan. Ia mendongak. Dari sela-sela dedaunan semak, bulan menampakkan wajah penuhnya di langit. Samadi mengedarkan tatapannya berkeliling menembus remang..
Sepertinya ia mengenali tempat itu. Dinding tebing yang menjulang tinggi di belakangnya, rapatnya semak-semak dan pepohonan di depannya, udara dingin yang terasa pengap.... Samadi tersentak.
Ia ada di salah satu jurang Gunung Nawonggo. Lebih tepatnya, jurang tempat korban jatuh dalam pencarian terkininya beberapa hari lalu. Dan, kali ini ia sendirian. Hanya ditemani serangga dan burung malam yang suaranya bersahutan. Sebelum ia memutuskan untuk berbalik, suara gemerisik dedaunan membuatnya membeku. Lalu, ia makin membeku ketika melihat apa yang muncul dari balik semak di sekitarnya.
Lima ekor ajak melangkah perlahan keluar dari semak. Mengepungnya, hingga tanpa sadar ia merapat ke punggung tebing di belakangnya. Ajak putih, yang ukurannya paling besar, mendengking pendek tiga kali. Lalu....
‘Kamu masih ingat padaku?’
Samadi ternganga ketika suara berat itu bergema di benaknya. Ditatapnya ajak putih itu dengan perasaan ngeri.
‘Jangan takut. Aku dan kawan-kawanku tak bermaksud jahat padamu.’
Samadi mendegut ludah. Mimpi apa ini???
‘Namaku Bondet. Kamu siapa?’
Sekali lagi Samadi mendegut ludah. Tenggorokannya mendadak saja terasa sakit.
“Samadi,” jawabnya dengan suara bergetar.
‘Nah, Samadi, apa hubunganmu dengan Kresna?’
“Kresna?” Samadi terbelalak.
‘Iya, Kresna.’ Tatapan Bondet, si ajak putih, terlihat menyiratkan kekesalan. ‘Tempo hari kamu dan teman-temanmu turun ke sini untuk mencari Kresna, kan?’
“Ya, ya....” Samadi mengangguk. “Aku mendapat tugas untuk mencari pendaki bernama Kresna yang jatuh ke jurang ini. Tapi dia....”
‘Kresna tidak apa-apa,’ sergah Bondet. ‘Dia ada di tempat yang aman dan tangan yang tepat.’
Samadi menghela napas lega. Tapi....
“Di mana dia sekarang?”
‘Kamu tak perlu tahu. Tapi dia tak akan kembali kecuali pelakunya mengaku.’
“Pelaku?” Samadi mengerutkan kening.
‘Ya. Orang yang sengaja mendorongnya ke arah jurang. Orang yang berusaha membunuhnya.’
Samadi tercekat. Jadi perkiraan Yoga benar!
‘Hubungi ayahnya. Katakan padanya tentang pembunuhan itu. Minta padanya untuk mencari orangnya.’
Samadi tak punya pilihan lain kecuali mengangguk. Ajak putih bersama kawanannya pelan-pelan mundur.
‘Aku pergi dulu. Kembalilah ke atas.’
Sebelum Samadi menjawab, ajak-ajak itu sudah berkelebat pergi dan hilang dalam kegelapan. Ia pun berbalik dengan perasaan campur aduk. Begitu dilihatnya ada tali menggantung di dekatnya, ia buru-buru meraih tali itu, dan....
Samadi tersentak bangun. Napasnya tersengal dan keringat membasahi wajahnya.
Mimpi itu....
Seperti benar-benar hal nyata yang beberapa detik lalu memerangkapnya begitu saja. Samadi segera mengatur napasnya. Rupanya, Tina ikut terbangun karena merasa ada gerakan tak wajar di dekatnya. Perempuan itu menggeliat pelan.
“Jam berapa ini, Mas?” gumamnya.
Sekilas Samadi melirik jam dinding. “Jam empat kurang.”
“Mau apa bangun jam segini?” Tina menguap.
Samadi tak menjawab. Ia merebahkan tubuhnya kembali di samping Tina. Tapi sebelum berhasil memejamkan mata, sayup-sayup didengarnya suara lolongan panjang di luar sana. Samadi kembali tersentak bangun.
“Tin, dengar suara itu?” ia menggoyangkan sedikit tubuh Tina.
“Suara apa?” Tina balik bertanya dengan suara mengantuk.
Samadi mendegut ludah. Tapi sebelum ia kembali berbaring, ada suara berat yang menembus benaknya.
‘Hubungi ayah Kresna sekarang!’
Samadi hampir kehilangan kesadaran. Suara itu....
Dengan perasaan mengambang, ia kemudian meraih ponselnya dan keluar dari kamar. Jemarinya sedikit gemetar ketika menyentuh layar ponselnya.
Jadi itu tadi bukan sekadar mimpi?
Diam-diam Samadi bergidik. Bulu kuduknya meremang, Dan, ia menghela napas lega begitu mendengar sahutan dari seberang sana.
* * *
“Liburan yang sangat menyenangkan!”
Mahesa tersenyum lebar mendengar suara dari arah belakangnya itu. Tanpa menoleh pun, ia bisa melihat dengan mata hatinya, bahwa wajah Wilujeng pastilah penuh dengan seri seperti biasanya. Bahkan mungkin lebih. Tapi ia memilih untuk tak menjawab. Konsentrasinya harus disetel maksimum agar mereka bisa melewati kelokan-kelokan tajam di sepanjang punggung Pegunungan Pedut.
Matahari perlahan mulai menggelincir ke barat. Mahesa menurunkan visor agar pandangannya tak terganggu. Kebetulan, saat ini mereka lebih banyak mengarah ke barat. Tapi dengan cepat kabut tipis mulai mengepung. Mahesa pun melipat kembali visor dan lebih berkonsentrasi dengan jalur yang terbentang di depan mobilnya.
Pegunungan Pedut yang terdiri dari tiga gunung kecil bersambungan itu penuh dengan jurang menganga dan tebing menjulang di kiri-kanan jalan. Tapi semua bahaya itu seolah dibayar lunas oleh pemandangan indah yang terbentang luas. Membuat Pegunungan Pedut cukup penuh dengan rumah peristirahatan yang selalu ramai di akhir pekan.
Dan, mereka berempat dalam perjalanan hendak kembali ke kota setelah menghabiskan libur panjang akhir pekan sejak hari Kamis. Lalu lintas di sepanjang jalan berkelok-kelok itu cukup padat walaupun tetap lancar. Di samping deretan mobil kecil dan mobil keluarga, ada juga truk-truk sedang dan besar yang ikut memeriahkan jalur di punggung Pegunungan Pedut. Itu karena jalur Pegunungan Pedut merupakan jalur pintas yang menghubungkan dua provinsi.
Tapi, tiba-tiba saja, di sebuah turunan mobil yang dikemudikan Mahesa terasa berat dan berhenti mendadak. Mahesa menyadari sesuatu. Dengan wajah marah, ia meneriaki salah seorang anak kembarnya yang duduk di sisi kirinya.
“Seta!”
Bersamaan dengan tangannya kirinya berhasil menormalkan rem tangan yang tuasnya ditarik oleh Seta, sebuah guncangan keras terasa dalam mobil kecil itu. Ada yang menyeruduk mobil mereka dari belakang. Begitu saja mereka terdorong ke kiri, membentur tebing dengan sangat keras, terpental ke kanan, disambut oleh sebuah truk besar dari depan tepat di belokan, dan meluncur tak terkendali lagi ke dalam jurang.
Dan, hal terakhir yang bisa diingatnya adalah teriakan histeris Wilujeng dan jeritan Kresna yang duduk di belakang. Setelahnya gelap....
* * *
Mahesa tersentak bangun. Langsung terduduk dengan napas tersengal dan keringat dingin membanjiri tubuhnya.
Mimpi itu datang lagi. Sudah beberapa malam berturut-turut. Mimpi yang sama. Mimpi buruk tentang kejadian tiga belas tahun lalu. Mimpi yang detail demi detailnya tak pernah bisa ia lupakan.
Tanpa bisa ditahan, air matanya mulai mengucur. Mahesa mendekap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menangis dalam hening.
Betapa rindunya ia pada Wilujeng! Wilujeng tak pernah dibiarkannya meninggalkan hati. Selalu ada Wilujeng dalam hatinya. Bahkan hingga di sudut-sudut yang tersembunyi.
Tanpa Wilujeng, setengah nyawanya seolah melayang pergi. Betapa pun ia berusaha tegar mengasuh si kembar sendirian, dengan mengesampingkan segala rasa marah terhadap Seta, ada saat-saat tertentu ketika ia merasa hidupnya gelap. Pada saat itulah ia membangun keyakinan bahwa Wilujeng-nya masih abadi. Wilujeng tidak akan meninggalkannya sendirian. Dan, bayang-bayang maya Wilujeng itulah yang membuatnya menemukan kembali kekuatan untuk berdiri tegak. Hingga hari ini.
Mahesa menyeka kedua matanya. Ia kembali berbaring. Meringkuk di bawah selimut. Tatapannya jatuh pada jam dinding. Sudah hampir pukul empat pagi. Ia kemudian bangun lagi. Sudah hampir waktunya untuk bermeditasi seperti biasanya. Salah satu caranya yang lain untuk mencari kekuatan. Ia sangat memerlukan itu. Apalagi kini bukan saja Wilujeng yang tak kembali. Kresna juga. Tanpa kabar.
Tapi, sebelum ia beranjak, ponsel yang tergeletak di samping bantalnya bernyanyi lirih. Ia meraih benda itu. Mengerutkan kening ketika mendapati ada sebaris nomor tak dikenal muncul di layar. Tapi dijawabnya juga panggilan itu.
“Halo, selamat pagi.”
“Selamat pagi, Pak. Dengan Pak Mahesa?”
“Iya, saya sendiri. Maaf, Anda siapa?”
“Saya Samadi, Pak. Salah satu anggota tim penyelamat putra Bapak.”
Seketika, jantung Mahesa berdetak lebih kencang.
* * *
Sepanjang perjalanan itu ia gelisah. Diliriknya berkali-kali Kresna yang asyik mengobrol dan bercanda. Sementara ia lebih banyak diam. Sibuk dengan pikirannya sendiri.
Keinginan itu kembali mencengkeramnya. Erat. Keinginan untuk melenyapkan Kresna supaya pesaingnya tidak ada lagi. Lalu, pikirannya melayang pada sesosok gadis cantik berambut ikal panjang bernama Lavia. Gadis yang sudah lama memenuhi pikirannya. Sejak mereka pertama bertemu di bangku kuliah.
Tapi sayangnya, gadis cantik yang satu itu sebelah mata pun tak pernah meliriknya. Desas-desus mengembuskan angin gosip, bahwa sebetulnya Lavia menyukai Kresna. Kenyataannya, ia memang ‘kalah kelas’ bila harus dibandingkan dengan Kresna. Dan, yang membuatnya lebih sakit hati adalah fakta bahwa Kresna sama sekali tak pernah peduli pada Lavia.
Ya, Kresna memang selalu berlaku baik pada siapa pun, apalagi terhadap para gadis. Tapi semuanya sama rata. Tak ada yang dianggapnya istimewa, termasuk Lavia.
Betapa sakit hati dan kecewanya Lavia, ia tak pernah mampu membayangkan. Lalu, ia berusaha mendekati Lavia. Berusaha memenangkan sedikit demi sedikit hati gadis itu. Sayangnya, Lavia tak seutuhnya bisa berpaling. Ya, mereka jadi dekat. Tapi hanya sebagai teman baik. Tak bisa lebih. Bahkan bicara tentang rasa hatinya pada Kresna pun Lavia tak pernah.
Kini, mereka bertujuh sedang dalam perjalanan untuk menggapai puncak Gunung Nawonggo. Bukan pendakian pertama, tapi kini mereka memilih jalur lain yang jauh lebih menantang. Ia yang mengusulkan jalur itu. Jalur ‘neraka’ tapi indah yang penuh dengan jurang menganga di kiri-kanan. Jurang-jurang dalam yang entah berisi apa di bawah sana.
Dua buah SUV milik Yopie dan Rizal sudah terparkir rapi di halaman luas sebuah rumah penduduk setempat, di bagian selatan kaki Gunung Nawonggo. Mereka bertujuh pun bersiap untuk melakukan pendakian. Izin untuk mendaki dari pemangku hutan setempat sudah ada di tangan. Perbekalan pun sudah diperiksa ulang dan lengkap. Pengalaman sudah lebih dari cukup.
Biasanya ia yang berada paling depan. Tapi kali ini ia membiarkan Yopie melakukan tugasnya untuk memimpin rombongan. Di antara mereka bertujuh, hanya Yopie seorang yang punya pengalaman mendaki Gunung Nawonggo dari jalur selatan. Maka, ia memilih untuk berjalan di belakang. Tidak paling belakang, karena masih ada Kresna tepat di belakangnya.
Pos demi pos mereka lalui dengan mulus. Menjelang pukul dua siang, mereka mulai mendirikan tenda di dataran kecil di tepi jalur, tak jauh dari pos kedua sebelum pos terakhir. Beristirahat untuk memulihkan tenaga. Rencananya, mereka akan mendaki lagi nanti selepas gelap, karena ingin menikmati indahnya matahari terbit esok hari di puncak Gunung Nawonggo. Apalagi malam ini bulan purnama akan bersinar penuh. Sinar redupnya pasti akan membantu pendakian mereka.
Dan, gelap pun menjelang. Mereka berkemas. Tenaga pun sudah dipulihkan. Posisi mereka tak berubah. Tapi ia menimbang-nimbang lagi keinginannya.
Bagaimana kalau aku gagal? Bagaiamana kalau Kresna siaga dan tidak jadi terjun bebas? Bagaimana...? Bagaimana...? Bagaimana...?
Sayangnya keinginan itu menguat pada langkah demi langkah. Dengan sabar ditunggunya hingga pos terakhir terlampaui. Menurut pengamatannya dari banyak jurnal tentang Gunung Nawonggo, jurang pada titik-titik itu makin dalam. Tentunya....
Pikiran itu terus merangsek. Pada saat yang ‘tepat’, ia pun berbalik dan sekuat tenaga mendorong tubuh Kresna ke arah jurang. Teriakan Kresna yang terus melayang jatuh menjadi alibi baginya untuk pura-pura baru menyadari bahwa Kresna baru saja terjun bebas ke dalam jurang.
Kepanikan pun melanda kelompok itu, dan ia turut melarutkan diri di dalamnya. Seraya hatinya berharap, semoga Kresna tidak selamat.
* * *
Seta tergeragap tiba-tiba. Suara gaduh membuatnya terjaga. Ada yang membuka pintu kamar dengan sangat kasar dari arah luar. Belum sempat ia mengerjapkan mata, sebuah terjangan sudah menerpanya. Ketika ia membuka mata, dilihatnya Mahesa sudah mencengkeram bahunya dan mengguncang sekeras-kerasnya. Suara Mahesa pun menggelegar memenuhi kamar itu dari sudut ke sudut.
“KAMU YANG MENDORONG KRESNA JATUH KE JURANG, KAN?! KAMU YANG MEMBUNUHNYA, KAN?! KAMU! Kamu! Kamu....”
Cengkeraman Mahesa mengendur bersamaan dengan melemahnya suara menggelegarnya. Lalu terlepas bersamaan dengan laki-laki itu merosot ke lantai dan tersimpuh di sana. Kedua telapak tangan Mahesa menutup wajah. Laki-laki itu menangis tersedu-sedu.
Seta yang masih membeku karena rasa kaget yang luar biasa pelan-pelan memperoleh kesadarannya kembali. Ia bangun. Tangannya terulur. Ragu-ragu disentuhnya bahu Mahesa.
“Maafkan... aku, Yah...,” bisiknya terbata. “Aku... tak bisa... menjaga Kresna. Maafkan aku....”
* * *
(Bersambung hari Selasa)
Ilustrasi : www.pixabay.com (dengan modifikasi)
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.