Perfecto!
Sejak aku hidup, dia adalah satu-satunya manusia yang pernah kukenal. Dia mengurungku di kamar ini sejak aku mati hingga dia menghidupkanku.

Pagi betul ia datang hari ini. Jam dinding di kamarku baru menunjukkan pukul 10.00. “Hai, cantik!” sapanya.
Seperti biasa, kami kemudian berbalas senyum. Dia yang membalas senyumku atau aku yang membalas senyumnya, tak jadi soal bagiku. Yang jelas, setiap kali kulihat senyumannya, aku merasakan roh kehidupan menjalari tubuhku. Namun, tetap saja, aku hanya bisa tersenyum sambil menatapnya dengan binar.
Biasanya -- setelah menyapa dan membalas senyumku -- dia duduk di kursi kayu yang ada di hadapanku. Kadang, ia hanya duduk memandangiku tanpa bicara sepatah kata pun. Kalau sudah begitu, aku lah yang akan banyak bicara meskipun ia selalu acuh tak acuh. Namun tak jarang, ia duduk sambil bercerita, tentang apa pun.
“Cantik, kau harus dengar ceritaku ini. Ini adalah cerita rakyat Indian,” katanya suatu kali. Dia kemudian bercerita tentang seorang perempuan rupawan yang menikah dengan pohon pinus. Dia, perempuan itu, memilih lari ke rimba daripada harus menikah dengan lelaki yang tak dicintainya. Di rimba, ia mendengar bisikan lembut pohon pinus. Pohon itu melamarnya, dan perempuan rupawan itu menerimanya.
Sejak itu, aku membayangkan bahwa akulah si perempuan itu dan dia adalah si pohon pinus. Bedanya, akulah yang membisikkan kata-kata cinta. Tetapi apa boleh buat, lelakiku ini tak pernah peduli. Bisikan, bahkan teriakanku, tak jua mampu menarik perhatiannya.
*
Kemarin, ia datang ketika senja menjelang.
“Aku baru saja mencuri sekuntum mawar dari Taman Mawar Hazrat Inayat Khan,” ucapnya seraya meletakkan mawar itu di atas meja bulat yang ada di hadapanku.
Ketika ia meletakkan mawar itu, aku mencium aroma pinus dari tubuhnya, aroma yang tak kukenali dari rambutnya yang gondrong, dan aroma tembakau dari kumis dan jambangnya yang lebat. Saat itu, jarak kami sangat dekat, namun aku tak sanggup menyentuhnya. Meskipun ingin betul aku menyentuhkan tanganku ke pipinya yang tirus.
Namun, ketika ia melirikku, sebuah energi aneh tiba-tiba menyergapku lalu membangkitkan kesanggupanku untuk menyentuhnya. Sayang, semua sudah terlambat. Baru saja aku akan menggerakkan tanganku, kami telah kembali berjarak. Dia telah berdiri sejengkal jauhnya dariku, lalu menyunggingkan senyuman yang semakin menyiksaku, kemudian menatapku dengan teduh. Oh, seandainya dia tahu, itu semua hanya membuat hatiku serasa runtuh!
“Kau semakin cantik dengan mawar itu,” ucapnya sambil menyalakan sebatang rokok kretek. Dihembuskannya asap dari hisapan pertamanya kencang-kencang seiring debur kepuasan yang merampok hatinya. Lalu mengerlingkan mata kanannya kepadaku. Duh, merah mukaku dibuatnya.
Lelaki itu melemparkan senyum manisnya sekali lagi sebelum beranjak meninggalkan kamarku lalu menguncinya dari luar.
Suara klik yang ditimbulkan kunci pintu kamar adalah ibarat suara lonceng kematian bagiku karena itu artinya aku harus menghabiskan lagi waktuku di kamar sempit ini sendiri dengan penuh kegelisahan. Sungguh, menghabiskan waktu penuh kegelisahan adalah siksaan terberat buatku sejak aku merasakan kehidupan mengaliri tubuhku.
Sejak aku hidup, dia adalah satu-satunya manusia yang pernah kukenal. Dia mengurungku di kamar ini sejak aku mati hingga dia menghidupkanku. Bagiku, dia adalah Tuhan. Maka sudah selayaknya aku mencintainya. Dan sejak aku mencintainya, aku merasakan hidupku semakin hidup. Namun, perasaan itu pula yang kemudian menyiksaku setiap kali ia pergi meninggalkanku sendiri di kamar ini. Kamar di mana aku dihidupkan dari ketiadaanku.
Aku sering memikirkan cara bagaimana ia tak lagi pergi meninggalkanku. Agar ia tetap tinggal menemaniku di kamar ini. Namun, tak kutemukan jawaban lain selain aku harus membuatnya tidak hidup sehingga ia tak mampu lagi melangkahkan kakinya ke luar dari kamarku.
Tapi, bagaimana?
*
Dan hari ini, ia datang pagi betul. Jam dinding baru menunjukkan pukul 10.00. Seperti biasa ia menyapaku dengan ramah. “Hai, cantik!” ucapnya. “Semalam, aku mencuri sebilah pisau dapur dari rumah Sapardi Djoko Damono,” lanjutnya sambil meletakkan pisau itu di dekat tangan kananku yang bertelekan di atas meja bulat di hadapanku.
Pisau itu mengerlingkan matanya yang tajam, seolah mengundangku untuk melaksanakan niat baikku; membunuhnya, agar ia tak lagi meninggalkanku sendiri di kamar yang kecil dan pengap ini. Aku masih menimbang-nimbang undangan pisau dapur itu ketika dia mengucapkan, “Perfecto!”
Ia mundur sejengkal sebelum kemudian mengucap perfecto lagi dengan senyum puas hingga mempertontonkan barisan giginya. Senyum yang semakin membuatku tersiksa.
Dan, ketika ia kembali mendekatiku – untuk menuliskan namanya di atas meja bulat di hadapanku, di dekat mawar merah yang dicurinya dari taman Hazrat – tanganku tiba-tiba meraih pisau dapur itu lalu kuhunjamkan ke dadanya. Lelaki itu tersungkur bersimbah darah di hadapanku.
*
Pukul 3 sore.
Banyak orang memenuhi kamarku. Aku tidak kenal siapa mereka. Yang kutahu, mereka membopong lelakiku ke luar kamar. Mereka juga membopongku. Dan, ketika melintas di depan sebuah layar kaca, aku melihat seorang wanita sedang bicara, “Seorang pelukis mati di depan karya terakhirnya.”
***
Ditulis di Kedai Laku Kopi Bintaro.
10 Juni 2016.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.