IYA, GUE EMAK-EMAK..

IYA, GUE EMAK-EMAK..

Hai..hai..

Udah lumayan lama gue puasa nulis. Hehe..
Ketika gue punya perasaan yang sungkan untuk gue akui, tapi cukup menyita ruang di pikiran gue selama beberapa saat, nah di saat itulah gue merasa butuh menulis.
Menulis adalah salah satu jalan untuk melegakan hati buat gue.
Nah, karena kemaren-kemaren gue udah cukup santai mengakui semua perasaan gue, jadi kok kayanya gue belom butuh nulis lagi.
Sampai beberapa hari terakhir ini.
 
Gue lagi kepikiran perkembangan anak gue, Liel, di umurnya  yang praABG. 9 tahun, itu umur yang lagi nanggung menurut gue. Kecil udah enggak, remaja juga belom. Ada transisi-transisi yang baru buat dia,dan juga buat gue dan Ary sebagai orangtua.

Gak tau gue yang overthinking, apa emang wajar gue sebagai emak-emak kepikiran. Jadi, belakangan ini ada kejadian antara Liel dan temen-temennya yang rada gak enak. Biasa sih, namanya juga anak-anak. Ribut soal sepele, gak tau gimana, akhirnya gue dapet laporan. Temen gue ada yang cerita anaknya katanya dicekek sama Liel. Selang sehari, temen gue yang laen cerita juga soal sendok makan anaknya yang diinjek dengan sengaja sama Liel. Ya, emang kejadian jarang sih, tapi ya bikin gue rada kepikiran dan cukup mengganggu perasaan gue.

Jadi, gue ajak dia ngobrol bertiga, Ary, gue, Liel. Sempet kepikiran, apa karena gue ama Ary lebih sibuk belakangan ini daripada dulu-dulu ya? Tapi direview-review kami berdua masih terhitung cukup waktu untuk anak-anak. Akhirnya, dari dialog bertiga tadi, gue sama Ary berkesimpulan bahwa inti persoalannya Liel adalah dia ternyata cukup gampang terganggu dengan hal-hal yang dia gak suka. Tapi lucunya kadang dia sendiri juga kurang peka bahwa hal-hal yang dia lakukan atau katakan kadang juga mungkin gak nyaman untuk orang lain. Ya, memang perlu kesadaran dan kedewasaan sih untuk bisa menyadari hal ini.

Karena cukup gampang terpancing emosinya, maka dia akan gampang juga reaktif melakukan atau mengatakan sesuatu yang kasar untuk melawan atau membuat orang lain berhenti melakukan yang dia gak suka tadi.

Nah, di sini mulailah percakapan bagian-bagian diri gue dimulai. Ternyata, ego gue sebagai emak-emak, pengen anak gue baik dong, disukai ama orang, bisa bertemen dengan baik, dan yang baik-baik lainnya. Dan sebagai emaknya, gue bisa bilang bahwa anak gue gak nakal. Dia malah bisa dibilang (menurut gue, ya gue emaknya..) anak yang cukup sweet dengan perhatiannya, dewasa dengan pemikirannya yang kadang lebih dewasa daripada umurnya, dan cukup bisa diberi pengertian tentang hal yang benar dan yang salah.

Jadi, sebenernya kalo mau jujur, gue pribadi sekarang ternyata lebih terganggu dengan pikiran gue sendiri akan penilaian orang lain tentang Liel, daripada terganggu dengan kekhawatiran akan perkembangan anak gue itu.
Karena sebenernya gue tau bahwa anak gue baik-baik aja, semuanya masih wajar.
Cuma, gue takut sekaligus gak terima memikirkan bahwa orang lain mungkin ada yang menganggap Liel anak yang nakal dan kasar. Dan gak gampang mengakui ego ini. 

Jujur, ada pembantahan dan perlawanan dalam diri gue yang pengen nuding balik ke anak-anak lain yang terlibat perseteruan sama Liel.
Bagian diri emak-emak gue yakin bahwa kalo anak lain gak kelewatan, Liel gak akan marah dan sampai melakukan hal-hal yang akhirnya dilaporin tadi.
Liel juga biasanya akan cerita bahwa biasanya (gak selalu, tapi lebih seringnya) dia marah karena temannya melakukan sesuatu yang dia gak suka, dan dia udah bilang untuk stop tapi mereka gak dengerin. Akhirnya dia merasa perlu melakukan tindakan yang seringkali meledak dan tanpa perhitungan. Dan tindakan meledak inilah yang kemudian dilaporin ke gue.

Trus gue kudu gimana? Masa gue gak ngebolehin anak gue fight back? Masa anak gue kudu diem aja kalo diapa-apain?
Yup, ini bagian diri gue, si emak-emak yang reaktif dan emosional, sisi emak-emak yang gak rela anaknya disalahin atau dijelekin. Walaupun faktanyaaaa, gak mungkin juga anak gue gak pernah salah.

Dia pasti pernah ada salah juga, gimanapun dia punya sisi yang konyol, rame, dan kadang kurang perhitungan, apalagi dengan anugerah di perkataan dan perbendaharaan katanya yang sangat mungkin nyelekit dan ngeselin bagi orang lain.

Wali kelasnya Liel di kelas 2 pernah bilang, “Mommy, Liel itu punya kelebihan di kata. Pilihan katanya gak biasa, perbendaharaan katanya kaya, tapi karena kelebihannya itu, ketika dia berekspresi, dia bisa sangat tajam dengan kata-katanya.” Kebayang dah, kalo becanda atau roasting orang gimana tuh anak. Maksudnya cuma becanda, tapi ternyata mungkin aja bikin orang lain sakit hati. Nah, gimana kalo emang pas dia bener-bener lagi marah beneran. Hehh..

Jadi, sekarang setelah gue selesai mendengarkan dan plong mengakui sisi emak-emak reaktif gue yang tadi, rasanya gue mulai cukup waras untuk mulai mau dengerin sisi bijak gue yang ngingetin bahwa peran guelah sebagai ibunya untuk ngajarin dia. 
Bahwa kita gak akan pernah bisa mengendalikan orang lain dan berharap orang lain akan selalu sesuai dengan mau kita, ya kaaannn..

Jadi, gak bisa juga dia berharap orang lain akan selalu seperti yang dia mau dan kemudian dia merasa berhak marah kalo ternyata orang lain gak melakukan seperti yang dia harapkan.
Dia harus jadi tuan atas dirinya sendiri.

Maka, meskipun nyalahin orang lain rasanya jauh lebih gampang dan lebih menggoda, tapi tetep aja tudingan jarinya balik lagi ke gue dong. “Aku?” “Iya, kamuuu..” Sebagai emak, gue udah ngajarin itu belom? Dan, sebelom ngajarin anak gue, guenya sendiri udah bisa belom jadi tuan atas diri gue dan mengendalikan diri gue sendiri? 

Yak.. Gue jadi perlu mereview beberapa poin yang menurut gue perlu gue analisa dari Liel dan solusinya. Biar ada faedahnya ini kejadian buat Liel dan gue juga.

Poin pertama. Tentang memberi skala angka untuk hal-hal yang dia gak suka. 

1 sampai 3 untuk hal yang dia gak suka, tapi hal itu termasuk sepele
4 sampai 6 untuk hal yang bikin dia gak nyaman dan sedikit sakit
7 sampai 9 untuk hal yang memang menyakiti dan hal yang penting
10 untuk hal yang emang udah parah banget, gak bisa ditoleransi

Dengan begini, dia jadi bisa memilah, mana kejadian yang dia perlu anggap angin lalu aja dan gak usah buang-buang energinya, mana yang memang penting dan dia perlu tegas.

Sering kan kita liat orang dewasa yang untuk hal sepele aja marahnya bisa sampe ngamuk parah. Ibaratnya gara-gara terganggu sama lalat, sampe harus ngerubuhin rumah. Gak proporsional.. Ralat, itu orang gede ding, bukan dewasa. Hehehe.. Fisiknya aja yang gede, tapi belum dewasa juga. Kadang, gue juga ngerasa bahwa gue masih sama childishnya kaya anak-anak. 

Poin kedua, setelah skala angka ini, selanjutnya gue ajarin dia untuk bereaksi dengan sebagaimana perlunya, bukan sebagaimana marahnya dia. Bukan berarti kalo angkanya tinggi terus dia boleh marah sesuka-sukanya. 

Untuk kejadian-kejadian di sekolah atau saat dia main, gue saranin dia untuk belajar teknik tarik-buang nafas dulu beberapa kali, dan gue kasih sugesti bahwa sambil dia tarik-buang nafas itu, dia kemudian akan bisa berpikir dengan logika yang baik, apa yang perlu dia lakukan dan katakan setelahnya.

Dari ceritanya Liel, biasanya saat kejadian yang jadi awal dia bereaksi kasar, gak ada guru yang liat. Tau2, pas udah jleger, baru ada yang dateng, dan udah dia yang disorot karena reaksi meledaknya tadi.

Jadi gue contohin misalnya ngadepin kejadian awal diapa-apain, dia akan bisa ngomong dengan jelas dan tegas ke temennya soal apa yang dia mau. “Stop pukul-pukul, aku sakit. Mainnya yang biasa aja. Aku mau duduk.” Kalo masih gak stop juga, pergi, cari guru.

Gue perhatiin lagi, banyak juga orang dewasa, eh orang gede, yang kalo marah, akan merepel ngomel soal banyak hal tapi gak menyebutkan dengan jelas point dari marahnya apa, yang dia mau apa. Berasumsi bahwa, “Kamu harusnya tau dong! Masa gitu aja gak tau?” Padahal emang orang lain gak tau karena maksud dan tujuannya tidak pernah dia kemukakan secara gamblang.

Akhirnya, marah yang harusnya jadi sesuatu yang baik untuk mengarahkan yang salah jadi benar, malah jadi marah yang gak ada pointnya dan merusak.
Marah itu bisa konstruktif dan efektif, kalo orang yang kita marahi tau dengan jelas alasan dan tujuan dari marah kita.
Tapi, kalo gak jelas, maka cuma akan jadi marah-marah yang destruktif.

Poin ketiga, Liel perlu belajar memahami soal perbedaan gaya dan standar.
Misal waktu main, dari ceritanya Liel, dia merasa ada temennya yang suka pukul-pukul dia tanpa sebab. Dia lagi jalan, atau berdiri biasa, tau-tau temennya dateng dari belakang gaplok-gaplok dia, kitik-kitik, dll. Itu aja udah bikin dia kesel. 

Dari ceritanya yang itu, Ary nih yang nyadar duduk permasalahannya, karena menurut Ary dia sendiri juga ngalamin hal itu. Sama gue. Lho? Wkwkwkwk..
Jadi.. ini ada hubungannya dengan Lima Bahasa Kasih. Kan ada tuh ya, tipe orang yang bahasa kasihnya sentuhan. Nah, salah satu ciri orang tipe sentuhan ini adalah, dia gampang menyentuh orang lain ketika berinteraksi. Lucunya sentuhan itu keluar dalam berbagai bentuk. Senggol, toel, colek, dorong, gaplok, cubit, toyor, adalah beberapa bentuk sentuhan yang sering digunakan. Bedakan antara orang yang tipe sentuhan dengan orang yang cabul yak betewe. Beda rasalah.. Beda niat juga pasti.

Nah, untuk orang yang tipe sentuhan, gerakan-gerakan menyentuh dalam berbagai rupa tadi keluar secara alami aja. Tanpa direncana, tanpa dirasa, dan rasanya begitu doang. Gestur kecil yang tidak berarti.
Masalahnya, untuk kita yang tipe sentuhan itu rasanya biasa, tapi belom tentu dengan orang yang menerimanya. Gaplokan yang menurut kita gaplokan bersahabat, bisa jadi terasa jadi gaplokan yang ngeselin buat orang yang digaplok, karena belum tentu orang itu tipe sentuhan juga. Gak semua orang menikmati, ada yang malah risih, dan bisa jadi emosi.

Nah, Ary dan Liel, mereka bukan tipe sentuhan. Dulu-dulu sering nih gue ama Ary ribut gara-gara dia kesel gue gaplok, cubit, dorong, wkwkwkwk.. Kasar berasanya. Padahal menurut gue biasa aja deh. Rupanya ini yang dialami Liel. Temennya tipe sentuhan, dia bukan. Temennya gaplok bercanda, dia balesnya gaplok kesel. Temennya toel, dorong main, dia nerimanya ngeselin, ngajak berantem. Jadi reaksinya dia ngegas aja bawaannya.

Untuk itu, gue dan Ary kasi pemahaman dulu ke Liel, bahwa dia perlu ubah sudut pandangnya dalam menerima perlakuan temennya. Bukan mikirnya temennya ngajak berantem, tapi bisa menerima dengan pikiran bahwa itulah cara temennya main dan memperlakukan temennya. Akrab sob.. Wkwkwkwk.. Untuk skala angka tadi, ini termasuk di angka 1 sampai 3 kudunya.
Ini, bisa membuat dia minimal berkurang keselnya. Karena at least dia bisa ngeliat bahwa itu cara temennya nganggep dia sohib. 
Kaya Ary, paham gitu kalo gue begitu karena gue sayang ama dia. Sayang tapi ngegaplok..

Kedua, belajar menempatkan diri bahwa orang bisa beda dengan kita.

Pernah kejadian juga, Liel dipiting tangannya ama temennya, yang kemudian dia bales dengan menampar temennya itu. Hadehh.. Pas gue tanya, “Kenapa kamu bisa sampe digituin?” Dia bilang, “Kokoh cuma say something tentang PR-nya kok.” Dan ternyata temennya malu banget karena dia gak ngerjain PR. Gue bilang ke Liel, “Nah, mirip kan kejadiannya. Yang menurut kamu ngomong becandaan doang, ternyata itu hal yang memalukan banget untuk orang lain..” 

Jadi kalo kita bisa gak nyaman dengan perlakuan orang lain yang menurut mereka biasa aja, berarti bisa terjadi sebaliknya juga kan? Pikirin perasaan orang yang berinteraksi sama kita. Belajar liat reaksi orang terhadap apa yang kita lakukan atau katakan. Kalo kita udah berasa, “Eh kayanya dia gak demen digituin,” maka berarti kita perlu stop gituin dia. Giniin aja.. Ary gak suka gue gaplok, ya udah gue elus.. Demen dia.

Intinya, dalam berinteraksi dan berhubungan dengan orang lain, tidak selalu berlaku untuk memperlakukan orang seperti kita ingin diperlakukan, tapi perlu juga untuk belajar peka memahami yang orang inginkan.

Duh, buat yang sering gue bully moga2 aman tentram semua ya. Mohon maaf lahir batin.. Hehe..

(Kena juga kan gue.. Inget, ini yg ngomong sisi bijak gue, padahal sisi kampret gue juga masih sering on..)

Yah.. so far 3 point itu yang kemaren Ary & gue obrolin ke Liel.. Mungkin belom semuanya masuk dan langsung dia ngerti dan bisa aplikasiin, tapi ya.. gue sendiri juga masih belajar lagi. Gapapa juga kalo dia pelan-pelan ngertinya.

Doain yaa Liel terus bertumbuh jadi anak yang bahagia, baik dan cerdas. Doain gue & Ary juga untuk bertumbuh sebagai orangtua yang bahagia, baik dan benar.

Mungkin, dan pasti gue rasa, kami bertiga masih perlu belajar banyak. Tapi ya, lebih baik kami mulai belajar dari sekarang pas Liel masih praABG, daripada sampe dia gede kami masih kesulitan. 

Sulit? Hah, pantat? Itu silit.. 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.