GADIS ATAU BUKAN?

GADIS ATAU BUKAN?

“Dua lapan... dua sembilan... tiga puluh!” aku mendesah menahan lelah. Sudah empat set aku melakukan angkat beban dengan dumbell di kedua tanganku. Meski masing-masing hanya berbobot 2 kilogram, tapi kalau dilakukan sebanyak 120 kali ternyata melalahkan juga. Aku pun memutuskan untuk berhenti sejenak karena kedua lenganku sudah sangat pegal terasa.

“Glek... glek... glek... Ahhh!” segar sekali rasanya setelah meneguk air dingin yang kuambil dari dispenser. Kulihat jam pada smart watch-ku, sudah pukul 12:15, berarti saatnya makan siang. Tidak jauh berbeda dengan hari-hari sebelumnya, menu makan siangku masih berupa dada ayam sebesar telapak tangan, sebutir kentang berukuran sedang serta sayuran beragam warna yang semuanya disajikan dengan cara dikukus. Melihat menu makan seperti ini, biasanya teman-teman kantorku akan mengernyitkan dahi sambil mencibir dan bilang, “makanan apaan, tuh?”, atau “ih, gue sih nggak bisa makan-makanan sehat kaya gitu”, atau, “lo kenyang makan begitu doang?” Yah, apapun kata mereka, dengan memperbaiki pola makanku yang seperti ini sukses membuatku bertransformasi dari angka timbangan kepala 7 menjadi kepala 5.

Selagi kunikmati makan siangku di ruang tunggu, mataku tertuju pada benda berkilau di sudut ruangan dekat dengan lemari berisi berbagai produk suplemen kesehatan. Gantungan kunci berbentuk dengan emblem bendera dan aksara Korea yang tidak kupahami bagaimana membacanya. Selesai makan kuberikan kunci itu kepada petugas di meja resepsionis, barangkali pemiliknya mencari.

***

Beberapa hari kemudian aku kembali ke pusat kebugaran. Agendanya? Seperti hari-hari sebelumnya; angkat beban, kardio, istirahat, makan lalu pulang. Yah, biasa-biasa saja. Hingga akhirnya ada yang tak biasa-biasa saja.

“Permisi”, datang suara dari arah samping. Sosok gadis berkulit cerah dengan proporsi tubuh agak kurus yang parasnya seperti orang-orang Asia Timur. Pembawaannya sangat lugu. Aku yang masih menyelesaikan squat terdiam sejenak dengan kuda-kuda seperti orang hendak bela diri.

“Eh, iya!”, balasku gugup.

“Kamu yang ketemukan kunci ini kemarin?”, lanjutnya sedikit terbata-bata dengan logat bicara yang terdengar agak asing di telingaku. 

“I, iya. Kemarin saya nemu di pojokan. Punya Kakak, ya?” 

“Iya. Ini punya saya. Terima kasi, ya. Ini sangat penting bagi saya!” lanjutnya bersemangat sambil membungkukkan badan.

“Terima kasi, terima kasi.” Lanjutnya sekali lagi, kali ini hanya menganggukkan kepala.

Gadis itu pun undur diri. Langkahnya menjauh seiring nafasku yang tersengal-sengal. Tanpa sadar mataku mengekor padanya, menyapu pandangan ke tiap langkah yang ia ambil. Ia hanya mondar-mandir di sekitar meja resepsionis dan berbincang dengan salah satu petugas. Entah apa yang mereka bicarakan.

Masih kupandangi gadis itu. Entah apa yang terjadi seolah aku terpikat untuk tetap melihatnya. Dan tanpa diduga ia kembali berjalan ke arahku dengan agak tergesa-gesa. 

“I’m sorry. Kamu sibuk?” 

“Hah, saya? I, iya, kenapa? Eh, enggak, enggak. Aku santai” jawabku gugup.

“Ahhh… santai… Iya, iya. Free time?”

Lucu, pikirku. Sepertinya gadis ini orang asing. Selain logatnya yang aneh, gaya bicaranya pun agak tidak biasa.

“Boleh saya treat coffee?” lanjutnya nampak penuh harap.

“Coffee? For sure!”

Bak cerita di sinetron, saat sepasang gadis dan pria saling berkenalan lalu ngopi bareng. Biasanya setelah ini, mereka akan berteman dan saling akrab, lalu menjadi sepasang kekasih. Atau, ternyata mereka adalah saudara jauh dari leluhur yang sama namun terpisah karena suatu peristiwa yang melanda negerinya. Ah, tapi skenario kedua ini tampaknya tak mungkin. Dari warna kulit dan raut wajah saja aku dan dia jelas-jelas berbeda. Hm, lalu, kira-kira apa ya, yang akan terjadi selanjutnya? Ya sudah, ikuti alur saja.

Sambil ngobrol santai di kedai kopi, kami membicarakan hal yang masih berhubungan dengan kesehatan. Gadis ini, yang ternyata asli Korea, sangat bersemangat saat membicarakan tentang makanan. Baginya, meski harus menjaga pola makan, menu yang bervariasi dan lezat sangatlah penting.

“Saya suka sekali chicken. Ayam. Lalu,... saya juga suka buah naga dan manggo. Tapi manggo banyak sekali gula, jadi saya jarang eat mango” tuturnya penuh semangat dengan campuran Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris.

“Oh, ya”, potongku. “Kamu sekolah di mana?”

“Apa, sekolah? Tidak-tidak, saya tidak sekolah.”

“Oh, kuliah. University?”

“Anni… Tidak…”

“Oh, kamu bekerja.”

“Iya, iya, saya bekerja. Saya…” belum sempat gadis itu melanjutkan, tiba-tiba ponselnya berbunyi dan ia meminta izin untuk menjawabnya terlebih dahulu.

Hm… Kupikir dia masih sekolah. Selain terlihat sangat segar, gayanya juga masih seperti anak-anak. Tapi, aku yakin kalau usianya masih duapuluhan. Kalau kutaksir, ia pindah ke Indonesia 5 tahun lalu, melanjutkan SMA dan lulus kuliah di sini, kemudian bekerja di perusahaan Korea tempat koleganya bekerja. Atau, jangan-jangan ayahnya membuka pabrik di sini dan dia mendapatkan posisi cukup nyaman. Tapi… akh! Rasanya sulit kupercaya kalau dia bukan anak sekolahan!

“Sorry”, potongnya menutup pembicaraan di ponsel. “My daughter… Dia minta mau ketemu papanya”.

“Hah!?” Hatiku terguncang mendengarnya. Putrinya?

“Sorry, sorry. Kamu jadi tidak nyaman.”

“It’s okay.”

“Ya… daughter saya umurnya sudah enam tahun. Saya divorce saat dia masih kindergarten.”

“What!?” pekikku dalam hati. Ternyata dia janda, tapi seperti gadis.

Suasana menjadi agak canggung. Sunyi sejenak. Kami sama-sama menyeruput americano dingin dalam-dalam, saling membuang pandangan. Ia terlihat salah tingkah, pun denganku yang benar-benar kaget mengetahui kalau gadis yang ada di hadapanku ternyata seorang janda. Lebih tepatnya, janda seperti gadis.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.