Batitaku Introvert

Batitaku Introvert

Batitaku Introvert

Izzi namanya, lima belas bulan. Mulai berjalan tiga lima langkah. Tiap bangun pagi dia merangkak ke pintu depan. Berteriak meminta dibukakan pintu.

Sesampainya di teras, biasanya sudah ada dua ekor oyen yang menunggu. Menunggui teras rumah kami tepatnya. Jika itu masih terlalu pagi dan nenek tetangga sebelah rumah masih menyapu, beliau akan menyapanya. "Izzi, ayo main sini."
Gak pakai lama, Izzi langsung balik masuk rumah. Berhenti di ruang depan di dekat pintu. Sebentar kemudian dia keluar mengintip apakah nenek tetangga masih di situ. Sampai tiga kali dia bolak balik keluar masuk. Akhirnya dia menyerah dan memilih masuk rumah karena si nenek tetangga masih di luar.

Jika dia keluar rumah sudah gak terlalu pagi dan gak ada nenek tetangga yang menyapa, dia akan betah berlama-lama bermain dengan oyen, bermain tanaman, atau bahkan merangkak sampai depan rumah tetangga sebelah. Rumah kami berada paling belakang di gang buntu, jadi aman untuk anak-anak bermain di luar.

Mungkin orang dulu mengiranya anak semacam ini pemalu atau penakut. Merasa bahwa ini kekurangan yang harus diperbaiki lalu melakukan berbagai upaya agar anaknya menjadi "berani". Contohlah nenekku. Pada hari Minggu, di masjid ada kegiatan latihan qiroah, baca Qur'an dengan nada. Aku yang punya suara emas bak kaleng Khong Guan diseret, tentu saja malas ikut dan gak mau datang. Di situlah nenek ekstrovert yang gak bisa hidup tanpa ngerumpi gak habis pikir kenapa cucunya gak mau datang dan berkumpul dengan teman-teman sebaya. Waktu itu aku hanya berpikir aku lelah dan ingin bermalas-malasan di depan tivi setelah enam hari sekolah dari pagi sampai Maghrib.

Semakin tua, aku semakin sadar aku gak suka berkumpul dengan orang yang gak benar-benar akrab. Aku lebih memilih bengong di keramaian di antara orang-orang asing, alih-alih mengobrol hal-hal random dengan orang baru. Aku bukan anak penakut. Aku bisa berbicara solo di atas panggung dan kadang jarang, eh sering ding, protes penjelasan guru (murid gak ada akhlak memang). Aku hanya gak suka berbasa-basi dengan orang baru. Bahkan dulu di sekolah, ada waktunya aku akan sedikit menyingkir, diam saja, dan hanya jadi penonton setelah bercanda rame-rame. 

Aku belum tahu istilah ekstrovert, introvert, dan ambivert karena minimnya literasi. Belum lagi anak sekarang punya istilah baru, nolep (no life) dan ansos (anti sosial). Apa pula itu?

Setelah mengenal istilah-istilah itu dari bacaan online, aku jadi gak terlalu khawatir ketika punya anak sekolah TK selama dua tahun gak kenal temannya sama sekali. Tiga abang Izzi juga introvert parah. Kata guru TK mereka, hanya si tengah yang mendingan. Kalau ditanya guru mau menjawab meskipun sedikit.  Abang dan adiknya, boro-boro mau mengobrol dan bermain dengan temannya, ditanya gurunya saja jarang sekali mau menjawab. Sekarang mereka bertiga sudah SD, akhirnya punya teman dan bisa juga disuruh tampil ketika ada acara di sekolah.

Jadi, Zi, gak papa. Sebagai beban bapakmu, kita nikmati saja nolep dan ansos ini. Biar bapakmu saja yang nyari relasi dan koneksi sana sini buat menghidupi kita. Tugas kita cuma rebahan, berdoa, lalu kita habiskan uangnya.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.