Sepotong Kue yang Tersisa Setengahnya dan yang Tak Tersisa Sama Sekali

Apakah ada adab tertentu dalam mengudap sepotong kue?

Sepotong Kue yang Tersisa Setengahnya dan yang Tak Tersisa Sama Sekali
Image by Mikhail Semikin from Pixabay
 
Ini cerita ketika saya sedang menemani seorang fotografer asal Belanda, yang tengah bekerja di Indonesia. Lily, demikian ia kupanggil, mempunyai asal-usul Indonesia juga. Karenanya, ia memiliki kerabat yang tinggal di tanah air kita ini.
 
Pada suatu hari, di antara dua sesi pemotretan, Lily mengajakku mampir ke rumah salah satu kerabatnya.
 
"Kemarin dia berulang tahun,” cerita Lily. “Semalam kami diundang makan-makan di restoran. Lalu, hari ini dia mengundang saya untuk mampir ke rumahnya".
 
Rupanya, ada beberapa hal cukup penting yang hendak mereka bicarakan. Berhubung perjumpaan semalam waktunya terlalu sempit, untuk mereka berbicara secara lebih panjang lebar tentang sejarah leluhur keluarga mereka. Maka, Pak Doddy, kerabat yang semalam berulang tahun itu, mengundang Lily mampir ke rumahnya hari ini.
 
Selesai pemotretan siang itu, dan setelah makan siang cepat-cepat, kami menuju ke rumah Pak Doddy.  Lokasinya di daerah Kebayoran Baru, daerah tempat tinggal keluarga-keluarga affluent. Maka, tak heran ketika masuk ke rumah Pak Doddy hal pertama yang menyambut kami adalah sekuriti. Hal kedua adalah kolam renang, yang biru airnya sungguh mengundang di siang yang teriknya bukan main saat itu.
 
Setelah kami diserah-terimakan dari sekuriti ke asisten rumah tangga, kami diarahkan ke ruang tamu yang berada tepat di sebelah kolam renang. Ruangan yang sederhana dengan perangkat minimalis. Enak juga duduk-duduk sambil memandang kolam renang biru itu.
 
Kami harus menunggu sebentar. Karena, kami tiba tiga puluh menit dari waktu yang disepakati, sementara Pak Doddy dan istrinya masih dalam perjalanan pulang dari bepergian. Tak lama, keduanya datang, dan dengan sigap sang nyonya rumah memerintahkan asisten rumah tangganya untuk mengeluarkan camilan.
 
Keluarlah empat piring kecil. Masing-masing berisi potongan kue tart nan berlapis butter cream dengan warna-warna pastel yang cantik. Dihiasi oleh serpihan-serpihan lembaran tipis emas, yang bertaburan pada butter cream–nya.
 
Eh, iya, beneran lho, bahwa di kue itu ada serpihan- serpihan emasnya! Dalam dunia per-kue-an, disebutnya edible gold. Emas macam begini sudah biasa dipakai dalam dunia kuliner rupanya. Tak hanya untuk kue, tapi juga pada minuman. Tak hanya lembaran yang serpihannya menghiasi kue yang kusebutkan di atas, tapi juga ada yang serbuk. Apakah itu emas asli?
 
Asli sangat! Emas yang dipakai sebagai dekorasi makanan dan minuman, haruslah berkadar antara 22 dan 24 karat. Emas yang bernilai karat dibawah itu sudah terlalu banyak mengandung campuran logam lain, yang berbahaya bila masuk ke dalam tubuh manusia.
 
Lucunya, tubuh manusia sesungguhnya tak dapat mencerna emas. Dengan demikian, emas yang masuk dalam tubuh kita bersama makanan, akan melewati pencernaan kita begitu saja. Lalu, terbawa sampai ke luar dari saluran pembuangan.
 
Sayang ya! Hahaha, padahal unsur emas itu yang membuat harga makanannya menjadi sangat mahal. Mahalnya harga makanan macam kue yang dihiasi emas, membuatnya sangat representatif untuk dihadiahkan kepada seseorang.
 
Kue yang lalu terhidang di rumah kerabat Lily itu, kuduga merupakan kue hadiah ulang tahun buat Pak Doddy. Melihat secara gambling, beliau memang kelasnya di situ.
 
Di tengah pembicaraan yang semakin hangat antara Lily dan Pak Doddy, nyonya rumah mempersilahkan kami untuk menyantap kue yang sudah terhidang. Semua meraih piring kue di hadapannya, dan lalu menyantap kue sambil terus berdiskusi. Yang berdiskusi hanya tiga orang, saya yang tak tahu permasalahannya, makan kue saja. Sambil sesekali mencatat info-info penting yang ada dalam pembicaraan mereka. Barangkali diperlukan.
 
Waduh, kue-nya enak banget lho! Tak terlalu manis. Minuman yang dihidangkan adalah teh Jepang kesukaanku yang pahitnya asik. Wuih, pas banget!
 
Kulihat Lily, Pak Doddy, dan Bu Doddy satu per satu kemudian meletakkan lagi piring kue-nya di meja. Tapi, tidak dalam saat yang bersamaan sih. Pada piring mereka masing- piring masih berisi setengah dari kue yang tadi dihidangkan.
 
Percaya bahwa di satu titik mereka pasti akan mengambil piring itu lagi, dan melanjutkan menyantap si kue, aku terus saja makan kue-ku. Setelah ludes, barulah piring kue kuletakan kembali di meja. Kututup ritual kecilku dengan teh Jepang hangat di dalam cangkir cantik yang seragam dengan piring kue.
 
Ah, nikmat apalagi yang akan kupingkiri, pikirku sambil meletakan cangkir teh dengan bahagia, setelah menyeruput setengah isinya.
 
Lokasi pembicaraan antara Lily dan dua kerabatnya lalu pindah ke bagian lain dari rumah itu. Ada yang perlu diperlihatkan pada Lily, dan yang perlu dipotretnya untuk dokumentasi keluarga besar mereka. Selesai di situ, kami kembali ke ruangan yang dekat dengan kolam renang tadi. Pembicaraan berlanjut sejenak, sebelum kemudian Lily mengajakku untuk melanjutkan perjalanan kami.
 
Sambil berpamitan, aku melirik ke meja di mana piring-piring kecil tadi mencogok. Tiga piring berisi potongan kue separuh, satu piring kosong hanya mewadahi garpu kecil.
 
Duh, mereka bertiga ternyata tak menghabiskan kue-nya! Membuatku bertanya-tanya apakah memang ada etiket tertentu, atau suatu adab khusus, yang mengharuskan atau hanya memperbolehkan kita memakan separuh dari kue yang dihidangkan saja? Sementara sisanya dibiarkan di piring? Aku tak tahu soal itu…
 
"Di antara kita berempat, hanya saya yang menghabiskan kue yang dihidangkan. Kalian bertiga tidak, masing-masing hanya makan setengah," aku berkata pada Lily di perjalanan menuju perjanjian pemotretan kami selanjutnya.
 
"Oh ya? Saya tidak memperhatikan tuh," jawabnya.
 
"Lalu, apa sebab kamu tak menghabiskan kuemu?" aku bertanya.
 
"Sebab, saya merasa perut saya sudah penuh," jawabnya lagi. "Kan sebelum ke situ kita sudah makan siang," katanya mengingatkanku.
 
Duh, iya! Kami sudah makan kan sebelumnya. Ah, dasar, aku aja yang kerakusan ini.
 
Perlu diketahui, bahwa ukuran potongan kue itu tak kecil seperti irisan lapis legit standar. Tingginya sekitar 10-12 cm, atau kalau dalam ukuran antropometri kira-kira sejengkal. Kue itu dipotong miring dengan bagian luar, yang berlapis butter cream, berukuran lebih tebal. Ketebalanny a kita-kira 3 cm. Cukup besar, kan?
 
Ya gimana, kuenya memang enak banget!   =^.^=
 
 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.