Manusia Sia-Sia

Dru merasa kesepian, terkadang tingkat mengeluh lebih besar daripada bersyukur. Dru mungkin lupa saat membuka mata saja, dia diberi anugerah yang luar biasa. Dia tidak tahu di luar sana ada seorang wanita tua yang menangis meraung-raung karena ditinggal suaminya saat dia membuka matanya di pagi buta.
Suara dentuman batu dalam Lorong yang gelap saling bersahutan, Dru menapaki aliran sungai di pingginya. Penasaran dengan cerita orang tentang wanita tua itu membuat Dru seolah menerima pesan yang dia coba sembunyikan tadi siang.
Tiba di sebuah kotak kaleng berukuran 2 x 4 meter. Dinding yang terbuat dari potongan bekas kue lebaran yang dipipihkan dengan warna yang saling bertabrakan membuat Dru diam sesaat.
“Hmm Hai Bu, apa kabar?”
Wanita tua itu bukan menjawab salam Dru, beringsut sedikit ke arah pojok lalu diambilnya mantel coklat bulu yang warnanya sudah bercampur dengan debu dan kotoran.
“Kamu siapa?”
“Hai Bu, apa kabar?”
“Tak perlu kau tanya berulang kabarku. Untuk apa kau kesini?. Aku tak mengenalmu. Kau dengar dari cerita orang-orang tentang miskinnya aku?. Atau kau dengar bahwa aku kehilangan suamiku?”
“Hmm, tidak. Bukan begitu. Aku tak sengaja lewat sini.”
“Kamu sekolah?”
“Iii…iya aku sekolah?”
“Bisa baca?”
“Bisa Bu. Aku bisa baca?”
“Sejak kapan tanda jalan buntu lepas di ujung Lorong?”
Dru sadar, wanita tua ini bukan sembarang wanita tua. Tatap matanya, caranya bicara, dan intonasi yang disampaikan sudah cukup untuk Dru menilainya.
“Maaf Bu. Aku mengganggumu?”
“Tergantung.”
“Maaf, maksudnya bagaimana Bu?”
“Tujuanmu kesini aku tidak tahu. Untuk perempuan muda sepertimu menelusuri Lorong sempit, kotor dan berbau tinja cukup aku acungkan jempol. Tata kramamu boleh juga.”
Wow, beberapa detik Dru terdiam. Dru bingung sedang berbicara dengan siapa saat ini. Saat siang tadi sepanjang jalan membicarakan wanita tua ini, gambaran Dru tentangnya ternyata keliru.
“Lihat deh, hari ini viral banget. Wanita tua sangat mencintai suaminya sehingga tadi pagi saat suaminya akan dimakamkan dia minta untuk bersama suaminya.”
“Minta dikubur juga?”
“Iya, dia tidak bisa hidup sendirian sepertinya.”
“Memang dia tidak punya anak?’
“Yah aku tidak tahu. Beritanya tidak sampai tentang anaknya.”
“Siapa yang videokan saat dia nangis di pemakaman?”
“Tidak tahu juga. Pokonya hari ini video ini viral dan katanya sehari ini sudah banyak orang yang datangi rumahnya untuk sekadar menemani biar tidak sedih ditinggal suaminya.”
Dru perhatikan setiap kata dari anak-anak ini. Tidak diambil pusign oleh Dru. Tidak ingin juga Dru berjumpa dengan wanita di cerita anak-anak dalam angkot jurusan Pasar Minggu – Depok ini.
Namun Dru keliru. Rasa penasaran mengganggu tidur Dru malam ini. Saat dia kesal terhadap Bram, merasa jadi wanita paling bodoh sedunia, wanita yang habiskan waktunya begitu saja, tiba-tiba Dru penasaran dengan cerita yang sempat dia abaikan tadi siang.
“Kamu kalau hanya untuk bengong dan memanggil angin masuk ke tubuhnmu, sebaiknya kamu pulang. Tapi kalau kau ingin temani aku di sini hingga pagi nanti, kau boleh masuk.”
“Aku boleh masuk Bu?”
“Ya,masuklah. Aku melihat kau sedikit berbeda.”
Dru tersenyum, sekejap dia pandang wanita tua ini.
“Namaku Eliz. Usiaku sebentar lagi 65 tahun. Itu kalau aku tak salah hitung. Hahaha.”
Dru bengong. Eliz bercanda dengannya. Tepatnya mengajaknya bercanda. Wow, langkah awal perkenalan yang bagus.
“Bu, kau sendirian di sini?”
“Panggil aku Eliz saja. Tak usah kau panggil aku Ibu. Ibu hanya boleh dipanggil oleh anakku saja.”
“Maaf Bu, Hmm maksudku Eliz. Anakmu dimana?”
“Aku tak punya anak”.
“Hah, aduh kau buat aku pusing Eliz. Kau bilang aku tak boleh panggil Ibu, karena hanya anakmu saja yang boleh memanggilmu Ibu. Sekarang kau bilang kau tak punya anak. Maumu apa Eliz?”
“Kau baru aku bilang begitu saja sudah bingung. Apalagi kalau aku ajak ngobrol yang lain.”
Jam sudah menunjukkan pukul 2 Pagi. Eliz sudah mulai mengantuk. Mata dan kelopak yang penuh dengan keriput sudah mengajakknya menguap berkali-kali. Belum ada obrolan apapun antara aku dan Eliz. Lagipula Eliz mungkin masih berduka, mungkin besok pagi adalah waktu yang tepat aku ajak bicara Eliz.
“Eliz kau sudah mengantuk. Tidurlah. Biar aku yang menjagamu.”
“Kau mau jaga atau jegal aku?”
“Aku jaga kamu Eliz. Aku belum mengantuk, biar aku baca buku-bukumu saja. Boleh?”
“Kau suka baca?. Hei siapa namamu? Aku lupa tanya namamu.”
“Namaku Drew Lavya. Orang lain biasa panggil aku Dru saja.”
“Ya, panggilanku untukmu Ya.”
Eliz tersenyum, berjalan menuju Kasur kasarnya. Diambilnya selembar selimut tipis di sudut lemari. Sedikit berolahraga, lalu Eliz perbaiki posisi bantal dan gulingnya. Ditepuk-tepuk Kasur kasarnya.
“Eliz, kau tidur di atas triplek?”
“Bukan, ini aku lapisi kain-kain tebal. Cukup empuk untuk kita tidur berdua. Kau tidurlah di sini di dekatku!”
“Aku belum ngantuk, sudah kubilang tadi.”
“Kau tidak akan membunuhku bukan?”
“Apa, hei Eliz. Apa alasanku untuk membunuhmu?”
“Entahlah, kau tahu siang tadi ada banyak perempuan muda sepertimu lalu dia buat foto dan video tentangku kemudian mereka buat berantakan isi rumahku dan setelah itu mereka tertawa-tawa sambil mereka telponan.”
“Setelah itu mereka pergi?”
“Kata mereka, mereka akan dapat uang banyak dariku. Jika aku berkenan untuk sedikit menyakiti diriku maka uang mereka akan bertambah banyak dan aku akan mereka buatkan rumah yang bagus.”
“Kau percaya?”
“Entahlah, aku tak jawab apapun terhadap mereka.”
“Tidurlah Eliz. Tujuanku kesini hanya ingin ngobrol denganmu. Kau tampak lelah, istirahatlah. Aku akan menyusulmu nanti.”
Tak sampai satu menit, sudah terdengar suara Eliz mendengkur. Guratan wajah lelah jelas tergambar dari Eliz. Tuhan, aku ini mahluk tak tahu diri. Di depanku seorang wanita tua yang baru saja ditinggal suaminya, sekarang dia hidup sendiri dan dia masih baik-baik saja. Sementara aku, ribut sedikit dengan Bram seolah menjadi wanita paling sengsara sedunia.
Rumah ini, rumah yang sangat tidak layak, sepanjang mata memandang tak lebih dari 3 barang di dalam kotak kaleng ini. Triplek Kasur, lemari yang sudah ditopang batu, kursi yang bagian sandarannya sudah patah.
Dru merasa haus, dari awal Dru injak kaki ini, dia tak melihat ada piring, gelas atau sendok garpu. Dru tak tahu harus kemana mencari minum.
Setelah memastikan Eliz tertidur. Dru kenakan mantel Eliz untuk melindunginya dari angin malam.
“Apa aku bilang. Aku kira kau tak sama dengan anak-anak muda tadi siang. Rupanya sama saja, kau mau ambil hartaku itu?”
“Ya Tuhan, kau belum tidur Eliz?”
“Aku tak tidur, aku mau tahu kau mau apa kemari. Kurang apa sih model manusia seperti kalian?”
“No, Eliz. Aku tak bermaksud ambil mantelmu. Aku haus dan aku tidak temukan air juga gelas di sini. Aku hanya kehausan. Demi Tuhan Eliz, aku tak berniat jahat padamu.”
Nanar kulihat Eliz. Aku merasa berdosa. Kenapa aku tidak bisa tahan sebentar rasa hausku.
“Eliz, are you ok?”
“Aku baik-baik saja. Tak usah kau cakap English, aku mahir cakap English.”
“Sorry Eliz.”
“Kau baca ini!”
Sebuah surat kabar dengan tanggal cetak 21 January 1981.
Headline saat itu berbunyi, “Prakoso Hamid, dinyatakan pailit setelah lima perusahaannya terlilit hutang.”
“Maaf Eliz, aku tak paham. Siapa Prakoso Hamid, ada hubungan denganmu?”
“Dia suamiku. Yang baru saja meninggalkan dunia ini.”
“Oh, maaf aku tak tahu. Sudahlah Eliz jika membuatmu sedih, kau tak perlu cerita.”
“No, aku akan cerita.”
Dru perbaiki duduknya, tepat di depan Eliz, Dru siap dengarkan kisah Eliz dan Prakoso.
“Prakoso adalah pengusaha kaya di sini. Satu hari dia habiskan uang di negaraku. Aku lupa persisnya, yang pasti dia perpanjang masa liburan dia saat dia kenalan denganku.
Entah apa yang menghipnotisku, namun pada waktu yang sangat pendek, aku jatuh cinta.
Prakoso berhasil yakinkan aku untuk memboyongku ke Indonesia. Aku tinggalkan keluargaku, padahal saat itu Ibuku memohon untuk aku tidak pergi.”
Eliz menarik nafas panjang.
“Saat itu aku tak peduli dengan ayah, ibu dan keluargaku. Uang telah membuatku buta. Aku menikah di Indonesia. Dirayakan dengan pesta yang luar biasa. Aku bahagia kala itu. Tapi ada yang hilang, dan aku rasakan setelah bertahun-tahun aku bersamanya.”
“Apa itu Eliz?”
“Tuhan.”
“Kau lupa Tuhanmu?. “
“Iya, aku keterlaluan. Aku lupa bicara dengan Tuhan, aku lupa jalankan kewajibanku dan aku baru menyadari bahwa selama aku menikah dengan Prakoso, aku tak temukan satu helaipun sajadah milik Prakoso.”
“Maaf Eliz, kau muslim?”
“Ya, tentu saja. Memang menurutmu aku seperti berbeda keyakinan denganmu?. Tapi aku bukan muslim yang taat dan herannya aku malah mengalah untuknya. Kita semakin jauh dari Tuhan. Pernah suatu saat aku katakan pada suamiku, bahwa aku kesal di rumah, aku akan ikut tetangga mengunjungi masjid. Kau tahu jawaban suamiku?”
“Apa?”
“Buat apa ke masjid, aku tak ke masjid saja uangku banyak, apalagi kalau ke masjid, tak muat nanti dimasukkan ke rumah.”
Ada genangan air mata yang siap untuk tumpah. Ah aku tak tega teruskan Eliz bercerita.
“Eliz, tidurlah. Kau lelah. Aku janji akan temani kau tidur. Yuk!”
“No, No kau harus dengar. Satu hari aku mendengar tentang satu hal, aku lupa persisnya, hanya isinya kurang lebih begini. Tuhan seolah menaikkan kamu satu tingkat, walau kamu tak beribadah. Padahal ini bukan berkah namun mungkin akan menjadi azab. “
“Itu namanya Istidraj, jika aku tak salah ya Eliz. Aku pun tak terlalu paham, namun kalau aku tak keliru, ini soal kenikmatan yang Tuhan berikan walau kamu jauh dari Tuhan. Kau akan diberi segala kesenangan hingga kau lupa Tuhanmu.”
“iya betul sekali. Dan Tuhan mudah untuk membolak-balik. Hingga satu malam Prakoso dijemput polisi. Aku kaget. Prakoso terlibat Perjudian dengan teman-temannya, Kantor mengalami kerugian karena semua hasil bisnis Prakoso berakhir di meja judi. Aku marah. Aku minta kembali ke rumahku. Namun tak seorangpun mau terima aku. Aku sebatangkara.”
“Apa kau benci Prakoso?”
“Kau tahu, aku memangis bukan aku kehilangan saat dia mati, tapi aku teringat keluarga yang aku tinggalkan karena dia. Aku ingin ikut dimakamkan bukan karena aku cinta berlebihan, aku hanya bingung, bagaimana cara aku melanjutkan hidup.”
“Prakoso kehilangan semua uangnya?”
“Ya, semuanya. Terlebih aku harus menebus dia di penjara. Kami tak punya apa-apa. Setiap hari aku duduk di ujung jalan untuk meminta-minta. Prakoso tak pernah mau pergi, menurutnya, selama ini dia sudah kasih uang banyak untukku, maka sekarang tiba waktuku untuk berbuat sebaliknya.”
“Wow, aku bingung Eliz. Aku bingung harus bicara apa.”
Eliz tak kuasa tahan tangisnya. Kupeluk erat Eliz. Terbata-bata Eliz lanjutkan ceritanya. Aku sudah tak mau dengar sebetulnya, namun Eliz ingin membuat lega hatinya. Dia ceritakan kehidupan saat menikah dengan Prakoso, dia ceritakan sampai pada titik tertinggi dia, semua barang bisa dia beli dengan jentikan jari, namun uang bukan segalanya. Eliz tersadar bahwa selama ini dia hanya mendapatkan hal semu. Eliz tidak berbahagia, sejak menikah dengan Prakoso, gelas di dapurnya lebih sering ia isi dengan tangis daripada teh manis.
“Dru sayang, entahlah aku merasa yakin kamu anak yang baik. Dan kau tahu, ini adalah pelukan pertama yang kudapat setelah aku pergi meninggalkan keluargu dulu.”
“Ya Tuhan Eliz, kau tak pernah dipeluk dia?. Maaf aku lancang.”
“Iya aku lupa rasanga dipeluk, aku lupa rasanya saling menghargai, aku lupa rasanya saling mencintai dan aku lupa pada Tuhan yang beriku anugerah.”
Eliz semakin kuat memelukku. Pelukan ini seperti pelukan Ibuku saat Ibu terlalu bahagia atau saat Ibu merasa butuh perlindungan.
Ya Tuhan, tiba-tiba aku menyayangi Eliz. Perjalanan Eliz di dunia, yang membuat mata orang lain iri rupanya menyayat hati Eliz dengan dalam.
“Satu hari aku pernah berdoa agar Prakoso segera mati. Aku ingin mencari bahagiaku sendiri.”
“Dan Tuhan kabulkan?”
“Iya tapi terlambat.”
“No Eliz ini adalah saat yang paling tepat. Jika saja dulu Tuhan kau kabulkan mungkin kau tidak akan memelukku seerat ini.”
Eliz semakin erat memelukku, tangisnya pecah, suaranya hampir saja melolong seiring dengan emosi yang dia keluarkan. Kuusap kepala Eliz, kupeluk lebih erat lagi, dan aku meyakinkan Eliz bahwa semua akan baik-baik saja.
“Dru, kau masih muda dan aku yakin kau belum menikah. Baik-baik kau dengan Tuhanmu. Jangan kau debat Tuhan apapun caranya. Baik-baik kau dengan Ayah Ibumu, jangan kau bantah walaupun sedikit. Percayalah Dru tak ada yang dapat menyelematkanmu selain Tuhan dan tak ada yang membahagiakanmu selain ayah, ibu dan keluargamu sendiri.”
“Hmm maaf Eliz. Apakah itu berlaku untuk semua orang yang berpasangan?. Jika seandaikan pasanganku kelak orang yang baik, bukankah aku akan bahagia?”
“Tolong kau pejamkan matamu, tutup sebentar telingamu dan kau panggil Tuhan serta alunkan beberapa ayat Al-Quran hingga jelas terdengar olehmu. Kau coba Dru, lalu kau bayangkan semua orang yang mencintaimu.”
Tiba-tiba kepalaku pusing, terlalu banyak bayangan yang berebut ingin menjadi bagian dari yang aku pikirkan selama ini. Aku panggil Tuhan, aku ingin bicara, aku ingin memohon ampun namun dadaku rasanya sesak. Kutambah dengan panggil Ayah dan Ibu, jantungku berdegup kencang.
Ya Tuhan apa, aku akan mati?
Semakin pusing, semua memoryku seolah berlari satu persatu. Aku terduduk lemas.
“Dru, apa yang kau rasakan?”
“Aku tidak tahu Eliz. Aku pusing. Mungkin karena aku lapar dan haus.”
“Kau berkeringat seperti itu. Kau paksa otakmu berpikir. Aku sekarang tahu tujuanmu kesini.”
Kami bertatapan, Eliz tersenyum dengan sangat manis. Dia hapus keringatku dengan tangannya yang kasar namun menyisakan keindahan.
“Dru, aku tak akan melarang pikiran masa depanmu. Namun petiklah pesan dari kehidupanku. Kau yang mengetahui kebahagiaanmu sendiri. Bersyukurlah atas apapun yang Tuhan berikan.”
“Aku bersyukur Eliz. Aku selalu bersyukur.”
“Lalu untuk apa kau datang kemari. Aku tak mengenalmu. Kau hanya penasaran dengan kisah cintaku bukan?”
“Ah Eliz. Aku jadi malu. Iya aku penasaran dengan kekuatan cinta yang mereka ceritakan, aku ingin sepertimu, yang selalu ingin sehidup semati dengan pasanganmu. Ternyata mereka keliru.”
“Dru, kau punya nurani, kau punya naluri. Ajak mereka bicara tentang pasanganmu. Jangan kau debat jika kau yakin dia bukan untukmu. Semua mahluk berbeda. Tapi ketahuilah, mempersatukan yang kau anggap sama lebih mudah dibandingkan mempersatukan yang jelas berbeda. Dulu kuanggap semua akan baik-baik saja. Toh Prakoso sangat mencintaiku. Rupanya itu hanya cangkang. Semua berubah saat aku tatap matanya, aku rasa hatinya, dan aku libatkan Tuhan dalam setiap perjalananku.”
“Tapi bertahun kau bersamanya kau sabar sekali Eliz. Jika kau tak bahagia kenapa kau bisa selama itu. Padahal kau tinggal pergi saja dari dia.”
“Tidak semudah itu, dia kasar. Kau perlu tahu, aku bisa bernafas lega saja aku bersyukur. Karena didekatnya selalu saja salah, mungkin aku kedipkan mata saja buat dia adalah kesalahan. Baginya kehadiranku hanya bikin hidupnya susah.”
Aku cerna setiap kata dari Eliz. Ini bukan kebetulan. Tuhan izinkan aku datang ke sini bukan kebetulan tapi pasti punya makna.
Aku masih bekerja. Aku masih punya cinta. Aku masih dapat menjalankan kehidupanku dengan layak. Aku yang picik. Aku lupa juga dengan Tuhan. Aku sudah lama tak mengingat Tuhan, aku sibuk dengan kebahagian yang seolah tak pernah datang.
Mataku masih bisa melihat, nafasku masih menjadi milikku, semua gerakan di hari ini masih baik-baik saja. Ya Allah Ya Tuhan, terima kasih untuk segala hal yang kau beri. Aku malu padamu Tuhan.
Terlalu sibuk puaskan diri. Terlalu sedih karena ulah Bram. Terlalu rendah caraku menilai orang.
“Dru sayang, tak ada manusia yang sempurna. Biarlah yang sudah. Kau jangan salahkan dirimu.”
“Eliz, kau tak berbahagia dan kau bicara tentang sempurna?”
“Hei kau salah sayang, aku bahagia. Aku sangat berbahagia, perjalanan hidupku sangat berwarna hingga aku bisa bercerita banyak soal kehidupan padamu.”
“Tapi kau miskin Eliz, kau tinggal di ujung Lorong kotor yang berbau tinja, kau makan harus meminta-minta, kau kerap tersiksa dengan pernikahanmu, kenapa kau tak akui kalau kau tersiksa karena ulan Prakoso.”
“Sssst, dia sudah tak ada. Dulu aku tak berbahagia, aku debat hatiku sendiri karena aku berharap Prakoso berubah. Sekarang ada kamu. Aku tahu kau akan terus mengunjungiku sama seperti kau kunjungi nisan Ibumu setiap saat.”
Tangisku pecah. Di sisa hidup Eliz yang kerap mendapatkan perlakuan tak layak masih bisa sebut bahagia karena ada aku.
Apa Tuhan mengutusku untuk bahagiakan Eliz sekaligus menyentilku?
“Berapa lama kau tak cuci badan dan bajumu?”
“Entahlah Dru. Aku lupa. Kau cium aku tak enak ya?”
“Iya, aku tak bohong. Badanmu bau, bajumu kotor, rumah kalengmu aneh sekali. Kasihan sekali kamu Eliz.” Aku tersenyum pada Eliz.
“Hahaha, kau ini Dru. Sekarang, kau tetap akan biarkan aku di sini?”
“Tidak Eliz, aku bukan Prakoso. Yuk, ikut aku. Kita sama-sama perbaiki diri dan hidup kita, Tuhan masih izinkan aku bertemu kamu. Aku berdosa jika kubiarkan seorang wanita tua meregang nyawa di sini, sendirian, kotor dan bau sementara tempat tinggalku masih bisa untuk menampung 10 wanita tua sepertimu.”
Kami tertawa lepas. Tuhan baik sekali. Tak semua orang bisa seperti Eliz. Satu malam ini membuatku berbeda.
Semua orang selalu berdoa ingin selalu bersama pasangannya. Eliz berdoa sebaliknya. Ketidakkuasaan Eliz lepas dari Prakoso membuatnya tersiksa. Eliz andalkan Tuhan. Dan hari ini adalah waktu terbaiknya.
Cara Tuhan selalu berbeda-beda. Mungkin saja pikiranku salah kali ini.
Eliz dan aku adalah sebaris cerita di dunia. Tak ada satu manusiapun yang ingin terpuruk, Tuhan sudah berikan tanda, namun sayang banyak manusia abaikan itu.
Kali ini aku mau akhir ceritaku sempurna. Setidaknya menurutku dan nuraniku.
#bandung, 21 01 2021
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.