Eyang Kakung

Sepenggal catatan sejarah tentang ayah dari Ibu saya. Kakek yang tidak sempat saya temui kehadiran fisiknya.

Eyang Kakung

Dalêm kapang, Eyang. 
Saya kangen.

Eyang Kakung, Sapardi Hadiwasito. Kiri. 
Tak pernah sempat kucium punggung tanganmu. 
Tak pernah kurasakan elusan lembut asta-mu di rambut ikalku saat aku kanak-kanak.

Aku lah cucu sulung dari putri sulungmu, Eyang. 
Punika dalem, wayahipun Eyang ingkang pambajeng.

Eyang Hadi, demikian beliau sering disapa. Sepotong kenangan saya tentang beliau hanya terwakili oleh satu-satunya foto yang kami punya. Puluhan kisah hanya sepenggal-sepenggal kudengar dari Ibu. Ibuku pun hanya bisa membayangkan samar-samar wajah Eyang Kakung, sebab ketika Ibu usia TK, Eyang Kakung 'kapundhut' di usianya yang belum menyentuh 60 tahun pada tahun 1950. Diperkirakan, Eyang Sapardi Hadiwasito lahir pada 1895.

Eyang pernah menjadi guru Sekolah Dasar (saat itu namanya Volkschool) di Kragan, Rembang. Lalu bertugas sebagai pegawai negeri di Kabupaten Jepara (beberapa tahun sebelum kemerdekaan hingga beliau sedã). Diperkirakan pada saat itu, Bupati Jepara adalah R.A.A. Soemitro Koesoemo Oetoyo atau Raden Soyoto Sastro Wardoyo.

Dimakamkan di areal pemakaman "Makam Gedong Kanjeng Pangeran Adipati Tjitrosoma II Bapangan Jepara". Sebuah areal pemakaman kuno yang sudah ada sejak tahun 1700-an (Adipati Tjitrosoma II wafat pada 1738).

Pada tahun 1985, 35 tahun kemudian, Eyang Putri menyusul, dan dimakamkan bersisihan dengan peristirahatan terakhir Eyang Kakung.

Saat menikahi Eyang Putri, 1945, Eyang Kakung berusia 50 tahun (duda mati tanpa putra-putri), sedangkan Eyang Putri berusia 36 tahun (janda mati dengan 4 orang putra-putri). Eyang Kakung bertugas sebagai seorang Sinder Pasar di Bangsri Jepara (sekarang mungkin semacam Dipenda/Dinas Pendapatan Daerah). Karenanya, Eyang Putri sering disebut dengan julukan 'Bu Sinder'.

1946, lahirlah keturunan pertama dari R. Sapardi Hadiwasito. Bayi mungil yang sangat didamba oleh Eyang Kakung di usia lebih dari 50 tahun: seorang perempuan yang menurunkan mitokondria kepada saya. Ibu. Bagai wahyu yang diterima oleh seorang ksatria. Pemahaman Jawa tentang 'Satriya pinandhita sinisihan wahyu' (ksatria yang sudah melakoni kepanditaan yang bersanding dengan wahyu dari Yang Maha Kuasa) rasanya sangat akrab dengan Eyang Kakung. Pinandhita, karena 'yuswa' Eyang Kakung yang sudah berada di 'sandyakala'. Maka, Ibu pun lantas diberi nama oleh Eyang Kakung dengan nama yang sangat Jawa, dan mengandung kata 'wahyu'.

Kelahiran Ibu ditandai dengan terbitnya mata uang baru Indonesia. Oktober 1946. Eyang Putri ngendikan kepada Ibu bahwa kelahiran Ibu bertepatan denfan "metune dhuwit rupiah anyar". 

Dari kecamatan Bangsri, Eyang Kakung kemudian dipindahkan ke Kabupaten Kota Jepara, bertugas di bagian keuangan. Dulu namanya 'kantor otonom'. Lokasi kantornya berada di sebelah Utara Apotek Abdi (Jalan Kartini). Eyang Kakung pernah juga berkantor di gedung PUK (Pekerjaan Umum Kabupaten). Masa kecil Ibu dan dua adiknya yang lahir berurutan setelah tahun 1946 sebelum wafatnya Eyang Kakung dihabiskan di sebuah rumah di Jalan Kartini yang kelak kemudian hari rumah tersebut menjadi toko bernama "Niki Sami". 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.