Malam sudah mencapai pukul delapan lewat. Ibu-ibu kampung Arakan sebagian masih berkumpul di bale mPok Udah, bahkan sepertinya malah semakin banyak saja. Suaranya ramai, terdengar sampai ke dalam rumah mungilku, yang berada tepat di sebelah warung mPok Udah, di mana balai-balai alias bale itu berada.
Ramai riuh rendah suara ibu-ibu itu, sungguh meng-intrik-ku untuk keluar dan bergabung. Kepo juga untuk tahu tentang segala current affair di kampung kami, yang sepertinya sedang di-updating oleh para ibu-ibu. Apalagi, buat aku yang orang baru di kampung itu, sambil mendengar segala berita kabar kampung bisa makin, bisa segera updated tentang situasi baik yang teranyar mapun yang sudah basi…
"Eeeh, si Ibu keluar lagi,” kata Bude Nur yang aslinya dari Yogyakarta tapi bersuamikan lelaki asal Lampung.
Tentu saja, maksudnya adalah aku. Ya, tadi sebelum Magrib tiba, aku pamit. Mau mandi, dan melanjutkan pemberesan rumah yang masih terlihat sekali bahwa baru pindahan.
"Iya, hahaha, rame banget sih, jadi keluar nih, habisnya pengen tahu," jawabku terus terang—apalagi toh jadinya habis mandi tadi aku hanya goleran di kasur.
Bergulirlah cerita-cerita yang sudah berkembang dengan segala bumbu-bumbu dan rempah-rempahnya, sehingga sudah tak lagi merupakan berita tapi lebih tepat sudah menjadi gosip. Beberapa cerita menjadi tak dapat kupahami karenanya, atau malah mungkin karena kurangnya imajinasi si pencerita. Beberapa mungkin karena tak kronologis. Apapun itu, aku menikmati saat mendengarkannya. Lucu, seru, hangat.
Sedang seru begitu, tiba-tiba kusadari bahwa di antara para ibu-ibu, mencogok di pojokan seorang anak laki-laki. Kuperkirakan ia berusia sekitar 10-11 tahun. Sudah sering memang ia kulihat berada di sekitaran daerah ini. Bermain sepeda atau duduk-duduk di bale. Tapi, biasanya ia bersama anak-anak lain yang seusianya.
"Ini anaknya siapa ya?" tanyaku pada khalayak, terserah siapapun yang berkenan menjawab.
"Oh itu si Ali," satu ibu menyahut rada salah fokus, sambil terus saja mengoceh pada ibu di sebelahnya.
"Anaknya si Ilen nih," imbuhan ibu yang lain lagi, yang lebih menjawab pertanyaanku.
Obyek pembicaraan pun beralih ke si Ali yang wajahnya poker face saja. Rupanya, Ali sedang dihukum alias disetrap oleh ibunya. Dengan cara, pintu rumah dikunci sehingga Ali tak bisa masuk ke dalam rumah mereka.
Apa pasal?
"Dia memaki ibunya, 'anjing!' di depan orang-orang," timpal mPok Udah yang sedang mengiris wortel di bale, bahan pembuat lontong.
Semua ibu-ibu di bale lalu urunan kata dan nasehat untuk Ali. Termasuk saya, tentunya, yang memakai pengetahuan saya yang tipis tentang agama.
"Surga itu kan berada di bawah telapak kaki ibu. Kalau durhaka pada ibu, gimana tuh," kataku belagu.
"Ya jadi nggak ada deh tu surga," kata Kokom yang suaranya selalu tinggi melengking.
"Ada ya tetap ada," jawabku serius sambil sedikit mengelus kupingku, karena mulutnya Kokom pas betul sejajar dengan kuping kiriku.
"Lah, dia durhaka gitu, gimana masuknya?" Kokom melengking lagi.
"Pintunya aja yang kekonci, tapi koncinya nggak ada," sahutku yang agak berhasil menjauhkan kupingku dari mulut Kokom.
Ini memang jadi pembicaraan absurd di bale. Tapi, sesungguhnya, aku agak heran juga bahwa ada kasus seperti itu. Karena, anak-anak di daerah ini tak pernah terdengar memaki dengan sangat kasar seperti itu. Sedikit ada kata yang rada kasar, pasti ada saja ibu-ibu yang berteriak memarahi, atau me-ngepret si anak dengan sandal. Biarpun ia bukan ibu kandung dari si anak tersebut.
Saya sangat kagum lho, bahwa para ibu di sini juga menjaga anak-anak yang bukan anak-anak mereka sendiri. Ungkapan it takes a village to raise a child sungguh berlaku di sini.
Aku beberapa kali mendengar anak-anak berseru ‘anjay’ kepada sesamanya, sambil tertawa-tawa tanpa ada yang protes. Kata itu menurutku adalah plesetan dari kata ‘anjing’. Tapi, para ibu tak paham, jadi tak ada yang teriak. Anak-anak itu juga mungkin tak paham, karena biasanya kata ‘anjay’ lebih bermakna memuji kehebatan seseorang.
Lain hal kalau ada yang berteriang ‘anjrid’. Karena, para ibu tahu bahwa kata itu merupakan plesetan dari makian ‘anjing’ juga. Artinya, bila kata ‘anjrid’ berbunyi, kepretan sandal bisa dipastikan akan terjadi.
Dari mana anak-anak itu tahu soal kata ‘anjay’? Sepertinya, dari para remaja di kampung Arakan juga, yang kuduga mendapatkannya dari teman-teman sekolahnya. Sementara, dari mana Ali belajar memaki dengan kata 'anjing', cukup mengherankan buatku.
"Ya bagaimana, habis orang tuanya juga gitu sih," tiba-tiba mPok Pitri—nama aslinya Fitri—seperti menjawab keherananku.
"Maksudnya?" tanyaku yang diam-diam menuntut penjelasan.
"Ibu dan bapaknya kalau berantem kan saling memaki pakai kata itu," ucap mPok Pitri lagi.
"Waduh," gumamku sambil memandang Ali yang tetap poker face meski dikerubuti ibu-ibu.
"Anak-anak kan belajar dari orang tuanya," imbuh mpok Pitri lagi.
Benar sekali, mPok. Akhirnya, aku tak lagi ikut urun kata soal kelakuan si Ali.
“Teh daon donk satu, mpok,” kataku pada mPok Udah, mengalihkan pikiran.
“Bikin sendiri, sana! Kayak orang baru aja. Noh, ada aer panas di termos,” jawabnya tanpa nengok.
Aku nyengir. Lalu, beranjak ke dapur mPok Udah untuk bikin teh, tapi yang celup saja. Malam di bale sambil bergosip memang enak dinikmati dengan teh. Teh daun atau teh celup, tak jadi soal. =^.^=