Anyang-anyangan Si Alan
Semua orang suka bermain! Dari permainan tradisional sampai kekinian. Permainan tradisional anyang-anyangan dari Jawa Barat salah satunya. Permainan ini sarat manfaat. Seperti bermain drama kehidupan menggunakan miniatur atau maket buatan. Jadi pedagang, guru, desain grafis, dan analis keuangan menggunakan tanah, kertas, kotak bekas, kain perca, dan lainnya. Empat orang sahabat: Alan, Rina, Maya, dan Nita memainkannya sejak kecil. Mereka memerankan tokoh-tokoh yang menginspirasi karirnya masing-masing di masa depan.

Langit Cimahi Selatan siang itu sangat terik. Terlihat cerah, biru tanpa awan. Matahari bersinar sangat terang, dan sinarnya memancar seolah tak ada lagi lapisan pelindung bumi. Cahaya matahari terasa panas di kulit, udara pun terasa kering. Cijerah tak lagi sejuk seperti dulu. Wilayah dekat Bandung ini sekarang entah mengapa cenderung gersang. Atau hanya perasaan Alan saja? Alan berpikir akan lebih nyaman untuk segera mencari tempat teduh daripada berlindung dengan topi dan kacamata hitam menunggu yang lain datang?
Masuk Borma. Alan mencium aroma nostalgia sesaat setelah masuk toserba legenda. Untuknya bersama tiga temannya, Rina, Maya, dan Nita. Sekian lama tak bertemu, ada rindu. Momen lebaran ini mereka berencana meluangkan waktu. Pulang kampung!
Rina, sudah jadi guru SD di BSD. Empat belas tahun sejak 2010 betah mengajar di sebuah sekolah swasta yang cukup punya nama. Sepertinya keberuntungan selalu mengikuti Rina. Setahun setelah dia menerima sertifikasi program pemerintah, dia diangkat jadi Wakil Kepala Sekolah. Lanjut membeli rumah, lalu menikah dengan suaminya yang pengusaha. Tahun ini, semoga programnya untuk mempunyai bayi jadi keberuntungan berikutnya.
Lima tahun terakhir, Maya beralih profesi menjadi desain grafis. Dulu, ia sempat jadi guru. Mengajar SMK Tata Busana. Kini, ia bekerja di majalah mode dan kecantikan terkenal di Jakarta. Maya jago membuat beragam iklan, katalog, dan materi visual untuk promosi perusahaannya. Alan jadi penasaran, Maya sekarang apakah akan lebih modis dan stylish dibanding dulu?
Alan mengambil troli. Ia sebenarnya tak berniat belanja. Tapi mendorong troli sambil melihat barisan barang di kanan kiri akan meyakinkan seolah-olah jadi pembeli. Sementara itu, telepon genggamnya berbunyi. Ada pesan dari Nita. Ternyata Nita sudah berada di seberang Toserba Borma. Alan membalas dengan mengajaknya masuk dan menunggunya di samping kasir.
Nita melambaikan tangan setelah pintu otomatis terbuka. Alan dan Nita berpelukan. Lama tak bersua, Nita yang sekarang lebih berisi dan terlihat bertubuh seksi. Nita cerita bekerja sebagai analis keuangan di Medan. Sudah sewindu ia ikut suami yang bekerja jadi pegawai negeri. Nita antusias menceritakan tugasnya mempelajari laporan, neraca, arus kas, dan data lainnya untuk menilai kesehatan keuangan perusahaannya. Tentunya dengan bahasa yang sederhana. Kalau tidak, bisa bingung Alan dibuatnya.
Tak perlu menunggu berapa lama, Rina dan Maya pun datang. Kini mereka semua sedang mengelilingi meja di restoran samping Borma. Kenangan demi kenangan pun terlontar dari ucapan mereka. Sejak SD mereka sudah bersama. Dengan usia yang sebaya, mereka bebas menyampaikan apa saja. Kadang dengan mimik serius, atau gelak tawa yang berderai di sela cerita.
Dulu mereka tinggal berdekatan. Rumah Maya dan Alan berdempetan. Sementara Nita satu gang di belakang. Rina beda komplek tapi masih saudaraan dengan Maya, jadi sering main bersama. Tak heran, masa kecil mereka sering saling mengunjungi rumah masing-masing.
Seperti persahabatan pada umumnya, pernah juga ada kesalahpahaman dan pertengkaran yang terjadi. Tetapi mereka saling melengkapi, saling mengingatkan, minta maaf, dan kembali bersahabat. Dan Alan, sering menjadi penengah di antara mereka. Walaupun laki-laki satu-satunya, tapi ia tak pernah merasa berbeda. Ia selalu merasa diterima, didengar celotehannya, dan dihargai sebagai teman istimewa. Ya, Alan istimewa. Ia seorang indigo. Katanya orang indigo punya ketajaman indra keenam. Alan bisa melihat sesuatu yang belum terjadi atau bisa melihat masa lalu dan bisa melihat makhluk halus yang tidak tertangkap oleh indera penglihatan biasa.
Ada satu kisah mereka yang unik. Cerita ini berkaitan dengan doa yang keluar dari kata-kata. Kata-kata yang terucap saat bermain. Permainan orang Sunda, anyang-anyangan namanya. Waktu kecil, Alan sering mengajak mereka bermain anyang-anyangan ini dan mereka suka. Mereka bebas berperan sebagai apa dan melakukan apa. Seperti bermain drama menggunakan miniatur dan maket. Bahannya bisa dari tanah, kertas, kotak bekas, kain perca, dan lainnya. Ajaibnya, sering mereka memerankan pekerjaan yang mereka geluti saat dewasa sekarang ini. Luar biasa, kan!
Tiba-tiba, Nita punya ide. Mereka pun memutuskan bernostalgia dengan jalan-jalan ke komplek perumahan mereka yang dulu jadi tempat bermain anyang-anyangan.
Saat berjalan, mereka melihat masih ada tanah liat yang pernah mereka pakai untuk membuat perabotan kecil-kecilan seperti meja, kursi, atau lemari.
"Eh, inget gak dulu kita sering main masak-masakan di sini?" tanya Maya sambil melihat sekeliling. "Iya, inget banget! Kita bikin masakan dari rerumputan sama daun-daun," jawab Rina sambil senyum-senyum. "Dan uang kita dulu dari dedaunan, hahaha!" tambah Nita sambil terkekeh.
Mereka tertawa mengingat serunya permainan itu dulu. Rina, sebagai guru, sempat merenung ada bagusnya permainan anyang-anyangan dalam hidup anak-anak. "Wah, sekarang aku bisa ngajarin murid-murid di sekolah tentang mainan tradisional kayak gini," kata Rina bersemangat.
Maya mengangguk setuju, "Bener tuh. Ini bikin anak-anak kreatif banget, gak cuma duduk di depan gadget." "Iya, lho. Seru banget momen-momen kayak gini," timpal Nita serius.
Mereka berhenti di sebuah tempat yang dulunya adalah lapangan tempat mereka main anyang-anyangan. Mereka menghabiskan lebih banyak waktu di sana, berbagi cerita tentang masa kecil dan mengaitkannya dengan pengalaman karir mereka sekarang.
Saat ngobrol, mereka mendengar suara gemerisik di semak-semak. Mereka saling memandang dengan rasa penasaran dan sedikit cemas. "Eh, kalian dengar gak itu?" bisik Maya khawatir. "Iya, kayak ada suara di semak-semak," jawab Nita sambil berdiri dan melihat ke arah sumber suara.
Rina mengikuti pandangan Nita dan berusaha melihat lebih jelas. Tiba-tiba, mereka melihat kilatan cahaya kecil di semak-semak, seperti ada sesuatu yang memantul. "Eh, itu apa?" tanya Rina sambil melangkah mendekat.
Ketika mereka mendekat, cahaya tersebut seperti lenyap, dan mereka menemukan sebuah kotak kecil yang terkubur di tanah. Dengan hati-hati, Alan mengambil kotak itu dan membukanya.
Di dalam kotak, mereka menemukan boneka kertas tua. Boneka itu mirip dengan boneka yang pernah mereka buat saat masih kecil. "Ini mirip banget sama boneka yang pernah kita mainin dulu!" seru Maya dengan heran. Nita mengangguk, "Iya, persis banget. Kayak boneka ini muncul dari masa lalu kita."
Ketika mereka melihat lebih dekat, mereka menemukan sebuah catatan di dalam kotak. Catatan itu berisi pesan tentang persahabatan dan kenangan masa kecil mereka. Seperti merasa terhubung lagi dengan masa kecil, mereka tersenyum-senyum sendiri.
Namun, saat membuka lipatan lain dalam catatan itu, Alan mendadak marah. Pesan di catatan itu bicara tentang seseorang yang ingin merusak persahabatan mereka di masa lalu. Alan merasa emosi karena teringat seperti ada yang tak suka dengan mereka saat itu.
"Siapa yang nulis catatan ini? Kenapa harus nyeritain hal-hal yang gak enak kayak gini?" seru Alan dengan nada marah. Maya dan Nita ikut membaca catatan itu dan wajah mereka berubah murung. "Kenapa harus ada orang yang ingin rusak persahabatan kita?" tanya Nita geram.
Mereka mengingat kembali kenangan tentang seseorang yang sengaja menulis catatan itu untuk mengganggu persahabatan mereka. Meskipun mereka terbawa rasa kecewa, mereka berpikir bahwa itu hanya masa lalu dan tidak membiarkannya merusak kebersamaan mereka.
Saat mereka mulai melangkah pergi, tiba-tiba seorang wanita tua muncul dari belakang. "Kalian akhirnya kembali," katanya dengan suara lembut tapi penuh makna. Empat sahabat itu terkejut melihat wanita tua yang muncul secara tiba-tiba.
"Maaf, Ibu siapa?" tanya Maya dengan hati-hati.
"Saya yang menjaga boneka-boneka itu. Boneka-boneka kertas yang kalian buat saat kecil sebenarnya memiliki kekuatan khusus. Mereka menjaga persahabatan kalian tetap kuat. Pesan di dalam catatan itu bukan dari seseorang yang ingin merusak persahabatan kalian, tetapi dari boneka-boneka itu sendiri," jelas wanita tua itu.
Alan, Maya, Rina, dan Nita terkejut mendengar kata-katanya. Wanita tua itu melanjutkan, "Mereka ingin memperingatkan kalian bahwa persahabatan kalian adalah harta yang harus dijaga. Masa lalu mungkin memiliki kenangan yang buruk, tetapi kalian bisa mengatasinya dengan bersama-sama."
Setelah wanita tua itu bicara, ia pun pergi, meninggalkan empat sahabat itu dalam keheningan. Malam itu, mereka pulang ke rumah masing-masing, membawa kenangan tentang masa kecil, serta misteri dan pelajaran berharga dari boneka kertas dan wanita tua. Mereka tahu bahwa persahabatan mereka akan terus berlanjut dan tumbuh lebih kuat.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.