Warta Membawa Petaka (I)

Upaya memberitakan krisis perubahan iklim secara objektif

Warta Membawa Petaka (I)
Image by <a

 

 

“Pamit ya Ma…” kata Rina sembari memeluk dan mencium pipi Bu Prapto yang keriput.

“Hati-hati ya, jangan lari-lari. Jangan beli gorengan, makan gado-gado saja…” Bu Prapto langsung nyerocos.

Rina bergegas menuju Stasiun KRL  Jurangmangu Tangerang Selatan pagi itu. Selama masa pandemi, baru kali ini Rina menggunakan KRL lagi. Sebenarnya hatinya masih agak ragu menggunakan moda transportasi ekonomis ini. Betapa tidak? Penumpang yang berjubel dan sirkulasi udara yang kurang bagus menyebabkan resiko tertular virus COVID-19 cukup besar. Meski pun demikian Rina tetap memilih menggunakan moda transportasi publik ini. Bukan hanya karena lebih murah, tetapi karena Rina ingin ikut mengurangi emisi karbon.  Lagi pula, Rina setengah percaya dengan pemberitaan media bahwa selama pandemi, KRL menerapkan prokes ketat, termasuk membatasi jumlah penumpang dalam gerbong.

Ting-tong-teng-tong, suara khas pengumuman mengenai kedatangan KRL menyambut Rina di stasiun. “Masuk di Jalur Satu KRL Commuter Line dari Parung Panjang menuju Stasiun Tanah Abang…”

Rina berlari menuju peron, tap e-money, gate terbuka dan kakinya yang berbalut jeans dengan sepatu sneaker kekinian, sudah siap melompat, tetapi tangan petugas bermasker dengan sigap menghentikan langkahnya.

  “Mohon maaf Mbak, cek temperature dulu,” katanya dengan sopan tapi tegas. 

 “ Itu kereta saya Mbak… saya bisa terlambat nanti,” protes Rina dengan suara tinggi.

Petugas itu bergeming thermometer gun diarahkan ke  dahi Rina.

 “Tiga puluh enam koma dua,” katanya datar.  Rina segera melepaskan diri dan sampai di peron 15 detik sebelum pintu kereta ditutup.

Dengan nafas ngos-ngosan, Rina, editor junior di majalah berita Titian, memasuki gerbong dan menarik nafas panjang saat dirinya berhasil duduk di kursi kosong. Hatinya senang. Dari sudut matanya Rina melihat, bahwa penumpang tidak sepadat biasanya. Ada jarak antar penumpang dan semua mengenakan masker. Entah mengapa hatinya membuncah. Rasa bangga atas KRL memenuhi hatinya. Transportasi ini telah menolongnya mengarungi lautan kemacetan Jakarta, harganya terjangkau, bersih, dan memberikan rasa aman  pada saat pandemi. Rina juga merasa berkontribusi pada pengurangan emisi karbon dengan menggunakan moda transportasi publik ini.

Rrrrt…. Rrrrtt…, getar telpon pintar dari dalam ransel merenggut kegembiraan Rina. Hampir pasti dari kantor.

 “Rina, pertemuan kita jam 9.00 tepat ya jangan lupa,” terbaca pesan dari Mbak Ati, manajer Human Resource Developmen (HRD) di majalah Titian

 Wajah Rina berubah menjadi masam. Sudah beberapa hari Mbak Ati mengejar-ngejar Rina.

“Penting, perintah Pemred,” tegas Mbak Ati.

“Ada apa ya Mbak? Kok tumben…” tanya Rina dengan was-was.

“Makanya Rina saya panggil. Jadwalkan ya besok?," lanjut Ati dengan nada menekan.

“Saya ada tugas liputan di Cirebon Mbak, pasti seharian," jawab Rina dengan suara perlahan

“Ya sudah Kamis ya jam 9 pagi. Ingat ini prioritas. Tunda tugas lain,” tutup Ati.

Tetapi kembali Rina tidak bisa bertemu Ati, karena mendadak, ia harus mengantar ibunya untuk operasi katarak.

 “Maaf Mbak, saya harus mengantar Ibu, adik saya tiba-tiba dipanggil dosen pembimbingnya..” lapor Rina Rabu malam  melalui whatsapp.

“Senin pagi, dan tidak bisa ditunda !!” singkat, jawaban dari Ati. Dan sekarang, Senin, jam 08.43, Ati sudah mengingatkannya  lagi.

****

Ati meletakkan telpon pintarnya di atas meja kerjanya yang tertata rapi. Ia tahu, ini belum jam 09.00, tetapi mengingat kebiasaan Rina yang sering molor, Ati memutuskan untuk mengingatkan Rina. 

Sejak mewawancarai Rina  untuk posisi  reporter 3 tahun yang lalu, Ati tahu bahwa Rina memiliki potensi besar untuk menjadi wartawan yang berkelas. Rina adalah lulusan terbaik dari Prodi Komunikasi sebuah universitas negeri ternama. Perempuan ini  memiliki kegelisahan untuk dapat mengubah keadaan yang dipandangnya tidak adil, ada intuisi untuk investigasi, dan memiliki communication skill yang baik. Sebagai Manajer Sumber Daya Manusia selama 10 tahun di Titian, Ati meyakini, bahwa orang-orang seperti Rina inilah yang akan membawa Titian menjadi media yang semakin terpandang.

Penilaian Ati terhadap kompetensi Rina tidak salah. Rina belajar dengan cepat dan teliti. Liputannya berbobot: Rina selalu menambahkan data dan mewawancarai lebih dari 1 nara sumber untuk berbagai peristiwa. Peristiwa yang biasa seperti Festival Kuliner bisa menjadi tulisan renyah namun berenergi  mengenai soft-diplomacy Indonesia yang masih belum dieksplorasi dengan maksimal. Peristiwa bencana alam, banjir, longsor, di tangan Rina akan menjadi berita yang merangkum sisi kemanusiaan dan juga tata-kelola lingkungan yang ambur adul.

Dengan keluwesan berkomunikasi  serta jaringannya yang luas, perempuan muda yang belum lagi genap 25 tahun itu melahirkan  beberapa tulisan yang dipandang layak untuk masuk halaman utama. Itu lah sebabnya, Redaktur Pelaksana mantap menempatkan Rina sebagai editor muda atau junior editor.

Ati menarik nafas panjang. Jemarinya yang lentik membuka file mengenai Karina Sarwono, nama lengkap Rina. Dengan cepat dibukanya lembaran-lembarn yang berisikan penilaian kerja dari editor, sesama rekan kerja  yang semuanya menunjukkan kemampuan Rina.  

“Karina cekatan, cerdas dan teliti. Tulisannya akurat dan komprehensif,” tulis Imam, editor senior.

“Mbak Rina tidak pelit dengan ilmunya, disiplin, membimbing kami, wartawan junior, keras, tapi adil…,” tulis Aqila, wartawan muda yang baru bergabung dengan Titian.

Masih ada beberapa penilaian lagi yang semuanya mengkonfirmasi kesungguhan, kecerdasan dan integritas Rina. Karena itu  Ati shock berat ketika Wisnu, Redaktur Pelaksana Majalah Titian, meyampaikan bahwa Rina melakukan kesalahan fatal.

 

Bersambung ke: https://thewriters.id/warta-membawa-petaka-ii

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 


 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.