Pengkhianatan

Pengkhianatan
Masa-masa masih ngudut, tidur saya selalu berantakan. Insomnia berat. Siang hari mata jadi sering sepet. Metabolisme juga buruk karena lebih suka merokok daripada makan. Akibatnya, sariawan sering menghinggap.
 
Penanggulangan cepatnya adalah, dengan selalu menyiapkan obat tetes mata dan obat sariawan albothyl di kotak alat tulis di meja kerja. Istilahnya, selalu siap sedia dalam jangkauan tangan. Tinggal raih, tak pun perlu melihat ke dalam kotak.
 
Mata sepet? Testes! Sariawan di mulut? Tultul!—ditutul dengan cotton buds yang juga selalu siap di meja kerja. Cukup pakai feeling, selalu pas saja. Tanpa perlu melihat refleksi di cermin, benda yang tak saya miliki.
 
Seberapa seringkah saya pakai pertolongan pertama itu? Nyaris setiap hari. Hidup sedang tak sehat, jadi ya apa boleh buat. Hari itu adalah salah satu harinya.
 
Ketika mata mulai terasa sepet, saya raih obat tetes mata. Sambil tetap memandang pekerjaan di laptop. Begitu obat tetes mata tergenggam, saya lepas kacamata, dan langsung meneteskannya di mata kiri terlebih dahulu.
 
Testes! Aduh! Rasa perihnya bukan buatan! Ini bukan rasa perih obat tetes yang biasanya nih! Dan, oh, baunya! Obat tetes mata seharusnya tak berbau. Mata kiri yang terasa sangat perih itu saya katupkan rapat-rapat.
 
Saya dekatkan botol plastik kecil itu ke mata kanan. Hati saya terpental ke langit-langit ketika melihat apa yang ada di tangan kanan saya itu.
 
"Mati gue! Buta deh ni mata kiri," saya bergumam pahit.
 
Saya letakkan kembali botol kecil albothyl itu ke kotak alat tulis. Lalu, bangkit dari duduk. Mengambil gelas dan mengisinya dengan air galon. Di wastafel, saya banjur mata kiri berkali-kali. Berupaya menggelontor cairan albothyl dari situ. Sambil menghibur diri.
 
"Kalau mata kiri buta, kan masih ada mata kanan, Nin!" saya berkata pada diri sendiri.
 
Setelah beberapa kali banjur, rasa perih menghilang dari mata kiri. Meninggalkan rasa mengganjal, seperti ada selemparan pasir. Penasaran seperti apa kondisi mata kiri korban abothyl itu, saya ke kamar teman serumah. Satu-satunya tempat di rumah ini yang ada cerminnya.
 
Refleksi mata kiri di cermin saya amati baik-baik. Tak terlihat ada kelainan. Tak juga terlihat ada perbedaan apapun di antara kedua mata saya.
 
"Maaf, ya," saya berkata sambil menepuk-nepuk alis mata kiri.
 
Saya wajib minta maaf pada si mata kiri ini. Gara-gara, lagi-lagi saya bikin perkara padanya. Dua puluh plus plus tahun lalu saya pernah membuatnya jadi juling lho! Gara-gara malaria tropika.
 
Pandangan saya alihkan ke tangan kanan. Tadi saya sangat percaya bahwa ia takkan salah. Bahwa ia bisa merasakan dan membedakan, antara wadah obat tetes mata yang agak persegi itu, dan wadah albothyl yang membulat. Tanpa perlu saya lihat.
 
"Pengkhianat kamu!" kata saya ke tangan kanan.   =^.^=

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.