Premanisme di Lingkungan Sekolah Justru dari Guru

Esai Fakta

Premanisme di Lingkungan Sekolah Justru dari Guru

Premanisme di Lingkungan Sekolah Justru dari Guru

Premanisme adalah kebebasan manusia. Manusia yang tidak bebas berarti tidak punya ruang gerak di dunianya sendiri. Kebebasan bisa dia samakan dengan perampasan hak milik orang lain. Ini terjadi di negara Indonesia sebagai negara dengan premanisme pertama di dunia. Yang memiliki jabatan dan senior menindas orang yang di bawah derajatnya. Itu yang kita kenal dengan penindasan dan penjajahan.
Negara Indonesia dijajah oleh Belanda karena Indonesia memiliki pejabat-pejabat yang korup. Pajak rakyat dinaikkan, sewa gedung dan tanah ditinggikan, dan tidak kembali kepada kesejahteraan rakyat yang membayar pajak. Tetapi masuk dalam kantong keuangan milik pejabat-pejabat yang korup. Saya setuju jika adanya petrus diadakan kembali.
Seperti kita lihat di jalan-jalan, pemerintah dan rakyat merindukan pemimpin yang adil seperti Soeharto. Presiden kedua itu terkenal dengan kepemimpinan yang tegas dan adil. Jika ada kejahatan segera basmi, jika ada ketidakadilan segera bunuh. Itu perlu dilakukan untuk menegakkan keadilan dan kemanusiaan. “Piye, enak jamanku to?”. Slogan yang kita lihat di bak-bak truk itu seolah menohok meluncurkan pertanyaan pada pikiran kita.
Setelah Pak Harto pergi, rakyat merindukannya. Rakyat mendambakan ratu adil seperti Harto. Dulu, waktu 98, demo persatuan mahasiswa dan rakyat melawan rezim Orba menuntut penurunan Soeharto dari kursi kepresidenan Indonesia. Orang-orang Cina dibunuh, diperkosa, toko-toko Cina dibakar karena dicap kapitalis di Indonesia. Tetapi apa daya rakyat Indonesia setelah 98. Indonesia menanti ratu adil kembali.
“Hukum itu seperti jarring laba-laba yang menangkap lalat-lalat kecil dan membiarkan tawon menerobos”. Ucapan dari filsuf Jonathan Swift itu dapat kita artikan bahwa hukum mungkin menyerang kejahatan kecil, tapi tidak menyerang dan membiarkan kejahatan besar. Timbullah pertanyaan dari kita sendiri, apakah premanisme dan pemalakan kejahatan kecil, apakah pencurian itu kejahatan kecil, apakah begal dan preampokan kejahatan kecil, ketika semua itu harus menyebabkan korban jiwa berjatuhan. 
Sungguh kita yang tidak peka dan tuli pada keadaan ini. Kita hanya melihat bahwa koruptor dihukum ringan sedangkan kita menuntut koruptor dihukum mati. Kita menuntut polisi dibubarkan saja dari Angkatan bersenjata Indonesia. Itu adalah kebodohan kita. Manusia menurut Daniel Goelman-orang cerdas hanya perlu otaknya 20%. Sisanya 80% untuk moral dan sikap. Itu penelitian Daniel Goelman. Kita orang Indonesia paling cerdas hanya 1 dari 37 juta jiwa. Seperti BJ Habibi. Sedangkan rata-rata kecerdasan orang Indonesia diperkirakan 5% saja. 
Segera kita renungkan, koruptor sudah dikuras habis hartanya oleh KPK dan pihak pengadilan. Jika dia tertangkap lenyap habis harta miliknya, ditambah penjara 15 tahun. Jika tidak ada polisi, siapa yang mencari tersangka pembunuhan, tersangka begal dan rampok, siapa yang menangkap dan memenjarakan preman kalau bukan polisi. Manusia Indonesia hanya menuntut apa kata keadilan menurut subjektif mereka sendiri. Karena mereka tidak bisa melakukannya. Mereka hanya melihat saja. Benar kata pepatah jawa, “Urip kui mung sawang sinawang, sing rekoso sing nglakoni”. Artinya hidup hanya bisa berkata enak dan menuntut jika tidak mengetahui dan merasakan hidup yang dilihatnya dan dituntutnya itu. 
Kemerosotan moral utamanya di Indonesia terjadi di lingkungan sekolah. Guru mengajarkan untuk duduk dengan sopan, menghargai yang tua, tapi kita tidak pernah menyoroti perbuatan guru. Yang kita sorot hanya siswanya saja. Guru menuntut kenaikan gaji untuk kesejahteraan. Dengan dalih bahwa guru pahlawan tanpa tanda jasa. Saya pikir itu tuntutan orang-orang bodoh. Dan pemerintah yang menuruti tuntutan itu tentu orang yang bodoh pula. 
“Pendidikan haruslah berorientasi kepada pengenalan realitas dari manusia dan dirinya sendiri”, kata Paulo Freire. Pendidikan harus dimulai dari guru itu sendiri, bukan dari muridnya. Karena saya merasakan sendiri. Ini fakta yang saya rekam di lapangan. Di sekolah di suatu daerah di kabupaten Pati, sekolah menengah di kecamatan Jaken tepatnya. Ada guru yang menegur saya dengan perkataan bahwa saya jangan sampai meninggalkan murid saat mengajar. Itu saya lakukan apa yang dia peringatkan. Tetapi saya terkaget, setelah tahu bahwa kelas sebelah yang ketika saya ngajar ramai dan siswanya di luar kelas jajan ke kantin saat Pelajaran berlangsung, ternyata guru yang mengajar adalah orang yang memperingatkan saya. Itu berulang kali saya lihat ketika pelajaran saya. 
Saya tengok ke luar ruangan, ternyata guru Bahasa inggris itu sedang ngopi sambil voli sama anak-anak olahraga. Saya biarkan itu. Yang kedua, ketika saya telat masuk karena harus gentian wc rumah dengan keluarga, saya akan masuk kelas jam 7.15 menit, ada Langkah kaki dari belakang sambil mulut berteriak memanasi hati dan telinga saya. “Guru mangkat setengah 8 iku guru opo, he, guru opo?”, ucapnya dengan mata melotot. Padahal saya berangkat jam 7.15 sampai di sekolah. Itu tuduhan dan fitnah, sebagai guru cara bicara kepada guru tidak seperti itu. Itu bagi saya merendahkan martabat guru lain. Saya tengok ke belakang ternyata guru Bahasa inggris yang mengajar di SMP N 1 Jaken. Guru lelaki dengan wajah tidak tampan yang caper kepada siswi-siswi cewek secara objektif yang saya rekam.
Esoknya, ada rapat guru dipimpin kepala sekolah. Guru Bahasa ingggris dengan inisial R itu datang rapat telat dan saat rapat makan dengan santainya, setelah makan kaki duduk diatas kursi dinaikkan satu di atas kursi sambil mainan hp. “Guru apa itu, bicara nasihat-nasihat tetapi di hadapan guru-guru lain tidak menunjukkan etika tata krama. Dihadapan murid seolah sopan, tetapi di hadapan guru-guru justru merendahkan martabat guru-guru lainnya”, ucap saya dengan nada lirih karena saya duduk di belakangnya memperhatikannya.
Guru yang tidak memiliki etika dihadapan guru-guru lain adalah guru sampah. Dibuang saja, atau dicopot jabatannya. Dihadapan siswa-siswi berkata nasihat baik, tetapi duduk di hadapan guru-guru dengan kaki naik ke atas kursi. Apakah itu beretika, tentu tidak. Seandainya saya orang berani dan tidak memikir penjara atau saya guru, sudah saya bacok orang itu yang menjelma sebagai guru gadungan yang dipertahankan dinas Pendidikan. Tetapi saya masih manusiawi. Saya lepaskan ego saya, biarkan esai lebih memberitahukan kebenaran yang ada dan fakta yang terungkap melalui esai ini.
“Pendidikan tidak mengubah dunia. Pendidikan mengubah manusia. Manusia lah yang mengubah dunia”, kata dari Paulo Freire dari buku Pendidikan Bagi Kaum Tertindas. Pendidikan bukan untuk mengubah dunia menjadi lebih baik. Pendidikan bertujuan untuk mengubah manusia menjadi baik. Tidak hanya berucap tapi tidak bisa menjalankan cara manusia yang baik. Tapi apa yang terjadi dari paparan di atas itu adalah fakta yang saya rekam di lapangan. Bahwa premanisme berkedok guru dalam dunia sekolah. Guru-guru yang gajinya dinaikkan oleh Presiden, yang dipertahankan oleh Dinas Pendidikan, yang luput dari sorot mata dunia dan rakyat Indonesia ternyata masih ada guru yang seperti itu. Dan mungkin masih banyak lagi. Karena merasa dirinya dibutuhkan, padahal banyak di luar calon guru yang siap mengajar. Saya rasa guru PNS pun harus dicopot dan dimusnahkan bila tidak memiliki tata krama dan etos kerja yang baik.

Pati, 29 November 2024


Biodata Penulis

Muhammad Lutfi, S.S., M.Pd., lulusan UNS dan UNNES. Guru di SMP N 1 Jaken. Buku: ASUH, TAKA, ELEGI, PELAUT, BERLAYAR, BUNGA DALAM AIR, SENJA, BISMA PAHLAWAN HIDUP KEMBALI, LORONG, PENGKAJIAN PUISI, SASTRA MISTIK, SASTRA PROFETIK, KRITIK SASTRA DAN APLIKASINYA PADA PUISI CHAIRIL ANWAR.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.