KAFE PUISI

KAFE PUISI

"Ehem...ehem." Firman berkonsentrasi sejenak, mengambil napas panjang lalu mulai membacakan puisinya:

"Your children are not your children.

They are the sons and daughters of Life’s longing for itself.

They come through you but not from you,

And though they are with you yet they belong not to you.

You may give them your love but not your thoughts,

For they have their own thoughts.

You may house their bodies but not their souls,

For their souls dwell in the house of tomorrow, which you cannot visit, not even in your dreams.

You may strive to be like them, but seek not to make them like you.

For life goes not backward nor tarries with yesterday.

You are the bows from which your children as living arrows are sent forth.

The archer sees the mark upon the path of the infinite, and He bends you with His might that His arrows may go swift and far.

Let your bending in the archer’s hand be for gladness;

For even as He loves the arrow that flies, so He loves also the bow that is stable."

"Prok...prok...prok..." Saya bertepuk tangan karena Firman membacakan puisi itu dengan sangat bagus. Sebuah puisi karya Kahlil Gibran yang terdapat dalam buku The Prophet, bab 'On Children'

"Thank you....thank you," kata Firman sambil menundukkan kepala memberi hormat pada penonton. Padahal penontonnya cuma saya doang.

"Penjiwaan lo dapet banget. Jenius lo Fir.”

"Kahlil Gibran yang jenius, Om Bud. Bukan gue," kata Firman sambil menunjuk poster-poster puisi Gibran yang ditempel di dinding kafenya.

Jadi ceritanya gini: Firman mau buka kafe. Namanya KAFE PUISI. Di kafe itu dibangun panggung kecil untuk acara pembacaan puisi, diskusi puisi, musikalisasi puisi. Pokoknya konten kafenya serba puisi. Di sebelah meja kasir juga ditaruh rak buku yang nantinya akan dipajang buku-buku puisi penyair terkenal. Keren, ya, idenya.

Firman mengundang saya untuk menjajaki apakah bisa bekerja sama dengan komunitas The Writers. Saya seneng banget mendapat tawaran itu. Dari dulu masalah The Writers adalah kesulitan mendapat tempat buat event.

"Puisi-puisi Kahlil Gibran luar biasa. Gue sering nangis bacanya. Rasanya kayak baca Qu'an. Ada tema 'Cinta Kasih,' ada 'Nabi,' bahkan ada satu puisi yang gue sendiri nggak pernah dengar sebelumnya. Dan semuanya bagus."

“Setuju. Gue juga suka banget sama puisi-puisinya,” kata saya mengangguk-angguk.

"Gue baca buku The Prophet udah nggak keitung. Gue ulang-ulang terus dan anehnya semakin dibaca malah semakin bagus."

"Betul. Kalo kita baca ulang sebuah puisi, sering kali ada metafora yang sebelumnya nggak tertangkap. Makanya jadi tambah bagus."

"Dia penulis Islam yang paling gue idolakan. Gibran adalah perwakilan penyair Islam yang tidak kalah dari penyair agama lain."

Saya sedikit heran mendengar ucapannya, "Lah? Gibran itu Kristen, Fir."

Firman tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, "Lo jangan ngarang, Om Bud. Becandaan lo gak lucu."

"Lo mengidolakan Kahlil Gibran tapi nggak tau kalo dia agamanya Kristen?" tanya saya menegaskan.

Kali ini Firman setengah membentak,"Ngaco! Lo jangan fitnah. Gibran itu nggak mungkin Kristen. Karya-karyanya itu Islami banget!"

"Gibran itu orang Arab Lebanon. Meskipun beragama Kristen, dia sering pake filosofi universal, makanya terasa pas buat semua agama."

Firman mukanya merah padam karena nggak percaya. Beberapa kali dia menarik napas panjang untuk menenangkan diri. "Gue nggak percaya sama lo."

Tiba-tiba seorang sekuriti masuk dan berkata ke saya, "Maaf, Pak, Bisa pindahin parkir mobilnya. Ada tamu mau keluar."

"Oh, ok," sahut saya lalu berpaling ke Firman, "Bentar ya, Fir,"

Kurang dari 10 menit, saya sudah masuk lagi ke dalam kafe. Firman sedang duduk terkulai di kursi dekat panggung. Di sampingnya ada tempat sampah dari anyaman rotan berisi sobekan-sobekan kertas.

Saya langsung curiga dan menengok ke dinding...dan benar saja.

Semua poster puisi Kahlil Gibran hilang dari dinding.

"Kok poster puisi Gibran lo copot, Fir?” tanya saya keheranan.

"Gue nggak mau masang karya orang kafir," kata Firman dengan nada getir.

"Astagfirullah! Lo gila, Fir..." Saya kaget bukan main.

Firman menunjuk ke tempat sampah di sampingnya, "Karya orang kafir tempatnya di tong sampah..."

"Fir, apa hubungannya puisi dengan agama? Karya yang bagus ya bagus aja. Apalagi dia tokoh idola elo?"

"Stop! Gue nggak mengidolakannya lagi. Kahlil Gibran itu bukan siapa-siapa buat gue.," potong Firman lalu melanjutkan dengan suara hampir nggak kedengeran, "Dia pembohong."

Sejenak kami terdiam. Suasana sunyi. Dari dalam tong sampah terdengar suara kresek-kresek bekas sobekan poster puisi yang tertiup semburan kipas angin besar di pojok panggung.

Terus terang saya nggak nyangka Firman akan bersikap begitu. Selama ini dia baik-baik aja. Dia nggak miara jenggot. Celananya juga nggak cingkrang. Nggak kepikir ternyata kelakuannya juga kadrun.

Hari itu saya memutuskan untuk tidak bekerja sama dengannya. Udah kebayang, pasti capek hati ke depannya nanti. Lagi pula saya bukan nabi, saya nggak pantas mendapat Firman. Hehehehe...

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.