Introspeksi Diri Kala Pandemi
"Tanpanya (baca: komunikasi) pandemi nampaknya makin brutal. Kalau sudah makin brutal, siapa yang layak menjadi tumbal? Sila bergumam dalam hati"
sumber: Kompasiana.com
Desember sudah hampir di penghujung. Pandemi belum ada tanda berujung. Sembilan bulan sudah di sini (kampung halaman), sudah sampai mana kini? Rasa-rasanya pandemi akan makin sulit berakhir jika sana-sini masih terus debat kusir tanpa akhir! Katanya manusia itu berbeda dari dua makhluk lainnya (tumbuhan dan hewan). Katanya juga Manusia itu diberikan akal sehat untuk mampu berpikir, mampu memilah mana yang baik dan mana yang benar. Nyatanya menurut hemat saya belum sedemikian, belum maksimal. Eits! No offense, ya!
Menjadi manusia memang terkadang cukup sulit dan rumit. Menjadi manusia terkadang kerap menjadi sasaran kesalahan manusia lainnya. Kadang sini menyalahkan yang sana, kadang juga yang sana menyalahkan yang sini. Begitu terus siklusnya. Saya sangat sepakat, bahwa manusia diciptakan untuk saling berpasang-pasangan dan saling melengkapi. Akan tetapi, bukan berpasang-pasangan dalam menjatuhkan dan saling melengkapi untuk menyalahkan. Sepertinya konsepnya tidak begitu. Menurut saya begitu sih.
Satu hal yang terkadang kita lupa. Terkadang ketika ada masalah, kita — saya pun pernah — terlalu sibuk untuk mencari dan menyalahkan orang lain. Mungkin tidak semua orang, tapi pasti ada beberapa orang yang begitu. Dengan rutinitas tersebut, kita pun terkadang lupa untuk introspeksi atau kasarannya mengoreksi diri sendiri. Minimal mencoba mengulas ke dalam diri sendiri. Itu yang menjadi pokok penting menurut saya. Rutinitas itu tentu sangat merugikan. Merugikan orang lain dan juga merugikan diri sendiri. Kalau sudah jelas itu merugikan, lantas siapa yang hendak disalahkan? Tuhan? Sudah pasti bukan!
Tuhan sudah menciptakan kita sedemikian rupa. Alhamduillahnya, saya lahir dengan sempurna (menurut saya) — walaupun tidak ada manusia yang sempurna di muka bumi. Sempurna yang saya maksudkan ialah lengkap tanpa cacat fisik. Dengan kelengkapan tersebut, apakah kita masih menyalahkan Tuhan? Sepertinya tidak. Mau menyalahkan orang lain? Sepertinya juga terlalu egois apabila menyalahkan orang lain.
Perihal pandemi, salah dan disalahkan menjadi tontotan yang kontemporer tentunya. Oh sungguh indahnya peradaban manusia! Satu sisi, nampakya memang ada yang salah dan yang benar. Namun, hal tersebut tidak ujug-ujug menjadikan kita sebagai sosok yang senantiasa harus benar dan menyalahkan orang lain. Menyoal salah dan disalahkan sepertinya menjadi satu diskursus menarik dalam tatanan masyarakat. Tentang bagaimana kita mengolah rasa dan pikiran, menjalin komunikasi yang erat, dan menjunjung tinggi nilai dan norma sosial yang ada. Kita tentu ingat kasus pertama Covid-19 yang ada di Indonesia. Kasus pertama terkesan ditutup-tutupi oleh kalangan pemerintah dan cenderung abai. Berangkat dari situ, masyarakat perlahan mulai muncul rasa ketidakpercayaan akan pemerintah. Tidak bisa dipungkiri, dalam perspektif saya pemerintah memang salah dalam hal ini. Mengapa hal tersebut cenderung ditutupi. Padahal, kalau semua dikomunikasikan secara gamblang, mungkin akan terjadi alur penyelesaian masalah yang lebih simpel. Mengapa simpel? Karena pemerintah telah dapat meraih kepercayaan masyarakat. Maka dengan kepercayaan tersebut, tidak ada saling tuding menuding seperti yang terjadi akhir-akhir ini.
Permasalahan yang muncul biasanya dilandaskan karena ketidakselarasan persepsi satu sama lain. Merasa paling benar dan tidak ingin disalahkan menjadi satu momok permasalahan mungkin bagi manusia — terkadang juga saya sendiri. Namun, hal itu semua sepertinya karena perihal komunikasi. Entah itu komunikasi ke dalam diri sendiri atau ke luar. Komunikasi di tengah pandemi ini menjadi begitu sangat vital. Saking vitalnya salah sedikit, pecah banyak. Tanpanya (baca: komunikasi) pandemi nampaknya makin brutal. Kalau sudah makin brutal, siapa yang layak menjadi tumbal? Sila bergumam dalam hati~
Kembali lagi ke komunikasi. Sebagai masyarakat yang awam, saya sebisa mungkin mematuhi anjuran pemerintah — walaupun sedikit nyeleneh. Yakin dan percaya pemerintah akan terus mengupayakan hal maksimal yang semsetinya dilakukan. Menjadi penengah di kala huru-hara antara kebijakan pemerintah dan keinginan masyarakat sepertinya sangat layak untuk dicoba. Namun, di satu sisi hal tersebut menjadi begitu rumit ditambah dengan pola masyarakat yang begitu kompleks. Pola masyarakat tersebut menurut saya meliputi komunikasi, perilaku, dan upaya bertahan hidup.
Ketiga hal di atas menjadi begitu penting dalam proses hidup bermasyarakat — apalagi di kondisi pandemi. Perilaku yang baik dan benar tentu ada pada persepsi masyarakat masing-masing. Tentang bagaimana perilaku satu orang ke orang lainnya, menurut saya akan berpengaruh secara tidak langsung terhadap proses hidup bermasyarakat. Tak dipungkiri juga, perilaku menurut saya berkorelasi dengan upaya bertahan hidup sewaktu pandemi ini. Ketika kita berupaya bertahan hidup dengan ketidakpastian pandemi, maka akan timbul beberapa perilaku yang dilakukan sebagai landasan bertahan hidup. Ketika landasan yang dipegang ialah upaya untuk bertahan, maka akan ada kemungkinan untuk melakukan hal apapun — baik atau buruk.
Maka sudah sampai mana kita membangun ketiga pola tersebut? Sudah maksimal kah? Atau masih harus ada yang dibenahi. Pribadi mengajak diri sendiri dan khalayak umum untuk senantiasa kembali introspeksi diri. Tidak perlu lama, cukup luangkan waktu sejenak sesuai kebutuhan rekan sekalian. Mengoreksi diri menjadi begitu penting menurut penulis di tengah ketidakpastian seperti sekarang. Mengapa? Karena dengan variabel itulah sekiranya kita dapat menambal kekurangan dan menjadikan hal tersebut sebagai pembelajaran tentunya. Pembelajaran yang dimaksud ialah, proses untuk hidup dan menghidupi diri sendiri dan manusia yang lainnya.
Argumen di atas belum sepenuhnya benar. Namun, sepertinya hal di atas sedikit sesuai dengan kondisi saat ini. Tulisan ini dikhususkan untuk diri sendiri dan disarankan kepada khalayak lain. Jika dibaca saya sarankan dengan hati dan pikirkan yang tenang, karena ada sedikit diksi yang menentang! Selamat menjalani hari, sampai ketemu nanti!
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.