Meeting You

Pertemuan 10 tahun terakhir hingga kini, di kota kabut yang indah. Kali ini aku bisa bertahan selama ini hidup di satu desa ini sampai segitu lamanya. Perahu terkahir yang kutumpangi, membawaku menuju dermaga desa ini. Ya, perahu ini juga yang juga setia menemani aku di setiap aktifitas di sekitar desa ini. Indah, begitu kesan pertama aku datang kesini. Perahu transportasi yang dipakai didaerah ini. Senyum yang kutemui di setiap hari saat perahu bersimpangan, tanpa banyak tanya , tapi mereka seolah paham dan hormat pada satu dengan yang lain. Sesekali di desa ada pertemuan atau perayaan, tapi tidak banyak tanya. Namun tetap ada yang dibicarakan. Seperti yang kusebut, mengapa aku bisa bertahan, di pagi hari, kota ini berkabut, dengan hawanya yang sejuk, sungguh sempurna, ada secangkir teh menghangatkan pagiku. Di siang hari matahari mulai tampak, tanpa menyengat. Sore hari, kabut mulai datang lagi, tipis-tipis. Aku tinggal sendiri di rumah berdinding kayu ini. Saat awal datang ke desa ini, ada rasa khawatir orang akan menganggapku seorang alien. Sejujurnya aku type orang yang jarang pergi keluar rumah, karena menghindari kabut. Lagi, aku memang terbiasa nomaden. Berpindah dari satu kota ke kota yang lain. Saat aku mulai tak nyaman, dan orang lain mulai tahu dan kepo tentang diriku dan kehidupanku. Alien ya, sebenarnya biar aja orang menyebutku begitu. Aku butuh bebas, butuh tenang dan tentu senang, dengan caraku bukan cara mereka. "Alien, aku senang mengenalmu..." Suatu saat di kota, dari sekian banyak  perlintasan frekuensi kehidupanku aku berjumpa dengannya. Seorang yang tampan, gagah, dan terkesan pandai. Dalam satu waktu, di perahu aku bertemu berbincang,  mengenal satu sama lain. Sempat aku terpesona dengan tutur katanya yang sopan, dan kalimat bijak nan indah. Sempurna, begitu aku melihatnya. Namun, ada hal yang mengganggu. Pandangan matanya begitu tajam, menghujam. Tatapnya menembus ke dalam sanubari yang dalam. Woii, dimatanya seolah aku ini sedang telanjang. Sang cerdas yang dengan mudahnya, leluasa menikmati setiap inci tubuh dan jiwaku. Kata dan kalimat mengalir, seperti air. Menyatu, terjalin menjadi pusaran energi. Hai kamu, sang tampan, isi kepalamu yang membuat darahku berdesir, dan jantungku begitu kencang berdentang, hingga ke sekujur tubuhku bergetar. Membangkitkan gairah yang semestinya kusimpan, tak dipertontonkan. Auramu, pesonamu, mampu membawaku terbang tinggi ke awan, terbang bersama, khayalanku yang tak tergapai. Cinta sesaat, tak perlu detik untuk menghitungnya. Tulus tutur kata, membisikkan nada asmara, membujukku untuk ingin berlari padamu. Sedangkan tubuhku hanya lekat berdiri memandangmu, dan lamat-lamat kudengar kalimat-kalimat cinta semu. Sehingga  tersadar, ternyata aku sedang berbaring, lemah, menggalau sendu di atas ranjang yang dingin, hanya memandang citra dirimu. Aku kaku, aku gagu, tapi juga sangat rindu. Seharusnya, ranjang itu menjadi saksi kita menyatu. "Maafkan aku Cinta, kita hanya berteman," bisikmu. "Eh, mengapa ada cinta?" Tanyaku ragu. "Karena cinta tak harus memiliki. Menjadi teman juga masih bisa berbagi." Aku pun bisa mengerti dengan berat hati, kehidupan harus berjalan lagi. Roda terus berputar, mungkin suatu saat kita bisa bertemu. Kali ini, mungkin berjumpa bukan untuk merajut kasih, tapi mungkin hanya menjalin kisah. Pagi hari, di desa berkabut yang dingin, dua cangkir kopi americano, untukmu dan untukku.

Meeting You

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.