Perjalanan terakhir #1

Perjalanan terakhir #1

“Woy, Bud. Masuk, yuk!” Dimas menyambut saya di pintu pagar.

“Thank you,” sahut saya lalu mengintil tuan rumah masuk ke dalam ruang tamu.

Hari itu saya menjenguk Dimas yang sedang sakit. Seorang teman di group WA mengabarkan bahwa kawan saya ini terkena kanker hati. Tidak tanggung-tanggung kankernya sudah mencapai stadium 3. Menurut orang itu, Dimas menolak kemoterapi yang disarankan dokter.

Awalnya saya agak ragu untuk menjenguk Dimas. Dari dulu saya memang gak terlalu dekat sama dia. Alasan lainnya, dia kalo ngomong sinis banget. Kalau berdebat suka ngotot dan mudah sekali menggoblok-goblokan orang lain. Saya selalu merasa terintimidasi setiap kali berbicara sama dia. Selalu merasa gak nyaman dan ingin buru-buru pergi meninggalkannya.

Namun mengingat nasib yang sedang menimpanya, saya mencoba menyingkirkan semua ego. Di usia saya sekarang ini, rasanya teman semakin sedikit. Sebagian sudah meninggal. Sebagian lagi hilang gak ada kabarnya. Dan sebagian lagi udah jadi kadrun. Saya memutuskan, minimal satu kali, saya akan mengunjungi dia. Biar bagaimana pun dia adalah teman lama.

“Sebentar, Bud.”

“Ya, kenapa?”

“Sebelumnya gue mau minta sesuatu sama lo.”

“Okay. Apa?”

“Selama lo di sini, jangan pernah ngefoto gue. Kalo lo gak mau, mendingan lo pulang aja. Gak usah ke sini,” kata Dimas dengan suara dingin.

Tuh, kan. Belum sempat ngobrol, saya udah terintimidasi dengan omongannya.

“Okay, No. worries. Gue juga gak suka foto-foto, kok,” jawab saya dengan suara diriang-riangkan.

“Sip. Thank atas pengertiannya.” Dimas tersenyum tipis.

Karena sudah mempersiapkan diri, saya berusaha sabar. Tujuan saya cuma satu, mengunjungi orang sakit. Kalo orangnya ngeselin juga gapapa. Di mana-mana orang sakit memang biasanya ngeselin. Lagi pula saya hanya berencana satu kali mengunjunginya. Berdasarkan pemahaman itu, hati saya pun semakin mantap.

“Eh, lo merokok, kan? Kita duduk di teras belakang aja, yuk.” Kata Dimas lagi.

“Nggak! Gue gak mau merokok.”

“Gapapa. Merokok aja. Emang di sana smoking area, kok."

Gak lama kemudian, kami berdua sudah duduk di teras halaman belakang rumah. Di sana ada meja bundar dengan 4 bangku. Semuanya terbuat dari kayu mahoni dan dipoles dengan pelitur warna hitam. Setiap bangku dialasi dengan bantal bermotif batik. Di depannya ada taman yang cukup asri. Luasnya sekitar 100 M, ditanami rumput golf dengan pepohonan kecil di sana-sini.

“Lo katanya sakit? Gue liat lo sehat banget.”

Dimas memang terlihat agak pucat, Namun di luar itu dia terlihat baik-baik saja.

"Kecuali agak lemes, gue memang merasa baik-baik aja."

"Terus dokternya bilang apa?" tanya saya lagi.

“Gue sebetulnya disuruh opname. Kata dokter, kanker gue harus dipantau terus tapi gue gak mau,” sahut kawan saya.

“Karena?”

“Suasana rumah sakit itu enerji negatifnya tinggi banget, Bud. Ngeliat dokter dan perawat berlalu-lalang, bau obat, segala macam terapi, semua itu bikin gue tambah sakit,” jawabnya.

“Iya betul. Bokap gue meninggalnya juga karena kanker hati. Gue yang selalu nungguin di di RS. Bener kata lo. Gue aja yang sehat rasanya depresi berada di atmosfer RS.”

Tiba-tiba seorang perempuan berusia sekitar 35 tahun datang membawa dua cangkir kopi untuk kami. Selain kopi ada dua stoples plastik yang berisi kacang Almond dan kue semprong. Wajahnya sebetulnya cantik, sayangnya terlihat judes. Tidak ada secuil senyum pun muncul dari bibirnya. Tidak ada sepatah kata pun dia ucapkan. Menengok ke saya pun tidak. Perempuan itu meletakkan semua suguhan di meja lalu meninggalkan kami.

Dalam hati saya bertanya-tanya, ‘Siapa perempuan itu?’ Setahu saya, Dimas seumur hidupnya tidak pernah menikah. Seorang teman bercerita bahwa dia hanya tinggal berdua dengan seorang pembantu rumah tangga. Perempuan yang barusan, kelihatannya terlalu cantik sebagai pembantu rumah tangga.

“Siapa itu, Dim?” tanya saya gak sanggup untuk tidak bertanya.

“Itu Cassey,” jawab Dimas dengan suara datar,

“Saudara lo?” desak saya tambah penasaran.

“Bukan. Dia ART di rumah ini. Udah lama dia ikut gue. Ada kali 10 tahun.”

“Wah, penampilannya keren dan namanya juga kebarat-baratan...Cassey,” komentar saya kagum.

“Nama aslinya Kasiyah. Gue yang kasih nama panggilan jadi Cassey.”

“Hahahahaha...sebagai brand memang nama Cassey lebih keren.”

“Hehehe...dasar orang iklan, semua dihubungin sama brand,” sahut Dimas sambil tersenyum tipis. Meskipun masih dengan suara datar dan nada rendah.

“Advertising is in my blood, Dim...”

Belum selesai saya berbicara, nongol lagi seorang perempuan lain. Kalau yang ini mudah ditebak karena dia memakai baju suster. Dan sekali lagi saya harus akui bahwa inilah suster tercantik yang pernah saya liat selama hidup.

“Mas Dimas, ambil darah dulu, ya. Dokter Hanafi udah minta dari kemaren.”

“OK, di sini aja gapapa, kan?”

“Gapapa. Coba gulung dulu lengan bajunya. Kepalkan tangannya, ” Kata Si Suster.

Sepertinya Sang Suster cukup cekatan. Dalam hitungan detik, dia langsung menemukan urat yang dicarinya, lalu menusukkan jarum suntik untuk mengambil darah Dimas. Berbeda dengan Cassey, Suster ini doyan ngomong dan royal senyum.

“Ini Daryll, Bud. Suster yang dikirim rumah sakit buat ngerawat gue. Udah ampir 1 tahun dia ngurusin gue.

“Hi, Daryll, saya Budiman Hakim,” kata saya tanpa mengajak salaman karena Si Suster masih sibuk dengan pekerjaannya.

“Hihihihi...nama saya Dariyah, Pak Budiman. Mas Dimas yang suka manggil saya Daryll,” sahut Sang Suster cekikikan.

“Orangnya cantik gini masak namanya Dariyah? Cocoknya Daryll. Iya gak, Bud?”

“Hahahahaha....Kasiah jadi Cassey. Dariyah jadi Daryll. Cocok, Dim. Hahahahaha...” Kembali saya tidak dapat menahan tawa.

“Hahahaha...bisa dong gue ngelamar di kantor lo sebagai brand maker.” Kali ini Dimas juga tertawa terbahak-bahak.

Gara-gara perubahan nama itu, suasana langsung cair, secair-cairnya. Saya mulai merasa nyaman berada di dekat Dimas. Meskipun cara berbicaranya masih datar tapi saya tidak lagi merasa terintimidasi. Saya mencoba menerima bahwa mungkin memang sifat dasarnya kayak begitu. Gak lama kemudian kami pun sudah berdua lagi di teras belakang itu.

“Tadi lo bilang, bokap lo kanker hati juga?" tanya Dimas.

“Iya, betul. Dia dirawat di rumah sakit cukup lama sampai meninggal.”

Dimas terdiam sejenak. Dahinya berkerut menandakan bahwa dia sedang memikirkan sesuatu. Saya meraih kopi hitam tanpa gula di atas meja buatan Cassey. Hmmm...enak sekali rasanya.

“Lo tau gak, Bud? Sebagian besar manusia itu mati dengan cara yang sama dengan orang tuanya.” Dimas berkata lagi.

“Ah, masak, sih?” sahut saya nggak percaya.

“Bokap gue meninggal karena kanker hati dan sekarang gue kena juga. Sepupu gue meninggal kena jantung, bapaknya juga. Sahabat gue mati karena kanker paru-paru, bapaknya juga.”

“Hadoh! Yang bener, Dim?”

“Bokap lo meninggal umur berapa?”

“77 tahun. Emang kenapa?"

“Anak yang penyakitnya sama dengan bapaknya, biasanya meninggalnya di usia yang kurang lebih juga sama.”

Kali ini saya terdiam mendengar omongan Dimas. Sebetulnya saya mau protes dan mengajak bicara topik yang lain. Namun niat itu saya urungkan mengingat dia sedang sakit. Namanya orang sakit pasti kalau ngomong topiknya tentang penyakit.

“Bokap gue meninggal di usia 68 tahun. Sekarang gue 59 tahun, masih ada sisa 9 tahun. Lumayanlah...”

“Jadi lo mau bilang bahwa gue akan mati karena kanker hati seperti bokap?” kata saya dengan hati bergidik.

Dimas terdiam sejenak, menepuk pundak saya sambil tersenyum, “Sorry kalo lo keteror sama omongan gue. OK, lupain aja. Anggap aja omongan gue gak bener.”

“Pasti gak bener....insya Allah,” sahut saya masih dengan perasaan ngeri.

Dimas terdiam sambil menatap saya dengan pandangan misterius. Lalu berkata lagi, “Tapi seandainya omongan gue bener, liat sisi positifnya. Lo bisa lebih berhati-hati dan selalu menjaga kesehatan."

“Iya, bener juga.”

“Lo bisa fokus ke liver lo. Apa yang dialami oleh bokap kita sebetulnya merupakan petunjuk dari Tuhan bahwa bagian yang lemah dari badan kita pasti sama dengan orang tua kita.”

“Nah, gue setuju bagian itu. Makanya gue dan bini gue selalu menceritakan ke anak-anak, penyakit-penyakit apa yang diderita orang tuanya.”

“Bagus itu biar mereka siap-siap.”

“Semuanya gue ceritain ke mereka. Gue bilang bahwa gue punya sakit HNP, gue insomnia, gue punya claustrophobia, gue langganan sariawan dan hampir tiap hari selalu pusing...”

"Oh, ya?"

"Gue gampang diare, punya vertigo, pernah operasi Sinus, gue gampang mual sehingga dibenci dokter gigi dan susah pake dasi, rambut gue membotak di bagian belakang, punya ambein..."

"Hahahahaha..."Untuk kedua kalinya Dimas ngakak dengan lepas.

"Lo kayaknya bahagia banget ngeliat gue menderita, Dim?" tukas saya bercanda.

“Hahahaha... Lo serakah banget, Bud? Penyakit, kok, diborong semua? Bagi-bagi, dong, sama orang lain. Hahahahaha...”

“Hahahaha...iya, ya. Kalo serakah harusnya sama duit, bukan penyakit." Terus terang saya seneng banget bisa bikin dia tertawa lepas kayak gitu.

Pembicaraan dengan Dimas semakin seru. Perlahan tapi pasti, saya mulai menyukai dia. Seperti sudah saya sebutkan di atas, dulu dia bukan teman bicara yang menyenangkan. Dimas cenderung ofensif. Apa pun yang dikatakan lawan bicara selalu diserangnya. Nadanya keras dan berapi-api seakan ingin menjatuhkan lawan bicaranya sampai terperosok sedalam-dalamnya.

Sekarang dia tampak kalem. Ngomongnya masih tetap datar. Awalnya terasa dingin tapi lama kelamaan saya menemukan kehangatan terselip di antara kalimatnya.

“Eh, kok lo dari tadi gak ngerokok, Bud?” tanya Dimas seraya menatap ke arah rokok di saku baju saya.

“Nggak usah. Lo lagi sakit masak gue ngerokok? Gak tau diri banget gue,” sahut saya.

“Gapapa kaleeee. Ngerokok aja. Lagipula penyakit gue, kan, bukan asma, bukan paru-paru.”

“It's OK. Gue ngerokoknya ntar aja di rumah.”

“Hehehehe...terserah lo. Pokoknya gue udah bilang bahwa lo bebas ngerokok di sini.” Sembari ngomong begitu, Dimas merogoh saku celananya. Dan tau gak apa yang dia ambil? Sebungkus rokok dan korek api Zippo merek Harley Davidson.

Dengan tenang Dimas menyalakan rokok lalu menghembuskan asap dengan nikmatnya. Sementara saya cuma bisa melongo ngeliat kelakuan anak ini. Dalam hati muncul dilema, ikutan ngerokok atau jangan? Ngerokok? Jangan? Ngerokok? Jangan?

“Udah ngerokok aja, temenin gue.” Seakan tau apa yang ada di pikiran saya, Dimas memberi jawaban.

Akhirnya saya gak tahan juga, jadilah kami berdua merokok, ditemani kopi hitam tanpa gula dan penganan yang siap disantap.

Sluuuuurp. Saya menyeruput kopi sambil membuka stoples yang berisi kacang Almond yang digoreng tanpa minyak. Rasanya enak banget. Seperti juga kacang-kacang lainnya, kacang Almond ini membuat saya terus memamah biak sampai sulit berhenti.

“Kayaknya lo demen banget sama kacang Almond itu ya?” kata Dimas sambil melemparkan puntung rokoknya ke arah pojok tanaman.

“Iya. Enak banget. Seharusnya temennya bukan kopi tapi bir. Pasti cocok banget.”

“Hehehe...lo kalo ngebir di mana, Bud?”

“Prestige Kafe, di Kemang. Ownernya temen gue, jadi bisa ngutang. Hahahaha...”

“Hari apa lo ke sana?” tanya Dimas lagi.

“Gak tentu, Biasanya Jumat malem.”

“Jumat depan kalo lo ke sana, gue ikut, dong?” Sekonyong-konyong Dimas melemparkan ide gila.

“Heh? Lo lagi sakit mau dugem? Ngerokok? Ngebir? Gila lo!” sahut saya kaget.

“Kok gila? Gue bosen di rumah, Bud. Gue mau jalan-jalan sesekali.”

“Nggak bakalan gue ngajak lo. Kalo ada apa-apa, gue pasti disalahin orang banyak. Gila kali ngajak orang sakit kanker stadium 3 ke kafe...ngebir pulak.”

“Salah lo, Bud.”

“Apanya yang salah?”

“Gue bukan stadium 3 tapi stadium 4.”

“Hah? Apalagi stadium 4. Ah, beneran lo gila, Dim.”

Dimas terdiam lagi. Saya menghela napas panjang berkali-kali tapi hati ini tetap tidak bisa tenang. Untuk membantu suasana hati, saya meraih kopi dan menenggaknya sampai tandas.

“Umur gue gak lama lagi, Bud. Gue menolak dirawat di rumah sakit karena gue tau apa yang akan terjadi.”

“Maksud lo gimana?”

“Kalo gue diopname, gue akan dibaringkan di tempat tidur. Disuntik lemas dan obat tidur dengan alasan biar tubuh gue istirahat.”

“Jangan berpikir yang berat-berat, Dim.” Dimas tidak mempedulikan ucapan saya dan terus melanjutkan ocehannya.

“Ketika kondisi dianggap semakin parah, berbagai selang akan dimasukkan ke tubuh gue, dihubungkan ke sonde, ventilator dan alat kedokteran lainnya.”

“Stop, Dim...”

“Entah berapa lama gue akan terbaring tanpa daya dengan kondisi seperti itu. Bisa sebulan, 6 bulan, setahun...”

Kali ini saya terdiam karena gak tau harus ngomong apa.

“Endingnya udah ketebak. Gue akan mati di ranjang rumah sakit. Badan gue kurus kering seperti tulang terbungkus kulit. Kulit punggung gue terkelupas gara-gara kelamaan berbaring. Seluruh kulit gue berwarna kuning. Sementara selang-selang masih nempel di badan gue.”

“Lo gak boleh mengkhayal begitu. Takutnya dianggap doa oleh Tuhan.”

“Gue gak lagi berkhayal. Apa yang gue omongin tadi begitulah cara bokap gue mati. Dan gue gak mau mati seperti itu,"

Saya terdiam terpaku. Sekilas teringat pada ayah saya. Cara matinya persis sama dengan bapaknya Dimas.

"Gue memutuskan untuk menolak dirawat di rumah sakit. Selagi masih kuat, gue akan melakukan hal-hal yang menyenangkan hati gue.”

“Nah, itu baru pemikiran bagus. Hati senang adalah obat terbaik.

Gue dukung keinginan lo,” kata saya.

“Serius?" tanya Dimas sambil menatap saya dengan tajam

"Serius banget!" jawab saya dengan suara mantap.

"Berarti gue boleh ikut elo, dong, Jumat malem?"

"Eh...kecuali itu..," kata saya tergagap-gagap.

"Ayolah, Bud. Pasti akan menyenangkan. Kita bisa ngobrol sampe pagi.”

Sejenak saya menenteramkan hati sebelum berkata, “Kalo soal itu sampe mati pun, gue gak akan pernah ngajak lo. Kalo ada apa-apa, gue gak bisa memaafkan diri gue sendiri. Sorry, Dim...”

Tidak ada perubahan apa pun pada sikap Dimas. Parasnya terlihat biasa-biasa saja. Tidak ada mimik kesal atau kecewa. Dia cuma tersenyum sambil berkata, “OK, kalo begitu.”

Kembali setan lewat. Kami berdua terdiam cukup lama. Masing-masing terbawa pada pikirannya sendiri. Sekelompok burung gereja terbang memasuki taman mencari makanan yang mungkin bisa ditemukan di sana.

“Vina apa kabar, Bud?” Sekonyong-konyong Dimas menanyakan istri saya.

“Baik. Dia juga kirim salam tadi.”

“Salam balik, ya. Gue suka sama Vina. Elo beruntung banget bisa punya istri kayak dia.”

“Makanya lo cari istri, dong, Dim.” Saya tidak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk bertanya.

“Udah gue cari ke mana-mana gak ketemu, Bud.”

“Lo lupa narok atau gimana? Kok bisa gak ketemu?” tanya saya bercanda,

“Udah gue cari di kolong-kolong tetap gak ketemu,” timpal Dimas.

“Hahahahahaha...” Kembali ngakak berdua

Setelah puas ngobrol, akhirnya saya pamit dari rumah itu. Sepanjang perjalanan, saya beberapa kali menarik napas panjang. Pertemuan dengan Dimas memberi pelajaran hidup yang aneh. Dimas betul-betul tokoh yang unik. Dia cukup ganteng tapi tidak menikah. Meskipun demikian, dia tidak hidup sendiri tapi ditemani dua perempuan yang lumayan cantik, namanya Cassey dan Daryll. Hehehe...

Pilihan yang diambil Dimas, meskipun kontroversial tapi cukup masuk di akal. Kalau saya mengidap kanker stadium 4, rasanya saya juga akan mengambil pilihan seperti yang dilakukan Dimas. Nikmati hidup selagi bisa. Mati di rumah sakit dengan selang-selang di tubuh pastinya bukan cara mati yang menyenangkan.

Eh? Emang ada cara mati yang menyenangkan? Tauk, ah. Hehehehehe....

Bersambung...

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.