EMAK-EMAK GAPTEK YANG REVOLUSIONER

Pandemi yang hadir di Indonesia sejak awal 2020 memang telah mendongkrak jumlah perempuan pengguna internet. Mau tidak mau, perempuan harus menenggelamkan diri ke dalam arus dunia digital yang deras, sebagai usaha untuk adaptif dan survive di tengah pandemi Covid 19. Sektor pendidikan, kesehatan dan, tentu saja, e-commerce, meningkat pesat dengan penggunanya adalah kaum perempuan. Tapi tetap saja masih sering terdengar kalimat, "Harap maklum ya, ini emak-emak gaptek, jadi lemot!" Begitulah, ternyata tidak mudah bagi perempuan untuk serta merta mendigitalisasi diri meskipun era digital itu sudah hadir di depan mata.
Kesenjangan digital memang sangat terasa antara laki-laki dan perempuan dalam hal pola pikir dan ketrampilannya. Itulah yang menyebabkan mengapa sampai sejauh ini industri digital masih menempatkan perempuan sebagai konsumen dan memandang sebelah mata perempuan sebagai creator ataupun developer. Padahal disisi lain, kualitas perempuan Indonesia sebagai aset bangsa pastinya tidak diragukan lagi, seiring banyaknya muncul perempuan-perempuan berprestasi dan inspiratif di berbagai bidang. Ketertinggalan ini membutuhkan respon yang cepat dan tepat dari berbagai pihak. Bagi perempuan sendiri, menjadi cerdas dan memiliki skill menunjang dalam ranah digital adalah PR terbesarnya.
Cerdas dan Memiliki Skill
Digital Intelligence Quotient (DQ) adalah penggabungan antara kemampuan sosial, emosional dan kognitif yang membantu seseorang untuk menghadapi tuntutan hidup di dunia digital. Menurut DQ Institute, kemampuan ini berakar pada pengetahuan dan juga nilai-nilai kemanusiaan seperti integritas, rasa hormat, empati dan lainnya. Maka jelas bahwa kecerdasan digital diperlukan oleh semua pelaku di dunia digital, baik itu pengembang ataupun pengguna.
Sebelum lebih jauh menggagas ide-ide kesetaraan dengan label female developer, female leader dalam ranah industri digital, sebaiknya perempuan lebih dulu memahami etika dan aturan main dalam menggunakan sarana digital. Nyatanya, skill yang tinggi tidak hanya dibutuhkan untuk menciptakan dan mengoperasikan produk-produk digital saja tetapi juga dibutuhkan untuk menerapkan nilai-nilai kemanusiaan di dalamnya.
Media sosial adalah panggung digital yang umum dipakai masyarakat untuk menunjukkan eksistensi diri. Kepemilikan berbagai akun media sosial bahkan dipandang sebagai identitas kemodernan manusia di era digital. Lalu bagaimana para perempuan masa kini menggunakan media sosial mereka?
Dalam sebuah kesempatan, seorang CEO dari sebuah perusahaan besar di Indonesia pernah bercerita tentang kebiasaannya saat wawancara kerja calon karyawan. Tak perlu waktu lama untuk mengetahui apakah calon karyawan itu adalah orang yang dicarinya atau bukan. Cukup mengajukan satu pertanyaan mendasar dengan durasi sekitar lima menit saja. Selebihnya hanya perlu melihat semua akun media sosialnya. Jika terdapat satu saja unggahan tentang hal-hal negatif dalam media sosialnya, maka bisa dipastikan yang bersangkutan tidak lolos tes wawancara. "Mencari orang pintar itu susah, tapi mencari orang pintar dengan good attitude itu susahnya minta ampun," imbuhnya.
Prinsip utama dari kehadiran teknologi adalah humanisasi bukan dehumanisasi. Mengumpat, menghujat, mengutuk, merundung, menghakimi, menyebar fitnah, menyebar hoax dan hal-hal negatif lainnya adalah hal yang banyak kita temui di media digital. Lebih memprihatinkan lagi, tidak jarang materi seperti itu justru mendapat simpati atau dukungan dari masyarakat. Dan bukan rahasia lagi bahwa kebiasaan tidak berfikir sebelum bertindak telah membudaya di dunia digital. (Kan bisa meminta maaf setelahnya?)
Perempuan harus berani memulai pergerakan yang revolusioner dengan melibatkan Digital Intelligence Quotient (DQ) saat ‘mendiami’ dunia digital. Perempuan harus mampu menjadi pelopor dalam mewujudkan generasi yang cerdas di era digital.
Kaum Revolusioner
Sejarah pergerakan Indonesia banyak mencatat tentang peran perempuan sebagai pelopor pergerakan yang revolusioner. Tokoh perempuan besar yang selalu diabadikan pikiran dan karya-karyanya adalah R.A Kartini. Bukan hanya di Indonesia, bahkan dunia juga mencatat dan mengakui kehebatan kaum perempuan dalam mengubah sejarah peradapan.
Mengutip dari “Adakah Air Mata Untuk Orang-Orang Tak Bersalah?” yang ditulis oleh Linda Christanty, bahwa dalam peradapan bangsa-bangsa di Amerika Utara, yaitu bangsa Cheyenne, meletakkan hidup mati bangsanya pada kaum perempuan. Semboyannya adalah, “Sebuah bangsa tidak dapat ditaklukan hingga hati para perempuannya takluk. Setelah itu segalanya berakhir, tidak peduli seberapa beraninya para pejuang ataupun seberapa canggihnya senjata mereka”.
Apakah tidak terlalu berlebihan untuk menyerahkan misi revolusioner di era digital ini pada emak-emak yang gaptek tadi?
Terlepas dari segala keterbatasan yang dimiliki, perempuan memiliki kesempatan yang selebar-lebarnya untuk melakukannya di dalam keluarga, seiring kapasitasnya sebagai ibu, sang pendidik generasi bangsa. Anak-anak akan melihat dan mengadaptasi perilaku ibunya dalam berfikir dan bertindak di dalam dunia digital. Itulah mengapa, sebuah bangsa menumpukan harapan terhadap keberhasilan generasi bangsa kepada kaum perempuan.
Memiliki literasi digital adalah awal yang harus ditempuh, yakni memahami cara untuk mendapatkan informasi menggunakan media digital, membaca artikel atau berita dan bisa mengkritisinya dengan cerdas. Literasi digital mutlak diperlukan untuk menghindari beredarnya berita palsu atau hoax.
Literasi digital adalah sebuah bentuk respon terhadap perkembangan teknologi yang pada akhirnya mampu meningkatkan keinginan membaca dan mendukung seseorang untuk memiliki kemampuan membaca. Beberapa elemen prinsip yang mendukung literasi digital antara lain, daya pikir yang kritis dalam menyikapi konten, kreatifitas untuk menciptakan hal-hal baru, kepercayaaan diri, tangung jawab, prinsip kultural.
Perempuan dikaruniai kekuatan istimewa dibalik kodrat keibuan yang dimilikinya. Perempuan adalah sosok berdaya tinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Perempuan diharapkan untuk terus berupaya mencerdaskan diri dan meningkatkan ketrampilan dalam dunia digital. Sejarah akan kembali mencatat jika di era digital ini perempuan kembali menjadi pelopor perubahan yang bermuara pada kecerdasan bangsa.
Bacaan : Wikipedia, “Adakah Air Mata Untuk Orang-Orang Tak Bersalah?” yang ditulis oleh Linda Christanty
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.