Akhirnya, tibalah hari keberangkatan kami ke Perth, Australia Barat. Dari segala penjuru Jabodetabek, di hari tertentu itu kami bertiga meluncur ke Terminal 2F Bandara Sukarno Hatta.
Tiba di sana, aku mencari Kak Drup, sepupu yang datang dari Pondok Bambu. Komunikasi via grup WA awalnya lebih lancar daripada perjumpaan fisik. Mungkin, karena konsentrasiku pecah sebab harus ke kamar kecil terlebih dahulu, begitu aku sampai di bandara. Wida, sepupu paternal Kak Drup yang datang dari Tangerang Selatan—aku adalah sepupu maternalnya—juga sudah di tiba. Tapi, entah terselip di mana.
Cari mencari, lalu di kejauhan aku melihat cucu-cucu Kak Drup yang lucu-lucu. Aku pun ngebut mendorong trolly bagasi-ku ke arah mereka. Begitu gembira karena bertemu dengan Kak Drup, tapi juga aku memang selalu senang bila bertemu dengan bocil-bocil, yang sayangnya takkan ikut dalam perjalanan kami itu.
"Wida sudah di dalam, menunggu di Saphire Lounge, dekat Imigrasi," Kak Drup, yang bernama lengkap Drupadi, menjelaskan.
Aduh, informasinya banyak sekali, tapi di kepalaku yang terbayang malahan batu cincin blue sapphire.
Kami lalu masuk area check in. Sebenarnya, kami sudah check in secara online terlebih dahulu, yang dilakukan oleh Raza, suami Ami. Ami dan Raza adalah orang-orang yang akan kami kunjungi di Perth nanti. Ami itu adik kandung dari Kak Drup. Demikian penjelasannya.
Yang belum di-check-in-kan adalah bagasi kami. Deretan checking in counter yang sangat banyak itu, ramai bagai pasar malam. Antriannya panjang dan berdesak-desakan. Rombongan tour dan rombongan umroh menggerombol di sana sini. Banyak calon penumpang yang sok bego lalu menyelak antrian. Duh, benar-benar deh. Lucu juga sih, bahwa riuh rendah di bandara ini bagai di pasar saja layaknya.
Kak Drup dan aku sabar saja mengantri. Tanpa sadar bahwa kami adalah penumpang prioritas, yang sebenarnya tak perlu bergabung dengan para rakyat jelata yang tak sopan ini. Kami baru tahu ketika melihat koper-koper kami tampak menyandang stiker priority dengan sombongnya, saat conveyor membawanya ke tarmac.
Baiklah, sampai bertemu di benua Austalia, koper!
Kelar check in koper, kami berdua menuju gerbang Imigrasi. Ada dua metode untuk proses Imigrasi. Cara lama di mana petugas akan memeriksa dokumen perjalanan secara manual, dan mencap-nya dengan manual juga.
Cara kedua adalah secara digital. Ada beberapa pos digital yang masing-masing dijaga petugas. Mereka ini ditempatkan hanya untuk membantu prosesnya saja. Berhubung ini adalah cara yang masih baru dan dikhawatirkan bahwa masih akan banyak kegagapan terjadi. Dan, memang begitulah yang terjadi, yang bahkan membuat para petugas itu ikutan bingung.
Karena paspor kami ber-chip, dan kami lihat antrian di pos digital pendek-pendek, maka kami ke situ. Namun, jalannya proses yang digital ini sungguh sangat tak lancar, begitu tersendat-sendat. Mereka yang mencoba melaluinya, kebanyakan gagal. Padahal, istruksi sudah dilakukan semisal dengan melepas kacamata dan lainnya. Akibatnya, meski antriannya tak panjang, barisan tak maju-maju juga.
Kulirik ke sisi kiri kami. Ke tempat Imigrasi manual yang semua antriannya panjang mengular, namun jelas terlihat bergerak lancar.
"Kita ke Imigrasi gebuk aja yuk," aku mencolek Kak Drup.
"Eh, apa tuh?" tanya Kak Drup.
"Itu tuh, Imigrasi yang pake stempel manual," jelasku sambil menunjuk. "Antriannya malah lancar tuh".
Kami pun pindah ke antrian sebelah, dan, memang benar, proses pun berjalan cepat dan lakip-3pwep3ncar. Hanya sebentar mengantri, kami sudah selesai dengan proses keimigrasian yang diperlukan. Kami lalu melenggang ke Saphire Lounge, untuk bergabung dengan Wida yang dari tadi sudah menunggu di sana.
Saat pulang dua minggu kemudian, setibanya kami kembali di Bandara Sukarno Hatta, pelaporan di Imigrasi-nya sama sekali tak ribet. Counter yang ada hanya yang gebuk saja. Tapi, masih ada satu proses lagi yang kemudian harus kami lalui sesudahnya.
Kalau dulu sebelum mendarat penumpang dari luar negeri harus mengisi slip deklarasi, kali ini berbeda. Yang harus kami lakukan adalah memotret QR code, yang ada di mana-mana di area pengambilan bagasi.
Sayangnya, sampai jenggotan pun tak juga kami berhasil melalui proses scan, yang harus dilakukan dengan telepon genggam tersebut. Tak ada petugas di sekitarnya untuk ditanya atau diminta bantuan. Jadi, akhirnya kami langsung saja menuju ke pintu ke luar. Di mana ada petugas yang akan mengecek hasil scanning QR code.
Tampang petugasnya lumayan jutek. Saat itu waktu belum lagi menunjukkan pukul 6 pagi. Jadi, mungkin nyawa beliau belum ngumpul karena dinas di jam yang sangat pagi. Atau, nyawanya sudah jauh berkurang karena belum tidur akibat dinas dari semalam.
Kak Drup menjelaskan kesulitan kami dengan si QR code tadi. Dokumen kami dilihatnya, lalu terlihat mukanya tak lagi poker face.
"Nama ibu, Drupadi ya," tanyanya sambil tersenyum.
"Iya, itu nama saya," jawab Kak Drup
*Ini kan nama dari dunia perwayangan," katanya sumringah.
"Iya," kami berdua menyahut seirama.
“Ayahnya suka wayang,” celetukku sok tahu.
Selanjutnya, urusan lancar dan kami meninggalkan sang petugas yang kini tersenyum senang.
"Gara-gara nama Drupadi, urusan kita lancar deh," kata Kak Drup saat kami tiba di luar.
"Iya!" sahutku.
Senang rasa hati kami berdua. Bisa jadi, kami juga sudah meninggalkan rasa senang pada sang petugas. Semoga, berkat itu harinya dan hatinya akan senang terus. =^.^=