SUNYI HATI SUCI

#Cerpen

SUNYI HATI SUCI
Freepik

       Hari menjelang sore ketika Suci turun dari ojek online di sebuah gang di daerah Depok. KRL yang ditumpanginya tadi sedikit tersendat perjalanannya karena truk bermuatan penuh yang mogok di tengah perlintasan.  Malam nanti Suci ingin bertemu dengan teman-teman masa kecil sewaktu Suci masih tinggal di daerah ini.  Ada acara tahlilan atas kepergian Sela, kakak Puput. Jadi selain bertakziah, Suci bisa bertemu dengan teman-temannya lagi. Enam tahun yang lalu, orangtuanya pindah ke Bogor. Suci memilih tinggal di kost tak jauh dari  kantornya di Jakarta Barat. Sedangkan Tia, kakaknya, memilih tinggal tidak jauh dari rumah lama agar anaknya bisa tetap bersekolah didekat situ. Sebulan sekali Suci dan Tia pergi ke Bogor untuk mengunjungi orangtuanya.

     Suci melangkah menyusuri jalan gang berpelur yang bisa dilewati satu mobil hingga tujuh puluh meter ke belakang. Tepatnya hingga ke depan rumah Guntur yang besar. Selebihnya hanyalah berupa gang sempit dengan lebar satu meter. Ya, rumah Guntur adalah salah satu rumah yang besar dan luas. Sementara rumah-rumah lainnya tidak terlalu besar dengan lahan yang tidak luas pula. Wajarlah Guntur tinggal di rumah yang besar, karena ayahnya menjadi salah satu arsitek terkenal saat itu. Dan Ibunya menjadi guru Bahasa Indonesia untuk para ekspatriat. Dulu, Suci pernah menjalin kasih dengan Guntur selepasnya dari SMA. Hanya cinta monyet belaka. Cukup enam bulan saja mereka berpacaran hingga akhirnya berpisah tanpa alasan. Dari kabar yang didengarnya, saat ini Guntur bekerja di sebuah perusahaan pengelolaan ikan di Makassar untuk di ekspor ke Australia. Laki-laki itu pun belum menikah. Sama seperti dirinya saat ini.

     Suci tidak melihat banyak perubahan dari jalan ini. Hanya tembok di kiri dan kanannya yang kini dicat warna-warni seperti tempat-tempat kekinian yang instagramable. Pohon durian yang tumbuh tinggi menjulang itu masih ada. Tanaman melati Belanda yang tumbuh merambat pun masih bercokol di atas tembok. Dulu, tidak ada orang yang berani berjalan di sini sendirian bila malam telah tiba. Banyak cerita seram yang dihubung-hubungkan dengan pohon durian dan bau wangi melati Belanda. Entah benar, entah tidak. Suci belum pernah menemui kejadian-kejadian seram selama tinggal di sini.  Yang pasti, jalan ini memang jarang dilewati orang.

     Suci kembali melangkah. Dilihatnya pohon mangga yang tumbuh di tanah lapang itu berderak diterpa angin sore. Hatinya berdesir lirih. Suci memelankan langkah, lalu berhenti di pinggir lapangan.  Suci pernah bermain ayunan di pohon mangga itu. Sebuah tali tambang diikatkan ke salah satu dahan yang kuat, lalu di ujung yang lain diikatkan ke sebuah ban mobil bekas. Suci dan teman-temannya bergantian duduk memeluk ban bekas itu sambil didorong kencang-kencang agar berayun tinggi. Suci berteriak-teriak ketakutan sementara teman-temannya menertawainya. Suci tersenyum mengingat kejadian itu.

     Suci menatap tanah merah yang dijadikan tempat bermainnya saat masa kanak-kanak dulu. Tanah lapang ini konon pemiliknya adalah seorang keturunan Arab. Entah kenapa, tanah yang luas ini dibiarkan begitu saja hingga dijadikan tempat bermain untuk warga setempat.

     Terlalu banyak kenangan di sana. Dulu, Suci dan teman-temannya bermain adu jangkrik, mencari semut hitam, bemain tak jongkok, mencari peluru dari semak-semak berduri, menerbangkan pesawat kertas, dan banyak permainan-permainan masa kecil yang membuatnya bahagia. Bahkan untuk acara lomba Tujuh Belas Agustusan pun dilaksanakan di sana.  

     Tatapan Suci kembali beralih ke pohon manga yang tumbuh sendiri di antara tanah lapang yang luas. Tiba-tiba Suci merasa sedih. Suci merasa kasihan karena pohon itu begitu kesepian. Sama seperti dirinya. Di usianya yang memasuki angka tiga puluh tahun ini, masih sendiri. Belum ada seorang laki-laki pun yang datang melamarnya. Padahal untuk ukuran wajah, Suci tergolong cantik dengan tubuh yang tinggi seratus enam puluh enam sentimeter dan berat badan yang proporsional. Pekerjaannya sebagai karyawati di sebuah perusahaan swasta multinasional pun tidak membuatnya mendapatkan kekasih hati.

     Kesendirian Suci hingga usianya sekarang membuat orangtuanya gusar. Beberapa kali Ayahnya memintanya untuk mau dirukiah atau didoakan oleh orang pintar. Namun Suci menolak. Ia hanya merasa belum mendapatkan jodoh saja, bukan karena ada sesuatu hal yang membuatnya belum menikah. Lagipula, Suci happy dengan kesendiriannya. Orangtuanya menyerah dan tidak bisa memaksa.

     Deva, teman Suci yang memiliki indra ke enam, merasa kesendirian Suci itu menakutkan. Ia melihat ada aura gelap yang menyelimuti Suci. Deva mengusulkan Suci untuk dimandikan oleh gurunya di padepokan di kaki gunung Semeru. Agar aura hitam itu hilang dan belenggu yang mencengkeram kaki Suci hilang. Namun lagi-lagi Suci menampik usulan itu. Katanya, itu syirik, dosa.

     Bunyi klakson yang keras membuat lamunan Suci buyar hingga membuatnya kembali ke dunia nyata. Sebuah motor matic berwarna merah berhenti didekatnya. Suci melihat laki-laki yang berada di atas sadel motor, yang tanpa mengenakan helm. Aldi, laki-laki itu tesenyum lebar kepadanya.

     “Hai, Ci, ngapain berdiri di sini sendirian? Nggak takut ketempelan?” sapa Aldi ramah.

     Suci tersenyum malu. Diulurkan tangannya ke arah Aldi yang disambut Aldi dengan sumringah.

     “Hai, Al, apa kabar? Kapan datang dari Malang?”

     “Aku baik-baik saja. Tadi siang aku sampai.”

     “Bagaimana Malang?”

     “Baik. Kapan kau mau kesana?

      Suci mengedikkan bahunya.

     “Kau datang sendiri?” Aldi tampak menyelidik.

   “Seperti yang kau lihat.” Suci merentangkan kedua tangannya seraya tersenyum. Cantik sekali.

     Aldi tersenyum. Entah, apa arti senyuman itu.

     “Eh, aku bawa sesuatu untukmu.”

     “Oh, ya? Apa?”

     “Sari Apel dan manisan Apel. Makanan khas Malang. Pasti kau suka.  Nanti deh aku bawakan ke rumah Puput. Aku mau jemput Bapak di rumahnya Dani dulu. Kau sampai malam kan di sini?”

     Suci mengangguk.

     “Aku menginap di rumah Kak Tia.”

     “Oke, kalau begitu sampai nanti.”

     Motor matic warna merah itu melaju meninggalkan Suci. Suci menatap Aldi hingga menghilang di kelokan jalan. Setelah itu, Suci kembali menatap pohon mangga dan membuat beberapa foto selfie.

***

     Di ruang tamu yang luas, Suci, Kia, Puput dan Bona duduk bercanda melemparkan cerita-cerita masa kecil yang konyol. Ya, dulu mereka selalu akrab bermain bersama.  Sejak masa-masa SD dan SMP. Saat SMA, mereka sudah sibuk dengan kegiatan ekstra kurikuler di sekolah masing-masing. Walaupun mereka masih sesekali berkumpul saling bercanda.  Setelah lulus SMA mereka tidak lagi memiliki waktu bersama karena kesibukan kuliah dan sebagian dari mereka sibuk bekerja. Kini mereka semua sudah berkeluarga. Hanya Puput dan Suci yang belum berkeluarga. Sementara Kia sudah menikah dan bercerai dua kali.

     Malam ini mereka berjanji untuk berkumpul untuk mengurai rindu masa kanak-kanak. Acara tahlilan kematian Sela, sudah selesai setengah jam yang lalu. Sayangnya, tidak semua teman bisa hadir.

     “Ada yang masih ingat siapa yang menyembunyikan boneka Barbie milik Mbak Iin?” tanya Kia di antara tawanya. Mbak Iin adalah salah satu anak yang mainannya lebih modern dari anak-anak yang lain. Maklumlah, Mbak Iin termasuk anak dari keluarga ‘sugih’. Mbak Iin pun tidak pernah bermain bersama anak-anak yang lain. Hanya bertegur sapa basa-basi bila bertemu.

     “Siapa lagi kalau bukan Bona dan Rio yang melakukannya? Mereka kan yang paling jail.” sahut Puput.

     Yang lain tertawa. Ya, Bona dan Rio memang terkenal dengan kejailannya. Pernah suatu ketika, Pak Idris yang sedang mencuci sepeda motornya kehilangan ember beserta sikatnya. Padahal Pak Idris sudah mengeluarkannya dari gudang dan menaruhnya didekat motornya. Setelah mencari kemana-mana, tahunya ember dan sikatnya disembunyikan di semak-semak di bawah pohon jambu, tak jauh dari rumah pak Idris.

     “Gara-gara boneka hilang, satu kampung langsung heboh.”

     “Iya, Ibunya Mbak Iin, Tante Darmo, langsung mengadu ke Bapakku. Waktu itu Bapakku masih menjabat Ketua RT.” ujar Bona.

      “Terus?” tanya Suci ingin tahu.

     “Semua anak-anak yang ada di RT sini dikumpulkan malam itu. Lalu kena ceramah satu jam.”

     Suci terkikik. Untung, saat itu ia tidak ikut diceramahi karena sedang membantu Ibu memasak pesanan dari Tante Wati. Ia hanya mendengar cerita itu dari Ibu ketika pulang setelah mengantarkan makanan.

     “Tapi masalahnya, bonekanya dikembalikan dengan cara dilempar ke teras. Setelah itu lewat deh Mamang tukang barang bekas. Karena waktu itu rumah Tante Darmo belum ada pagar besinya, diambil deh bonekanya. Tapi ketahuan oleh Tante Darmo.” ujar Bona

     “Si Mamang tukang barang bekas kena omel deh.” sahut Puput.

     Semuanya tertawa terpingkal, mengingat bagaimana Tante Darmo yang mengomel ke Mamang tukang barang bekas. Tante Darmo memang terkenal dengan ke cerewetannya.

     “Tadi aku bertemu Aldi di lapangan. Katanya siang tadi dia sampai Jakarta.” kata Suci.

     “Iya, aku juga sudah ketemu. Katanya, dia bawa oleh-oleh makanan khas Malang. Mungkin sebentar lagi dia datang.” ujar Puput.

     Ups, ternyata aku terlalu geer. Aku kira Aldi hanya membawakan oleh-oleh untukku saja, ucap Suci dalam hati.

     “Put, aku haus, nih. Masa’ tamu nggak disuguhi minum?” tanya Bona.

     “Oh iya, lupa. Aku udah siapin. Bon, tolong bantu bawa, ya. Ceu Minah udah pulang dari tadi.”

     Puput dan Bona berjalan ke arah dapur. Setelah keduanya menghilang di balik tembok pembatas ruang tamu dan dapur, Kia mendekatkan tubuhnya ke arah Suci, kemudian berbisik. Seakan takut Puput dan Bona masih bisa mendengar perkataannya.

     “Ciee, yang mau ketemu mantan pacar, pasti senang sekali, ya?” goda Kia.

     Suci mengerutkan dahinya.

     “Mantan pacar? Siapa?” Dada Suci berdesir. Apakah Guntur akan datang juga?

     “Siapa lagi kalau bukan Aldi?” ujar Kia masih dengan mimik menggoda.

     Aldi? Kapan Aldi menjadi mantan pacarku? Jadian saja nggak pernah, kata Suci dalam hati.

     “Kia, dengar, ya, aku nggak pernah jadian dengan Aldi.”

     “Masa’, sih? Padahal waktu itu Aldi akan meminangmu. Kebetulan waktu itu aku sedang mengirimkan jahitan ke rumah Aldi. Ibunya yang cerita kalau Aldi sedang bersiap-siap melamarmu,” jelas Kia. “Jadi, kau menolak Aldi? Kenapa? Bukannya Aldi lumayan ganteng?”

     Melamar? Kapan Aldi menyatakan lamarannya? Suci tidak ingat. Apalagi menolak lamarannya? Sumpah, Suci tidak merasa melakukannya. Lagipula, selamaini mereka tidak pernah dekat apalagi jadian. Bahkan Suci tidak pernah menaruh rasa pada laki-laki jangkung berhidung mancung itu. Hatinya hanya untuk Guntur seorang.

     Belum lagi Suci menjawab pertanyaan Kia, terdengar ada suara orang datang. Di pintu masuk, terlihat Toro, Rio, Bastian dan Aldi yang tengah asyik membicarakan pertandingan bola semalam. Pembicaraan pun terhenti.

***

     Sejak pertemuan dengan teman kecilnya, Suci merasa semakin rindu dengan masa kanak-kanaknya yang bahagia. Walaupun yang mereka mainkan adalah permainan anak kampung, namun tidak membuat hilang keceriaannya. Juga, pohon mangga yang rindang daunnya itu seperti tempat berteduh yang nikmat. Entah, berapa umur pohon itu, yang pasti batangnya sudah besar dan pohon itu tidak pernah berbuah sekalipun. Banyak yang bilang, pohon mangga itu adalah pohon berjenis laki-laki sehingga tidak bisa berbuah. Suci mengedikkan bahu, tidak pernah tahu menahu dengan tanaman.

     Ia membuka arsip foto pada ponselnya, dan memandangi sebuah foto selfienya bersama pohon mangga di tanah lapang, yang diambilnya dua minggu lalu. Suci tidak mengerti, mengapa pohon mangga itu membuatnya nyaman terlindungi.

     Ups, mengapa pohon mangga membuatku nyaman begini? Apakah karena daunnya yang rindang dan enak untuk berteduh di saat panas terik seperti yang pernah dilakukannya dulu? tanya hati Suci. Seperti ada sesuatu yang mengajaknya untuk datang kesana. Tiba-tiba ia merasa bulu kuduknya meremang. Seakan-akan, pohon mangga yang angker itu mengeluarkan aura mistis.

     Dengan cepat Suci keluar dari arsip foto dan menaruh ponselnya di meja.

***

     Terrt…  terrt… .

      Ponselnya bergetar di atas meja. Suci mengalihkan pandangannya dari layar televisi ke ponselnya. Diambilnya  ponsel dan melihat ada pemberitahuan pesan yang masuk. Dari Aldi

     'Hai, Ci, lagi libur?'

     'Hai, Al, iya, nih, aku lagi santai di kost.'

     'Jalan denganku, yuk?'

     Suci tahu Aldi pasti bercanda. Tidak benar-benar ingin mengajaknya ‘jalan’, toh laki-laki itu sudah kembali ke Malang.

     'Nggaklah. Aku takut dikepruk istrimu.'

     Suci tahu Aldi sudah menikah. Berarti sekarang sudah enam tahun mereka menikah.  Mungkin sudah dua atau tiga anaknya. Entahlah, Suci tidak menanyakannya saat mereka bertemu dua minggu lalu.

     'Ssstt… jangan kasih tahu orang rumah.'

     Suci hanya memberikan tanda emoticon tertawa.

     Suci kembali mengingat-ingat pembicaraannya dengan Kia, yang mengatakan kalau dulu Aldi ingin melamarnya.  Tapi, kalau memang Aldi berniat melamarnya, mengapa tidak ada pendekatan sebelumnya? Walaupun mereka tumbuh bersama, namun ketika dewasa, pemikiran dan sifat orang bisa berubah. Mereka pernah pergi berdua sekali. Mungkin itu adalah ngedate mereka yang pertama dan yang terakhir. Itu pun hanya sebentar karena Aldi salah memilih tempat. Mereka makan di tempat makan yang ramai sehingga membuat Suci tidak nyaman dan meminta cepat pulang setelah selesai makan. Saat itu, Suci mengira bisa mengobrol di teras rumah. Namun ternyata Aldi langsung pulang setelah mengantarnya hingga depan pintu rumah. Setelah kejadian itu, Suci tidak pernah bertemu Aldi lagi. Kabarnya, Aldi mendapatkan pekerjaan di Malang.

     Suci ingin sekali membicarakan itu. Tapi bagaimana memulainya? Tidak enak membuka luka lama. Apalagi Aldi sudah memiliki keluarga yang bahagia. Tidak seperti dirinya yang di usia tiga puluh tahun ini masih betah menjomlo.

     Aldi mengalihkan pembicaraan per-pesanan ke telepon.

     “Sorry, capek nulis, mending telepon langsung. Biar bisa dengar suaramu yang merdu.”

     “Modus.” ucap Suci pura-pura kesal.

     Aldi tertawa. Renyah sekali.

     “Suci, kau masih ingat dulu kita pernah ngedate, walau cuma sekali?”

     Ups… pucuk di cinta ulam tiba!

     “Iya, hanya sekali.” jawab Suci

     Diam sejenak.

     “Saat itu aku bingung bagaimana mengatakannya padamu. Aku malu. Padahal, aku sudah membawa cincin untuk melamarmu.”

     Suci tersedak. Cincin? Jadi benar Aldi sudah seserius itu?

     “Sorry, aku nggak tau.”

     “It’s oke. Sudah lama berlalu.”

     “Terus, cincinnya mana sekarang? Dijual? Atau kau berikan ke istrimu?”

     “No. Aku buang ke laut.”

     “What? Kok dibuang? Kenapa?”

     “Terus terang, saat itu hatiku hancur dan sangat marah sekali padamu karena kau sudah menolakku. Makanya aku membuang cincin itu biar tidak lagi ingat dirimu.”

     “Sorry, tapi aku nggak ngerti, Al. Kau tidak mengatakan apa-apa tentang cincin dan lamaran saat itu.”

    “Kupikir kau tahu apa yang diinginkan oleh seorang laki-laki yang mengajakmu ngedate. Saat itu kita bukan lagi bocah ABG. Tapi ternyata kau mengajakku buru-buru pulang karena merasa tidak nyaman. Aku malu karena saat itu aku merasa tidak pantas untukmu.”

     “Al, aku tidak bermaksud begitu. Ruangan itu terlalu ramai dan membuatku tidak nyaman. Lagipula, aku ingin kita berbicara di teras rumahku dengan tenang. Tapi kau malah pulang dengan marah.”

     “Aku tahu. Aku bodoh sekali saat itu. Hanya memakai emosi tanpa logika. Terlalu kekanak-kanakan.”

     “Kalau saja kau bicara saat itu, mungkin akan berbeda akhirnya.”

    “Ya, itu yang selama bertahun-tahun mengganggu pikiranku. sejujurnya aku masih menyimpan rasa sayangku padamu.”

    Suci terhenyak. Jadi Aldi masih menyimpan rasa itu padanya. Pantas, beberapa kali Suci mendapatkan Aldi memandangnya dengan tatapan lembut sewaktu di rumah Puput dua minggu lalu.

     “Thanks, Al.”

    “Ci, boleh aku bertanya sesuatu padamu?”

     “Boleh, apa?”

     “Pernahkah kau menyukaiku? Sekecil apapun itu?” tanya Aldi pelan.

    Suci memejamkan matanya. Mencoba mengingat perasaannya terhadap Aldi bertahun-tahun yang lalu. Bahkan ia mencoba menyelam ke dalam hatinya yang paling dalam sekalipun, tetap tak ditemuinya sepotong rasa untuk Aldi. Suci hanya menganggap Aldi teman biasa, seperti Bona dan Rio.

    “Entahlah, Al… .”

    “Aku tahu kau tidak pernah punya rasa suka padaku.”

    “Maafkan aku.”

    “Itu bukan salahmu. Aku yang bodoh karena berani menggodamu. Saat itu kau masih menjadi milik Guntur, bukan?”

    “Well, sebenarnya aku sudah lama putus. Tidak mungkin aku mau pergi dengan pria lain kalau aku masih terikat dengan Guntur.”

    Suci ingat, saat itu Guntur sedang mendekati Triana, teman kuliahnya.

    “Kalau saja aku tahu, pastinya aku akan lebih memperjuangkanmu.”

    “Sudahlah, Al. Itu kan sudah lama berlalu.”

    Diam beberapa menit.

    “Suci, saat kita bertemu dua minggu lalu, aku melihatmu sedang berdiri di pinggir lapangan. Apa yang kau pikirkan?” Aldi bertanya hati-hati.

   “Aku sedang mengingat tentang kebahagiaanku saat masa kanak-kanak dulu bermain di sana.”

    “Juga Pohon Mangga yang angker itu?”

    “Juga Pohon mangga yang dianggap angker itu.”

    Kembali diam sejenak.

    “Maafkan aku.” suara Aldi terdengar tercekat.

    “Untuk apa?”

    “Untuk kebodohanku.”

    “Semua orang pernah melakukan kebodohan, Al. Aku, kau dan orang-orang yang lain.”

     “Apakah ini takdir?”

    “Ya. Buktinya pekerjaanmu sukses, dan kau bahagia bersama istri dan anak-anakmu saat ini.”

     “Itu katamu, tapi kenyataannya? Aku tidak bahagia.”

    Suci hanya diam. Tidak ingin meladeni kata-kata Aldi. Suci tidak ingin pembicaraan ini tentang kekisruhan rumah tangga Aldi belaka. Suci tidak ingin menjadi orang ketiga.

   “Sorry, Al, aku tidak mau mencampuri urusan rumah tanggamu.”

   Klik.

***

    Di sebuah ruko berlantai tiga di Malang, Aldi sedang menelungkupkan kepalanya di meja kerjanya. Ponselnya masih tergenggam erat di tangannya. Pertemuannya dengan Suci dua minggu lalu, telah membuat cinta Aldi kembali membara. Tidurnya tidak lagi pulas. Belakangan ia banyak melamun. Beberapa kali malah Aldi bertengkar dengan istrinya untuk hal-hal sepele.

     Aldi menyalahi dirinya yang telah bodoh mengambil kesimpulan atas lamaran yang tidak pernah disampaikannya kepada Suci. Ia menyesal karena begitu marah karena menyangka Suci menolak dirinya.  Saat itu pikirannya belum matang. Hanya memikirkan ke egoannya. Aldi dengan sombongnya merasa Suci tidak mungkin menolak cintanya. Keluarganya cukup terpandang, walalupun tidak seperti keluarga Guntur. Ya, seharusnya perempuan itu tahu kalau Aldi ingin mempersuntingnya saat itu. Tapi Suci tidak memberikannya waktu untung mengungkapkan perasaannya. Perempuan itu minta buru-buru pulang saat Aldi ingin mengungkapkan perasaannya. Bahkan dari gerak tubuhnya, perempuan itu tidak nyaman berada didekatnya. Aldi merasa tersinggung. Ia ditolak sebelum melamar.

     Aldi menyesal telah menikahi Karina, perempuan yang dikenalnya di kereta saat menuju ke Malang. Aldi merasa dengan menikahi Karina, dapat menyakiti Suci. Namun Aldi salah. Suci tampak tidak bersedih. Malah Suci datang ke pernikahannya bersama Bona dan Rio dengan wajah gembira.

     Aldi juga menyesal telah bersekutu dan membayar mahal seorang dukun untuk memberikan hukuman yang berat pada Suci, perempuan berkulit hitam manis itu. Aldi menyesal telah meminta dukun itu untuk menikahkan Suci dengan pohon mangga di lapangan dekat rumahnya, agar perempuan itu menerima akibat dari aksinya menolak lamarannya. Aldi tidak bisa memiliki Suci, dan Suci juga tidak bisa dimiliki oleh laki-laki manapun. Untuk beberapa waktu Aldi sangat senang karena telah menghukum Suci. Namun ternyata hati kecilnya memberontak. Aldi ikut terluka melihat gadis pujaannya tersakiti. Diam-diam Aldi mencari tahu tentang kabar Suci yang tetap sendiri. Aldi marah karena tidak dapat melepaskan kutukan itu dari perempuan yang pernah dicintainya secara sebelah tangan. Karena kalau Aldi melepaskannya, kutukan itu bisa berbalik kepadanya. Aldi sudah pasti kehilangan istri dan anak-anaknya. Aldi menyesali kemarahan di masa labilnya itu berbuntut penyiksaan terhadap Suci.

     Sekelebat wajah Suci melintas di kepalanya. Suci terlihat cantik dengan senyum yang memperlihatkan gigi gingsulnya. Suci terlihat matang dan cantik. Namun gadis itu tidak pernah dapat dimilikinya. Tidak pernah.

     "Aaarrgghh..!" Aldi berteriak sekencang-kencangnya dan tanpa sadar melemparkan ponselnya ke tembok hingga hancur.

Selesai

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.