Déjà Vu
Terinspirasi dari kisah nyata

Di sekitar tahun 90-an, aku bolos kuliah sekitar sebulan, buat jalan-jalan ke Eropa.
Padahal ujian akhir sudah dekat. Waktunya memang tidak tepat.
Waktu itu kakakku Dina ikut lomba merancang mode di Paris. Dia masuk finalis.
Jadi aku ikut-ikutan ke Paris. Biar bisa liat dia lomba.
Kapan lagi bisa melihat peragaan busana dengan model dan perancang mode terkenal di dunia.
Dina tidak menang. Tapi kami cukup senang.
Dina mendapat tawaran magang dari salah seorang designer Perancis terkemuka.
Tapi sayang karena masalah ijin kerja, dia tidak bisa magang di sana.
Karena sudah terlanjur berada di sana. Kami melanjutkan perjalanan sendiri setelah selesai lomba. Pergi ke beberapa kota lain di Perancis dan ke beberapa negara lain di Eropa. Salah satunya Italia. Buat aku yang waktu itu yang belum pernah ke Eropa. Rasanya semua negara menarik aja. Tapi khusus untuk Italia. Aku memiliki perasaan berbeda yang aku tidak tahu namanya apa.
“Shieni, coba liat tuh bangunan itu, bagus ya? Miring tapi bisa tetap kokoh berdiri ratusan tahun!” kata Dina di Menara Pisa.
“Iya!” kataku asal saja. Perhatianku tidak ke situ.
“Ih kamu mah, sibuk ngeliatin cowok terus, dasar genit!” kata Dina.
“Masih lama nggak?, Aku udah laper nih!” kataku.
“Sabar atuh, baru juga sampe, udah mikirin pulang!” gerutu Dina.
“Kalau masih lama, paling nggak ngemil dulu deh. ada yang jual gelato nggak di sini?” tanyaku yang ketagihan es krim Itali itu.
“Baru sejam yang lalu kita makan gelato, mau berapa kali sehari? kemarin kamu makan 5 kali kan?”
Aku tertawa.
“Dasar, yang dipikirin itu melulu, Kalo nggak cowo, makanan!” kata Dina.
“Liat dong bangunan di sini bagus-bagus, bersejarah!” kata Dina.
“Cowok dan makanan ada di mana-mana, kalau bangunan ini cuma ada di sini! Mumpung kita di Itali harus diapresiasi ” katanya.
“Kamu kan belajar sejarah seni juga, Kenapa nggak tertarik sih?” ujar Dina putus-asa.
Aku kuliah di jurusan visual komunikasi, Dina di desain Mode.
Sama-sama pernah dapat mata kuliah sejarah seni di kampus. Tapi waktu itu aku nggak punya ketertarikan dengan sejarah seni seperti Dina.
Selama kami berada di Itali, Dina yang suka dengan arsitektur, sangat mengagumi arsitekturnya. Bangunan-bangunan tua bersejarah. Kami sering mampir ke toko buku. Dina berburu buku sejarah. Dia punya buku yang memperlihatkan setiap perubahan bangunan dari jaman kuno hingga sekarang.
Kalau aku tidak terlalu terpukau dengan arsitekturnya, yang walaupun bagus, buat aku biasa aja. Karena aku kurang suka benda mati. Lebih suka benda hidup. Alias pria Itali yang ganteng-ganteng. Maklum masih muda dan masih jomblo.
Sebenarnya pria di negara lain juga ganteng. Tapi pria itali lebih menarik, menurutku.
Mungkin karena kulit pria Itali itu lebih gelap, tidak terlalu pucat seperti pria Perancis, Inggris dan Jerman. Jadi terlihat lebih maskulin. Mungkin karena garis rahang mukanya lebih tegas. Mungkin karena lukisan para Master itu kebanyakan dari Itali, model lukisannya ya pria Itali.
Jadi tanpa sengaja menciptakan Beauty Standardnya Pria Itali.
Sebenarnya aku bukan genit. Waktu itu aku belum pernah punya pacar. Jangankan pacaran, tertarik sama laki-laki aja nggak pernah. Sumpah, selama masa SMA dan kuliah aku nggak pernah naksir siapa-siapa.
Waktu TK sih pernah, tapi itu cinta monyet, beda cerita.
Tapi begitu sampai di Italia, di manapun mataku langsung jelalatan, jadi seperti anak kecil di toko mainan. Aku juga heran.
Cuma sayang sifat pria Itali cenderung terlalu ramah, alias terlihat genit menurutku.
Jadi aku cuma suka melihat aja. Nggak ada niat cari pacar di sana.
Sedangkan Dina yang tomboy, tidak tertarik sama sekali dengan pria Itali.
Ada cerita-cerita menarik tentang cowok-cowok di Eropa yang kami temui selama perjalanan. Tapi sabar ya, itu akan aku ceritakan di cerita lain saja. Hari ini aku nggak akan cerita soal itu.
Selama di Eropa, kami bertemu dengan beberapa teman Dina. Ada yang serombongan dari Indonesia karena sama-sama ikut lomba. Jadi setelah lomba ada yang ikut jalan bareng. Dan ada yang memang sekolah di sana, jadi Dina sengaja menemuinya.
“Shieni, di sini pemandangannya bagus ya. Nanti kamu lain kali kalau sudah nikah, datang sama suami, bulan madu di sini!” kata seorang teman Dina.
“Nggak, aku nggak mau bawa suami ke sini!” kataku.
“Kenapa?” tanyanya.
“Soalnya banyak cowok ganteng di sini, mana mau dia bawa suami!” kata Dina yang tahu isi hatiku
“Kalau gitu cari pacar aja di sini, siapa tau bisa jadi suami!” usul teman Dina.
“Nggak mau cari suami orang Itali. Genit-genit!” kataku.
“Jadi maunya gimana?” tanya teman Dina bingung.
“Jangan pake rok, nanti kamu beku kedinginan!” kata Dina.
“Liat nih, aku pake jeans tebal aja dilapis pake Long John!” katanya
“Aku pengen pake rok!” kataku.
“Dibilangin bandel, paling nggak kalo mau pake rok harus pake legging. jadi lumayan hangat.” katanya.
Jadi aku kompromi pake legging pinjaman dari Dina, yang sebetulnya kebesaran karena dia lebih tinggi.
Ternyata benar walau sudah pakai legging masih dingin.
“Nih pake jaket biar nggak dingin!” kata Dina menyodorkan jaket tebal.
“Nggak mau, pake jaket tebal jadi jelek, badan jadi ngga berbentuk!” kataku.
“Emangnya mau fashion show? Dasar genit! Rela kedinginan demi mejeng!” kata Dina kesal.
“Perhatiin tuh bangunan-bangunan tua bersejarah!, jangan perhatiin cowok terus!” kata Dina sepanjang jalan.
Aku berusaha memperhatikan bangunan-bangunan tua itu, mengikuti petunjuk Dina.
Dina menceritakan sejarah setiap gedung yang kami kunjungi.
Heran gimana dia bisa hapal semuanya. Tahun berapa didirikan, siapa pendirinya dan kisah apa dibalik semua gedung itu. Padahal aku juga belajar sejarah seni. Tapi tidak ada yang nyangkut di kepalaku.
“Dosen sejarahku pinter soalnya, menarik ceritanya!” kata Dina.
Apakah dosen sejarahku yang membosankan? Atau aku aja yang tidak tertarik?
Walaupun setelah mendengar cerita cerita Dina, bangunan bangunan itu menjadi lebih menarik bagiku. Tapi yang menarik perhatianku bukan bangunan bersejarah yang banyak dikunjungi turis. Tapi bangunan tua biasa, rumah rumah penduduk yang kami lewati di lorong lorong sempit. Entah kenapa. Ada perasaan aneh saat aku melewati lorong lorong sempit itu.
Seolah-olah aku pernah tinggal di sana. Padahal itu adalah pertama kalinya aku ke Italia.
Aku sama sekali tidak bisa bicara bahasa Italia. Bahkan beberapa kata saja tidak bisa.
Berbeda dengan Perancis. aku sedang belajar bahasa Perancis, walau levelnya masih rendah. Jadi saat berkunjung ke Perancis, walaupun tidak fasih, aku bisa melakukan percakapan sederhana. Seperti memesan makanan di restaurant, menanyakan arah jalan.
Pernah aku menunggu Dina selama lebih dari sejam di stasiun kereta api di Itali.
Selama itu aku bercakap-cakap dengan seorang nenek yang sama sekali tidak bisa bahasa Inggris. Tapi nenek itu terus berbicara selama 1 jam. Dan anehnya aku mengerti isi pembicaraannya. Aku awalnya tidak sadar akan hal itu, sampai saat Dina tiba.
“Kamu ngomong apa sama nenek itu? Dia ngomong Itali, emang kamu ngerti?” tanya Dina.
Aku tersentak. Selama satu jam aku bercakap-cakap dengan nenek itu. Aku tidak sadar dia berbicara dalam bahasa Italia.
Heran kenapa saat bertemu orang Italia, Aku seolah mengerti percakapan mereka. Tidak mengerti kata-perkata. Tapi seolah aku tahu apa yang mereka bicarakan.
Kalau orang bertanya, aku menjawab dalam bahasa inggris. Tapi aku mengerti pertanyaannya tanpa sadar.
Padahal kalau berbicara bahasa Perancis pun, aku masih sering bertanya. Masih sering tidak mengerti, masih belum fasih walau sudah beberapa tahun belajar.
Bahasa Itali ini aku tidak bisa sama sekali.
Tapi aku kok bisa mengerti tanpa bertanya?
Tidak bisa berbicara, tapi kok bisa mengerti?
Kami mengunjungi beberapa kota di Italia. Salah satunya adalah Venice.
Saat kami berada di Venice, sedang berfoto di kota terapung itu.
Tiba tiba Dina berkata,”Kok aku seperti Déjà Vu di sini ya?”
“Déjà Vu itu apa sih?” tanyaku yang agak oon. Maklum aku tidak sepintar Dina.
“Déjà Vu tuh apa ya artinya? Pokoknya sepertinya kita pernah berada di sini sebelumnya!” katanya.
“Kan emang kamu pernah ke sini!” kataku.
“Ke Eropa iya pernah, Tapi Ke Venice baru kali!” kata Dina.
“Aku juga merasa begitu, kayaknya udah pernah ke Itali! Tapi bukan di Venice, aku Déjà Vu waktu di Florence ” kataku.
“Ah kamu mah ikut-ikutan aja!” kata Dina.
“Enggak ikut-ikutan, emang bener!” kataku berusaha menyakinkan Dina.
Aku memang dulu suka ikut-ikutan kakakku. Kalau dia pake baju apa, aku ikutin. Dia suka makan apa, aku ikutin juga. Dia kursus Perancis, aku ikutan. Padahal dia kursus Perancis supaya bisa digunakan di Perancis. Karena dia sekolah mode, jadi kiblatnya Perancis.
Harus bisa bahasa Perancis biar bisa mengikuti perkembangan Mode.
Sedangkan aku tidak tau fungsinya apa belajar bahasa Perancis. Cuma ikutan aja.
Dia jalan-jalan ke Eropa mau lomba, aku ikut-ikutan juga.
Hotel yang kami tempati di Venice adalah gedung tua.
Tapi bukan tua antik cantik, tapi tua dan jelek.
Karena uang kami pas-pasan, kami memilih tinggal di hotel ini karena murahnya.
Furniturenya tua. Sarung bantalnya tidak serasi. Bukan Putih seperti standard hotel umumnya.
“Jelek amat hotelnya.” keluhku.
“Venice lebih mahal dari kota lain di Itali. Ini yang paling murah” kata Dina.
“Nggak apa apa lah, kan kita cuma buat tidur aja, kan siangnya kita pergi terus” katanya.
“Iya juga sih.” kataku sambil merebahkan diri.
Karena kelelahan seharian berjalan, aku tertidur lelap.
“Hey bangun, jualan kok malah tidur!” teriak seseorang memaksaku membuka mata.
Ternyata aku sedang menjajakan dagangan di jalan raya. Semacam kaki lima.
Tapi cuma ada sekotak kayu yang tergantung dengan tali di leherku aja.
Kotak berisi cemilan dan rokok.
Kupandang bangunan bangunan tua di sekelilingku.
Ini bukan Venice, suasananya persis seperti kota Florence yang kulihat beberapa hari lalu.
Tapi terlihat baru, tidak setua waktu itu.
Seolah aku mundur ke beberapa abad yang lalu.
Kulihat bajuku, kemeja dan celana lusuh.
Kaki dan tanganku kotor dan kasar, padahal biasanya halus.
Kuraba wajahku, mancung, ini bukan hidung pesekku.
Tulang rahang wajahku jadi tegas keras. Rambut panjangku berubah pendek.
Kok aku jadi seperti laki-laki?
Kulihat beberapa pria di depanku, mereka terlihat tinggi dibandingkan aku.
“Kasih kami rokok!” seru seorang pria.
Pria yang lain langsung mengambil sendiri rokok dari kotakku.
Lalu mereka pergi.
“Pak, tunggu pak, bayarannya belum!” teriak aku.
“Hey bocah bodoh, berani kamu nangih bayaran ke kita ya?”
“Kamu lupa kami siapa?”
Aku bingung. Siapa mereka?
Mereka lalu memukuli aku.
“Stop, stop, jangan, Maafkan anak bodoh ini!” kata seorang wanita tua tiba-tiba datang.
“Ayo minta maaf ke mereka!” kata wanita itu.
“Tapi mereka belum bayar!” kataku.
“Sttt, diam, jangan ribut!” kata wanita itu.
“Pergilah, dia punya masalah mental, rada gila, maafkan ya!” kata wanita itu meminta maaf pada bajingan itu.
Mereka pergi meninggalkan kami.
“Aku kan nggak gila, kenapa kau bilang gila?” tanyaku.
“Sudah kubilang jangan cari ribut dengan mereka, mereka anggota mafia, bukan tandingan anak kecil seperti kamu. Jangan cari mati!” kata wanita itu.
“Kalau kamu nanti sudah besar, jadilah pria yang baik, jangan jadi bajingan seperti mereka ya!” dia menasehati aku.
Wanita itu membawaku ke rumahnya dan mengobati luka-lukaku.
“Kasihan kamu sudah yatim piatu, sebentar lagi kamu ulang tahun, nanti aku buatin kue ya!” kata wanita itu. Rupanya bernama Anna, dia tetanggaku. Setelah mengobati lukaku, dia mengantarku ke sebelah rumah. Rumah yang sangat sederhana.
“Datanglah ke Rosalinda, minta bantuan! Aku yakin dia akan membantumu memberi uang.” katanya.
Aku terdiam. Aku tidak tahu siapa Rosalinda.
“Jangan takut, nanti aku temani!” katanya.
Kulihat wajahku di cermin. Tampak wajah seorang remaja pria Italia.
Sekitar berumur 13 tahun. Tubuhku kurus-kering. Tidak jelek, tapi terlihat rapuh. Seluruh tubuhku penuh luka.
Aku terbatuk.
Anna memberikan aku minum.
“Kamu harus minum obat, kamu kayaknya kena sakit paru-paru! kebanyakan kedinginan berdagang malam di jalanan sih!” kata Anna.
“Pakai ini, biar kamu nggak kedinginan di jalan” Anna memakaikan sebuah jaket tebal ke tubuhku. Lalu ia meraih sarung tanganku yang sudah robek-robek, Anna menjahitnya.
“Terima kasih bu!”
Aku mengintip ke sebuah ruangan di gedung mewah itu. Ruangan itu penuh dengan gadis-gadis Italia yang jelita dan pria-pria gagah.
Seorang wanita yang sangat cantik sedang duduk di sofa di kelilingi banyak pria Italia.
Rambut coklatnya lebat, panjang bergelombang. Dia mengenakan gaun merah yang indah dengan belahan dada rendah. Buah dadanya besar, tapi pinggangnya kecil. Liuk tubuh yang sempurna dengan proporsi seimbang.
Para pria itu mengenakan pakaian yang terlihat mahal dan merokok cigar. Mereka asik bercengkrama dan tertawa-tawa. Sepertinya dia primadona di situ. Karena mayoritas pria mengelilinginya. Dibanding gadis-gadis lain disekitarnya yang hanya punya satu dua tamu.
Anna masuk dan membisikkan sesuatu pada gadis itu dan segera kembali lagi kepadaku.
“Rosalinda bilang tunggu sebentar, sampai tamu-tamunya pulang. Setelah itu kamu bisa menemuinya!” kata Anna.
Aku menunggu di situ.
Sambil menunggu, aku mengintip mereka. Ruangan itu cantik dengan sofa yang empuk dan perabot yang cantik. Banyak makanan enak di situ. Semua wanita mengenakan gaun yang indah, make-up sempurna dan hiasan rambut yang menawan.
Kulihat diriku yang dekil. Seadainya aku jadi wanita. Aku bisa mengenakan pakaian indah seperti itu.
Bisa menikmati hidangan yang lezat itu. Aku mulai berkhayal, seandainya aku jadi wanita, mungkin aku bisa secantik Rosalinda.
Tidak akan ada lagi orang yang memukuli aku. Tapi mereka akan mengagumi aku seperti mereka mengagumi Rosalinda.
Beberapa jam kemudian, akhirnya aku bisa menemui Rosalinda.
“Oh adikku sayang, aku kangen. Sudah lama banget kita nggak ketemu!” kata Rosalinda sambil memeluk dan mencium pipiku. Lipstik merahnya menempel di pipiku. Kulit wajahnya yang putih menjadi kemerahan karena senang.
“Dia takut, dia sering dipukulin penjaga kalau datang ke sini!” kata Anna.
“Aduh kenapa kamu penuh luka begitu? Apa dipukuli penjaga?” tanya Rosalinda.
“Yang itu bukan penjaga, dia dipukulin anak buah mafia! Mereka mau rokok, adikmu minta bayaran!” kata Anna.
“Siapa nama mereka? Nanti aku laporin sama boss mereka, Bernardo!” kata Rosalinda.
“Sudahlah tidak usah cari ribut!” kata Anna.
“Tapi Bernardo tergila-gila sama aku. Dia pasti mau membantuku! Aku nggak mau adikku semata wayang jadi babak belur begini!” kata Rosalinda sambil membelai rambutku.
“Biarpun dia suka kamu. Tapi jangan terlalu dekat dengan Bernardo. Dia boss mafia, berbahaya! Suatu hari kalau dia marah, kamu juga bisa jadi korbannya!” kata Anna memperingati.
“Kamu sudah makan belum? Ini aku punya banyak makanan enak, bawalah!” kata Rosalinda.
“Jangan, nanti kalau Madam kamu tahu dia bisa marah!” kata Anna.
“Aku yang paling banyak menghasilkan uang di sini, Madam tidak akan marah padaku!” kata Rosalinda dengan percaya diri.
“Dia nggak marah sama kamu, tapi adikmu bisa jadi sasaran! Dia kan nggak tinggal di sini, kalau mereka mendatangi dia di jalanan gimana?” kata Anna.
Aku melihat banyak makanan lezat di meja. Perutku menjadi tambah lapar.
Kuraih sebuah kue strawberry yang terlihat lezat, cepat-cepat kulahap kue itu sebelum ketahuan Madam.
Rosalinda tertawa melihatku. “Hati-hati nanti kamu tersedak!”
Dia menyodorkan sebuah jus anggur kepadaku,”Minum nih, ini jus, bukan arak!”
Betapa enaknya hidup Rosalinda di sini
“Enak ya kakak hidup di sini banyak makanan lezat!” kataku.
“Kamu masih kecil, nggak ngerti. Aku nggak suka hidup di sini. Seperti dikurung di sangkar emas. Harus melayani semua laki-laki yang datang. Aku nggak bisa hidup normal seperti wanita lain yang bisa berkeluarga dan punya anak!” kata Rosalinda. Mata besarnya yang indah dengan bulu mata lentik dan alis tebal itu menjadi basah.
“Kamu primadona di sini, bersyukurlah hidup kamu enak bisa tinggal di tempat mewah. Tidak seperti adikmu yang sering dipukuli orang jualan di jalanan! Sekarang dia sakit paru paru pula” kata Anna.
“Ini uang untuk kamu, hati-hati jangan dicuri lagi!” kata Rosalinda menyodorkan uang untukku.
“Terima kasih kak!” kataku.
“Ayo kita pergi, jangan lama lama di sini, Kalau ketahuan mereka, kamu bisa dipukuli lagi!” kata Anna. Kami bergegas pergi.
Langit sudah mulai gelap. Kami berpisah di jalan.
Anna pergi ke tempat kerjanya, aku kembali bekerja menjajakan jualanku di jalan.
Tak lama kemudian segerombol pria datang menghampiriku.
Mereka mengambil beberapa rokok tanpa membayar.
Kali ini aku akan membiarkan mereka pergi. Biar mereka tidak memukuli aku lagi.
Tapi kemudian salah seorang dari mereka berkata.
“Tadi aku lihat kamu pergi menemui Rosalinda, dia kasih uang ke kamu ya? Mana uangnya?”
Dia segera mencari uang di saku bajuku dan merampas semuanya.
“Jangan, itu uangku untuk makan sebulan!” kataku.
“Minta aja lagi sama Rosalinda, dia kan primadona. Berapa ratus laki-laki yang dilayaninya tiap bulan. Pasti banyak duitnya!” kata seorang pria.
Mereka tertawa.
“Jangan! balikin uangku!” kataku sambil berusaha merebut uangku kembali.
Mereka mulai memukuli dan menendangi aku.
Sekujur tubuhku terasa perih.
Aku tersungkur jatuh, tubuhku penuh darah.
Mereka masih terus menganiaya aku, hingga aku kehabisan tenaga, tak sanggup melawan lagi.
Bagaimana aku bisa bertahan hidup seperti ini? Bagaimana aku bisa beranjak dewasa nanti, kalau aku lemah begini?
Aku tahu waktuku tinggal sebentar lagi.
Bila aku bisa diijinkan hidup lagi, aku tidak mau jadi laki-laki.
Hidup jadi laki-laki serba sulit, dipukuli setiap hari.
Aku ingin jadi wanita saja. Yang cantik seperti Rosalinda.
Walaupun dia tidak suka hidupnya, Tapi masih lebih baik daripada terus dipukuli begini.
Akhirnya aku menyerah, napasku terhenti. Setelah tahu aku sudah tidak bernyawa, baru mereka pergi.
“Bangun Shieni, udah siang, jangan tidur melulu, ayo cepat siap-siap, biar kita bisa cepat pergi!” kata Dina.
“Oh, aku mimpi aneh semalam” kataku sambil mengeliat, masih mengantuk.
“Masa aku jadi remaja laki-laki, di Itali di jaman dulu….” Aku baru mau bercerita.
“Udah simpan dulu ceritanya, mandi dulu. Nanti ceritanya di jalan aja” potong Dina.
Cepat-cepat aku mandi.
Siang itu ketika kami sedang jalan-jalan kuceritakan mimpiku pada Dina.
“Kurang asem, masak aku jadi pelacur di mimpi kamu!” kata Dina kesal.
“Yah itu kan mimpi, emang bisa diatur?” kataku.
“Apa mungkin itu masa lalu kita ya? Kalau reinkarnasi itu ada, mungkin dulu kita orang italia?” kataku.
“Mungkin karena dulu kamu udah bosan melayani segudang laki-laki, sekarang jadi tidak tertarik lagi ngeliat cowo itali yang ganteng-ganteng!” kataku.
“Ah dasar! Kita kristen, nggak boleh percaya reinkarnasi!” kata Dina.
“Tapi kok kita suka Déjà Vu di sini?” tanyaku.
“Kan aneh?” kataku.
“Tapi aku Déjà Vu-nya di Venice, Kamu kan di Florence. Masa beda kota?” kata Dina.
“Iya kan mungkin aja kamu dulu pindah ke Venice, siapa tau diajak boss mafia pacar kamu itu. Tapi aku enggak ikut pindah, kan udah keburu mati!” kataku.
“Sudahlah nggak usah ngebahas begituan, tuh ada toko yang jual Gelato, mau nggak?” kata Dina mengalihkan perhatian.
Aku menggigil kedinginan.
“Nih pake sarung tangan, bandel sih nggak mau pake sarung tangan, liat tangan kamu sampai pecah-pecah berdarah gitu!” kata Dina menyodorkan sarung tangan.
“Abis warna sarung tangannya nggak cocok sama baju aku!” kataku
“Udah ga usah mikirin bergaya, lagi winter gini harus pake sarung tangan! Dasar Bego, genit amat sih!” kata Dina.
Terpaksa kukenakan sarung tangan Dina yang merah itu.
“Untung aku bawa sarung tangan cadangan” kata Dina.
Kami berjalan menuju toko gelato.
Sambil menikmati gelato, aku melihat-lihat foto hasil jepretan Dina.
Kebanyakan foto pemandangan dan foto aku. Cuma sedikit yang ada Dinanya. Dia memang tidak suka dipotret.
Aku heran kenapa Dina jadi tomboy dan tidak suka dandan. Padahal dia kuliah di jurusan Mode. Bertolak-belakang dengan aku yang suka memperhatikan penampilan.
Apa mungkin karena masa lalu kami?
Kalau seandainya reinkarnasi itu benar.
Mungkin secara bawah sadar, Dina sudah bosan melayani banyak pria dan takut jadi wanita seperti Rosalinda lagi. Makanya tanpa sadar melindungi diri dengan gaya tomboynya. Mungkin itu sebabnya dia tidak pernah tertarik dengan pria.
Sedangkan aku yang dulu ingin menjadi wanita. Sekarang sangat menikmati menjadi wanita.
Tapi jangan bilang-bilang Dina ya!
Dia paling benci kalau aku cerita reinkarnasi dan Déjà Vu ini, Dosa katanya.
Aku tahu dia benci jadi Rosalinda.
Dia mengaku tidak percaya.
Sebetulnya aku penasaran dengan cerita Déjà Vu Dina.
Tapi dia tidak pernah mau cerita.
Catatan
Cerita ini kisah nyata dari mimpiku dan perasaan Déjà Vu saat berada di Itali dulu.
Memorinya muncul saat mendengarkan percakapan om budiman dan kang Asep di Instagram.
Kala itu kata Déjà Vu muncul dalam perbincangan tentang automatic writing.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.