"Koq nggak kasih tau bahwa alatnya rusak!? Jauh-jauh dari Kali Malang kami datang ke sini, sia-sia sekali! Kasihan pasien saya!!!" suster RS Hr yang mengantar ibu saya meradang.
Lawannya adalah seorang suster di RSUP Cipto Mangunkusumo di Jl. Pangeran Diponegoro, Jakarta Pusat. Di tempat ini sejatinya ibu saya akan di-MRI (atau scanscan-apa-gitu). Rumah sakit di mana ibu saya dirawat, yang berada di Jl. Raya Kalimalang, Jakarta Timur, tak memiliki fasilitas scanscan-apa-gitu itu. Karenanya, ibu harus dibawa ke RSUP yang, konon, lengkap fasilitasnya.
"Harusnya mbak tadi telepon dulu," jawab suster RSUP tak mau salah dan enggan kalah.
"Saya sudah telepon!"
"Kemarin, kan? Kemarin alatnya belum bermasalah," jawab suster RSUP santai.
"iya, kemarin saya telepon. Tapi, tadi pun sebelum berangkat saya telepon untuk konfirmasi! Dijawab: silahkan datang!" suster RS Hr makin meradang.
"Ya, saya lihat sendiri bahwa sebelum berangkat, mbak suster ini menelpon untuk konfirmasi," timbrung saya yang ikutan kesal berat.
Dalam hati saya bersyukur bahwa suster RS Hr tidak melepas tanggung jawabnya. Dia betul-betul mengurus masalah ini dengan keras hati dan galak.
"Tidak bisa! Harus hari ini!" sergahnya saat diberitahu bahwa besok alat itu dijamin sudah bisa beroperasi lagi.
Masih dengan kesal, dipaksanya suster-suster RSUP untuk membantunya mencari rumah sakit lain yang punya fasilitas serupa. Akhirnya, dapat di RS Haji Pondok Kopi, di Jakarta Timur. Yang lokasinya tak jauh dari rumah sakit tempat ibu saya dirawat. Beruntung juga bahwa ternyata kami bisa langsung ke sana karena alatnya sedang menganggur.
"Kalau tau gitu, kan tadi bisa langsung saja ke Pondok Kopi," gerundel suster RS Hr saat brankar ibu didorong lagi ke ambulans.
Dan, mulailah kami menempuh perjalanan neraka dari Jl. Diponegoro di Jakarta Pusat menuju ke Pondok Kopi di Jakarta Timur. Dari RS Hr tempat ibu saya dirawat ke RS Haji Pondok Kopi itu dekat saja jaraknya. Kalau tadi langsung ke sana, kami tak perlu merambah macetnya jalanan Jakarta yang panas begitu.
Saat itu kira-kira sudah mendekati pukul 12 siang. Jakarta sedang panas-panasnya, jalanan sedang ramai-ramainya. Sepertinya, itu waktu orang sedang sibuk-sibuknya bergerak untuk menuju ke tempat makan siang. Atau, entah mau ke mana. Ah, terserah…
Yang jelas, tak seorang pun mau memberi jalan kepada ambulans yang membawa ibu saya. Kalau bisa bahkan menyelak. Tingkah standar masyarakat kita, yang tak pernah rela memberikan jalan untuk orang lain meski itu sebuah ambulans. Tambah apes, karena sejumlah lampu pengatur lalu-lintas yang kami lalui selalu berubah menjadi merah sebelum kami berhasil melewatinya. Bahkan, di perempatan antara Pramuka dan by pass, beberapa kali lampu berganti merah tanpa kami bisa bergerak.
Di negara hukum NKRI ini, warganegaranya memang buta hukum semua. Tak sadar hukum tepatnya. Warganegara yang tak tahu bahwa ambulans adalah salah satu pengguna jalan yang memperoleh hak utama untuk didulukan, untuk segera diberi jalan—ya bagaimana, SIM-nya beli semua. Pasti mereka juga tak tahu, bahwa termasuk sebagai hak utama ambulans adalah menerobos lampu merah dan berjalan melawan arah.
Tentang hak utama ini, ada disebut di Pasal 134 dan Pasal 135 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan. Ada 7 jenis pengguna jalan yang disebut di undang-undang tersebut sebagai pengguna jalan dengan hak utama. Ambulans di urutan kedua setelah damkar—kendaraan presiden di urutan ke-empat.
Tak memberi jalan kepada ambulans tak hanya sekedar bikin kesal. Namun, sebenanrnya merupakan pelanggaran hukum yang dapat dipidana. Dengan pidana kurungan paling lama 1 (satu) bulan, atau denda paling banyak Rp250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah). Sebagaimana yang tersebut di Pasal 287 ayat (4) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009, tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
Mesin penyejuk hawa ambulans yang membawa ibu saya menyembur sangat keras, namun tak mampu melawan ganasnya panas. Ibu yang terbaring di brankar, tampak resah. Saya tak tahu apakah ibu hanya sekedar tidur biasa, atau sudah jatuh ke dalam kondisi setengah koma. Setiap kali lampu lalu lintas di perempatan Pramuka berubah menjadi merah lagi, hati saya menciut. Bagaimana kami bisa menerobos lampu merah, sementara menerobos pemagaran oleh kendaraan-kendaraan lain saja tak bisa.
"Tapi, kadang-kadang, atau mungkin malah sering-sering, ambulansnya kosong. Lampunya aja yang dibiarkan kelap-kelip. Buat apa dikasih liwat duluan. Enak aja," seorang teman pernah protes soal ambulans.
Tahu dari mana bahwa ambulans itu pasti kosong? Demikian saya bertanya. Teman tadi menjawab hanya dengan cengiran.
Logika saya sih ya, andaikan si ambulans itu kosong, dia tetap berhak diberi jalan duluan. Sederhananya, agar supaya ia bisa segera kembali ke pangkalannya. Bersiap untuk menyambut panggilan berikut. Begitu saja.
Lagi pula, memberi jalan untuk ambulans itu sesungguhnya bukan sekedar patuh pada hukum. Tapi, juga menyangkut masalah kemanusiaan. Apakah setiap orang harus mengalami diangkut oleh ambulans terlebih dahulu baru mereka paham? Menjadi si sakit, atau sekedar menyaksikan orang tercintanya tersiksa di dalam ambulans.
Hari di mana saya mengalami perjalanan dengan ambulans itu, saat menemani ibu saya dari RS ke RS, adalah salah satu hari buruk dalam hidup saya. Tak saya sarankan untuk siapapun mengalaminya. Sama sekali tidak! Sebal!!! =^.^=