SEBUAH NAMA, PADANYA KUPESAN TAKDIR

SEBUAH NAMA, PADANYA KUPESAN TAKDIR
Koleksi Pribadi

 

Sebatang rokok mentol habis terhisap sepi. Tak ada yang kita bicarakan. Angin seperti mati, sunyi. Tapi kepalaku begitu ramai, kurasa kau juga, sebab kulihat kau menikmatinya. Kuputar sebuah lagu di ponsel, pelan. Kau melihatku sebentar, tersenyum, lantas kembali sibuk dengan laptop dan ponselmu. 

 

"Aku suka cokelat panas" katamu tiba-tiba sambil terbatuk. 

 

"Maaf, asap ini meracunimu, aku membutuhkannya sekarang."  kujauhkan rokok keduaku dekat jendela.  
"Maaf juga tak sebaik itu aku mengenalmu, kupikir kau juga menyukai kopi. Sebentar kupesan cokelat panas untukmu. Dan kancingkan jaketmu, angin malam ini lebih dingin, kau masih flu kan?" kataku sambil berdiri dan memanggil laki-laki muda yang tadi melayaniku. 
"Kau menyukai tempat ini?" tanyaku setelah setengah jam berlalu. "Kedai ternyaman, menurutku. Banyak hal kunikmati di sini, termasuk ramainya kepala." 

 

Kau mendongkakkan kepala, menatap beberapa saat dan tersenyum. "Suka. Andai tiap sore bisa kubuang penat di sini. Sayang waktuku tak sebanyak itu, terlalu banyak hal yang harus ku selesaikan hingga larut malam. Dan beruntungnya hari ini waktu berbaik hati, aku bisa menemuimu. Terima kasih sudah mengajakku ke sini." 

 

Aku tersenyum dan menghembuskan penat perlahan bersama asap rokok ke arah jendela. Di luar angin sedikit kencang dari biasanya. Anomali cuaca. Panas dan hujan yang tiba-tiba. Mendung datang dan pergi semaunya. Hey, aku teringat sebuah percakapan tentang mendung dengan seseorang, ia mengaitkannya dengan rindu, mungkin memang ia sedang merindukan seseorang. Entahlah. Aku terus tersenyum sambil terus memandang ke luar jendela, aku tak ingin asap ini membuatnya sesak napas. Padahal aku suka memandangnya, meski dadaku terasa agak sesak, mengapa, aku pun tak mengerti. 


Kami kembali dengan kesibukan masing-masing. Entah apa yang ia dikerjakan. Aku sibuk dengan banyak kata yang berjejalan di kepala. Satu demi satu kususun di atas meja, mungkin akan menjadi semacam sajak tapi mungkin bukan.


badai datang berkali-kali, mengguncang dada, meneriakkan kesedihan
gugur dedaunan
ranting berderak 
ramai riak menampar bibir pantai 
sepasang lengan bosan memeluk bayang-bayang, berlari ia mengitari ruang-ruang yang diciptakannya sendiri 
angan ingin membentur dinding 
sungguh aku lelah dirajam kelu
di antara riuh lalu lalang manusia 
di antara kisruh pikiran sendiri 
di antara perasaan-perasaan ragu, rancu 
jarum jam serupa roda kereta, terus saja melaju, tak mau menunggu 


*

 

Sebulan setelahnya kami kembali bertemu di kedai dan meja yang sama, tapi kali ini ia datang lebih cepat. Senyumnya mengembang saat aku datang. 

 

"Secangkir cokelat panas dan kopi late untukmu, San. Aku hanya punya sedikit waktu bersamamu, ada yang harus kuselesaikan sebelum pagi. Maaf kita tak bisa berlama-lama. Aku..." 

 

Kau berhenti bicara dan matamu mendadak berkaca-kaca. Aku tak menjawab apa-apa. Kubenci melihat ini, kau dengan kesedihan yang kau bawa. Sedikit ragu kugenggam tangannya.. 

 

"Kita akan baik-baik saja, Ettan, sekalipun dada kita lebam oleh luka. Kita akan baik-baik saja." 
 

Matanya semakin basah, dan aku tak tahan melihatnya. Kulepaskan tangannya. Kusulut rokok dan kuhembuskan keluar jendela. Seandainya aku bisa memelukmu, Ettan, sebentar saja. Meredakan riuh rasamu juga debar dadaku sendiri. 
 

Satu jam berlalu, kupandangi punggungnya berlalu yang semakin samar oleh air mataku. 
Dari jendela samar cahaya langit jatuh di pipiku. Semacam kudus hosti, bulat rembulan harusnya dipecah-pecah dan dibagikan pada malam yang murung.
Tuhan, jika esok Kau ciptakan waktu yang tak kan pernah berganti, maka biarlah kumiliki hari ini. Saat aku bersamanya dalam diam. Dalam sunyi yang kami nikmati. 

 

***

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.