Mas Comblang

Mas Comblang

Mas Comblang

 

Saiful menikmati dirinya sedang berada di Makassar. Ia berkumpul bersama tim sales & marketing lainnya se-Indonesia pada sesi workshop. Dari Jawa Barat, Saiful tidak sendiri. Ada Mulyono, yang bergabung di waktu yang sama dengan Saiful di perusahaan tersebut. Bedanya, Mulyono dari divisi marketing.

Sayangnya, Saiful tidak suka keramaian. Dia lebih suka menyendiri. Teman-temannya mencap Saiful seorang introvert. Tapi dia sendiri berkilah, itu karena belum kenal saja. Kalau sudah akrab, ia cukup periang dan bisa membuat suasana yang sepi menjadi ramai. Begitu pengakuan dari dirinya.

“Mojok aja lu, Pul.” Mulyono menyenggol bahu Saiful dengan sikut kirinya. Sobatnya itu biasa dipanggil Ipul.

“Kebanyakan orang, Mul. Males,” jawab Saiful sambil mengunyah jalangkote.

“Aneh lu. Masa tukang jualan gak doyan gaul? Yang ada malah gak dapet prospek, cuy!”

“Gua juga heran Mul, bisa masuk divisi penjualan. Salah penempatan kayaknya tuh si Bos.”

“Yang ngasih penempatan kan orang HRD. Mungkin pas wawancara lu kebagusan ngomong kali, makanya jadi sales. Hahaha…”

“Tau, ah,” jawab Saiful memelas sambil melirik piring kecil Mulyono. “Eh, lu gak coba jalangkote? Hanya ada di Makassar, bro!”

“Tauuu. Cuma gua gak suka yang gurih. Itu kan mirip kue pastel kalo di kita, mah.”

“Ya beda, dong. Jalangkote tuh ada laksanya.”

“Lasagna? Tambah aneh. Makanan Itali campur Makassar.”

“Laksanya, bro. Laksa. Sama ada tambahan togenya juga. Enak. Gurih.”

“Banyak toge, mau ngejar kesuburan lu? Buat gua, ini yang juara, kue sikaporo. Kue taloba juga enak. Mana ada di Jawa kue beginian.”

“Ya udah, selera masing-masinglah. Dilarang protes. Abis ini ke mana kita?”

“Gua udah googling. Kita ke air terjun Kali Jodoh!” jawab Mulyono semangat.

“Ada apaan di sana?”

“Ya kali-kali aja dapet jodoh, Pul.”

 “Gua ngikut aja, dah.”

Mereka tertawa bersama.

oOo

Mereka berdua berpisah dari rombongan divisi pemasaran dan penjualan yang rata-rata ke toko oleh-oleh dan sebagian balik ke hotel.

“Masa udah jauh-jauh sampe sini, cuma ke hotel. Rugiii! Ya gak, Pul? Bagus kan air terjunnya?”

Mulyono mulai menggulung celana jinsnya.

“Banyak orang pacaran, Mul. Males.”

“Ah. Apa-apa males. Lu apa sih yang gak males?” jawab Mulyono sewot. Cepat sekali dia menurunkan jinsnya, sekarang hanya tersisa celana boxer.

“Gua males ke sini berduaan dengan lu. Tar kita dikira pacaran!”

“Hanya orang gila yang anggap kita pacaran, Pul.”

“Kalo orang waras?”

“Nganggap kita tunangan, hahaha!”

“Sialan lu, Mul.”

“Udah ah, gua mau bertapa dulu di bawah air terjun. Sekalian berenang. Siapa tau bener dapet jodoh pulang dari sini kan.”

Tanpa pamitan lagi, Mulyono menceburkan dirinya.

“Mitos dipercaya. Gelo!”

Saiful berjalan di bebatuan sambil melihat suasana sekitar air terjun Kali Jodoh, di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan.

Banyak banget orang berpasang-pasangan. Ini semua pacaran atau berharap jadi pacar, ya? Bisa jadi belum jadian, terus pulang dari sini berharap jadian kali. Masih percaya aja mitos-mitos ginian!

Saiful berdialog dengan isi kepalanya. Sangat sering dilakukannya kalau lagi sendirian. Bertanya sendiri, jawab sendiri.

“Duh!”

Saking asyiknya ngobrol dengan diri sendiri, tanpa sadar Saiful menabrak ranting yang menjuntai menghalangi jalan.

“Ranting hampir patah. Bahaya nih kalo kena orang-orang,” Saiful bergumam kecil.

Ia berinisiatif mencari ilalang di sekitar air terjun, lalu mengikatkannya berkali-kali pada ranting yang hampir patah tersebut.

“Ini namanya tali organik. Jangan patah ya, Ran. Kena mata orang bahaya lu.” Kali ini Saiful berbicara dengan ranting. Pohon pun bergerak mengikuti arah angin berembus seakan menjawab dialog Saiful.

“Brrr, dingin! Gak berenang lu, Pul? Enak, segerrrr!” Mulyono muncul dari dasar kolam sambil menutupkan kedua lengannya di dada.

“Males, ah. Kolamnya udah tercemar aroma ketek lu!”

“Sialan lu, Pul. Setidaknya gua udah memberi keseimbangan tadi pada alam,” jawab Mulyono sambil menggigil.

“Keseimbangan apaan?”

“Pelarutan aroma ketek kiri dan kanan.”

“Hiii, sungguh merugi pasangan-pasangan itu. Bisa-bisa bukan malah berjodoh, yang ada mereka bubar karena terpapar larutan ketek seorang Mulyono. Pemuda Jawa yang sok Jakarta. Hahaha!”

“Biarin mereka bubar, tapi daya magisnya pindah ke gua semua. Nanti cewek-cewek pada klepek-klepek semua sama gua. Hahaha!”

“Klepek-klepek pingsan, karena aroma ketek lu!” Saiful balas tertawa.

“Sialan lu, Pul.”

“Sialan lu, Mul.”

Mereka pun berjalan menjauhi air terjun. Mulyono membiarkan tubuhnya kering alami ditiup angin dingin. Sepanjang perjalanan sudah tiga kali bersin.

“Sini baju gua, Pul. Dah kering nih badan.”

Saiful mengambil kaos Mulyono dari dalam ranselnya. Ada dua orang gadis berpapasan mata dengan Mulyono sambil menunggu kaosnya diserahkan Saiful.

“Tuh, lu lihat gak barusan, Pul? Dua cewek langsung lirik-lirik ke gua! Mana sambil senyum-senyum malu gitu. Manjur tuh Kali Jodoh!” sahut Mulyono sambil memasukkan lengan ke dalam kaosnya.

“Ah, gede rasa. Mereka nutup mulutnya karena geli lihat bulu ketek lu melambai-lambai kesapu angin!”

“Aaah, matiin kebahagiaan orang aja lu, Pul. Jadi sales kudu positif! Susah jualan lu nanti.” Mulyono mengeluarkan petuah bijaknya.

Saiful hanya tersenyum geli mendengar jawaban Mulyono.

Mereka pun berjalan ke arah pulang. Namun di tengah perjalanan, Saiful mendengar suara anak kucing memanggil-manggil. Ia celingak-celinguk mencari anak kucing tersebut. Mulyono masih berjalan dengan santainya, tidak sadar Saiful sudah tertinggal lima meter di belakang.

“Kita langsung ke hotel aja ya, Pul. Ingin mandi air anget, nih. Biar enak tid…” Mulyono menoleh ke kiri dan kanan mencari Saiful. Baru sadar Saiful ada di belakangnya sedang memanjat pohon.

“Woy, Pul! Ngapain lu manjat-manjat? Gua ajakin ngobrol juga!” Mulyono berjalan cepat ke arah Saiful.

Saiful sedang menurunkan anak kucing dari pohon. Lalu mengembalikannya ke dua anak kucing lainnya yang seperti sedang menunggu seseorang untuk bantu menurunkan saudaranya yang keasyikan mengejar kadal sampai tidak bisa turun.

Pemuda asal Sunda itu berjalan ke arah Mulyono sambil meringis, meniup-niup punggung tangan kanan dan kirinya.

“Kenapa meringis-ringis gitu? Jelek amat muka lu, Pul.”

“Tuh, anak kucing. Udah ditolongin malah nyakar.”

“Yaaah, namanya juga anak-anak. Anggap aja ucapan terima kasih. Hehe.”

“Dah, yuk. Jalan lagi.”

“Gak berdarah?”

“Nyakarnya gak dalem. Gores dikit doang. Oleh-oleh, haha…”

“Orang mah oleh-oleh dari Makassar tuh coto, konro, palekko. Ini malah cakaran kucing.”

“Lho, ngapain kita bawa coto, konro, palekko? Kan kita distributor wilayah Jawa Barat?”

“O iya. Hahaha!”

Sebelum mereka menaiki mobil, angin berembus cukup kencang tapi menyegarkan menerpa wajah Saiful.

“Bentar, Mul. Gua nikmatin dulu semilir terakhir angin Kali Jodoh Kabupaten Pinrang.” Senyum Saiful mengembang sambil memejamkan mata menikmati terpaan angin tersebut.

Mulyono celingak-celinguk.

“Angin? Angin mana? Anyep gini juga. Aneh lu, Pul,” jawab Mulyono sambil masuk ke bangku supir, dan mengganti  celana basahnya.

Saiful yang mendengar jawaban Mulyono keheranan, karena jelas-jelas angin itu masih menerpa wajahnya sekarang.

Ternyata enggak hanya hujan yang lokal. Angin lokal juga ada ya.

“Sampai bertemu kembali, Pinrang,” ucap Saiful sambil menghirup dalam-dalam udara di Kabupaten Pinrang terakhir kali sebelum memasuki mobil.

Di dalam mobil, Saiful mengusap-ngusap kedua punggung tangannya karena terasa hangat. Mobil pun bergerak ke arah kota Makassar menjelang Magrib. Mereka berdua tidak tahu, kalau ada dua pasang mata anak kucing yang terus memerhatikan kedua sahabat itu, sejak Saiful mengembalikan anak kucing sampai mereka berjalan memasuki mobil.

Angin bersemilir menyapu kepala dua anak kucing itu. Bulunya melambai-lambai tersibak, namun tidak dengan anak kucing pemanjat pohon. Bulu di kepalanya tidak bergerak, walau mereka bertiga sedang berjejer rapi. Seolah angin dan alam sekitar Pinrang hanya berbicara kepada dua anak kucing spesial tersebut.

oOo

“Hei, Puuul! Mana oleh-oleh dari Makassar? Diem-diem aja, nih!” Sambut Inka sambil menepuk pundak kanan Saiful.

“Haduh, Ka! Bikin kaget aja…” jawab Saiful.

Inka satu divisi dengan Mulyono, di bagian pemasaran. Mereka berdua biasa membuat strategi jualan untuk dioper ke para sales. Salah satunya Saiful.

“Ada tuh, Ka, di Mulyono. Satu divisi tapi minta oleh-olehnya malah nyeberang. Gimana, sih,” sahut Saiful lagi sambil menoleh ke arah Inka yang ada di sebelah kanannya.

“Punya Mulyono udah abis dikeroyok, Puuul, ama geng marketing. Lu kan orangnya gak berisik, pasti oleh-olehnya awet. Hehe…” sambung Inka sambil melirik layar laptop Saiful.

“Punya gua justru disimpen di kulkas. Jadi orang-orang bisa bebas ambil.”

“Tapi kalo gak ada identitas, orang mah gak akan berani ngambil, Pul.”

Tangan kiri Inka masih menempel di pundak Saiful dari tadi. Lalu Mulyono datang tergopoh-gopoh, tapi langsung mengendap-endap begitu berjarak selangkah dari kursi Saiful.

“Woy, cuuuy! Udah kerja aja!”

Tangan kanan Mulyono menepuk pundak kiri Saiful. Baru Saiful hendak merespon tepukan Mulyono, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Kedua lengannya merinding. Berdiri bulu roma.

Inka mengguncangkan bahu Saiful.

“Pul! Pul! Gak apa-apa?” tanya Inka agak panik.

“Cuy, kenapa lu?” Mulyono turut menggoyangkan perlahan bahu Saiful.

Saiful masih merinding dan jantungnya berdetak kencang tidak keruan. Ia segera berdiri. Terlepaslah tangan Inka dan Mulyono dari pundaknya.

“Waduh, apaan tuh tadi?”

Napas Saiful agak tersengal.

“Apaan gimana maksudnya?” tanya Mulyono.

“Barusan… kok tiba-tiba deg-degan. Ini tangan pake merinding juga. Pada berdiri tuh bulu halus.”

“Sekarang masih, Pul?” tanya Inka.

“Udah ilang. Aneh…”

Saiful memeriksa kedua lengannya. Sudah hilang rasa merinding tadi. Detak jantungnya juga kembali normal.

“Oke deh, gua balik ke meja ya, Pul. O iya, yang di kulkas gua embat dikit yak. Hehe…” pinta Inka.

“Ambil aja, Ka.”

Saiful kembali duduk di kursinya. Lalu melirik ke arah Mulyono.

“Heh, gak kerja lu? Malah ngelayap.”

“Ah, nantilah. Dikit lagi juga selesai strategi jualan bumbu mah.”

“Gimana strateginya buat jualan bumbu instan coto itu? Bocorinlah.”

“Gampang itu sih. Ada yang lebih penting!” jawab Mulyono sambil cengengesan.

“Apa tuh…” Saiful bersiap-siap mendengarkan.

“Gini, Pul. Gua kan dah lama suka nih sama si Inka. Lu kan sama dia lumayan deket, ya. Kira-kira bisa gak lu tanyain, dia ada rasa juga gak ke gua…?”

“Lho, kalian satu divisi kan lebih deket. Kalo gua sih sebatas kerjaan aja sama Inka.”

“Aaah, gak percaya gua. Buktinya tadi, Inka main nyamperin aja ke meja lu. Pake pegang-pegang pundak lagi!”

“Dia kan kalo ada maunya gitu, Mul. Kalo ada butuh baru nyamperin. Kalo gak ya ngelengos aja.”

“Masa dia gak pernah curhat-curhat gitu sama lu?”

“Hahaha, gua ini siapa, Mul? Sobat dia bukan. Temen akrab bukan. Gua hanya jaga hubungan baik aja sama orang-orang di kantor ini. Di sini kan staf gak banyak. Bisa diitung jari.”

“Ah, tapi kayaknya dia lebih cair ke lu, Pul. Ke gua kok anyep, ya…”

“Ketek lu asem kali…”

“Sialan lu, Pul.”

“Mana daya magis Kali Jodoh itu, hah?” ejek Saiful sambil terbahak-bahak.

“Terus, saran lu apa, nih?” Mulyono terus mengejar.

“Coba lu tanya temen ceweknya Inka di marketing siapa. Pasti ada bocoran. Tipis-tipis juga jadi.”

Mulyono menghela napas, “Okelah.”

“Gua masih heran dengan kejadian tadi. Kenapa bisa tiba-tiba deg-degan ya, sama bulu merinding…?”

“Haaa, jangan-jangan… lu yang suka sama Inka, yaaa!” ledek Mulyono.

“Bukan tipe gua, bro. Ambil dah.”

Saiful melanjutkan pekerjaannya. Membuat daftar calon pembeli individu, dan rumah makan yang akan menambahkan menu khas Makassar, seperti coto, sop konro, dan palekko sebagai hidangan andalannya.

Mulyono sudah kembali ke mejanya. Dia sedang mengedarkan pandangan. Mencari sahabat terdekat Inka, untuk ditanya-tanya mengenai perasaan hatinya. Dia masih merasa yakin, air terjun Kali Jodoh mempunyai daya magis baginya.

oOo

Saiful memasuki rumah makan yang tidak terlalu besar. Lebih mirip warung tegal. Tidak jauh dari lokasi kantornya. Dia sendirian ke sana sambil makan siang, dilanjut prospek pemilik warungnya untuk membuka menu makanan baru khas Makassar.

“Enak makanan di sini, Bu. Segini banyak menu, habis semua ya?” Saiful membuka obrolan, sebelum jurus salesnya keluar.

“Ya, lumayanlah, Mas. Ada yang habis, ada juga yang sisa. Tapi yang sisa masih bisa masuk kulkas. Maksimal dua harilah. Kalo masih nyisa, dikasihkan ke kucing.”

“Sekalian sedekah ya, Bu,” balas Saiful sambil melempar senyum.

“Dibilang sedekah ya bukan juga, soalnya makanan sisa. Kalo sedekah kan emang niat mau ngasih, ya,” balas ibu pemilik warung sambil menutup tirai etalase.

“Hebat si Ibu. Apa gak mau nambah menu baru, Bu?” Saiful mulai mengeluarkan jurus pertamanya.

“Menu apa, Mas?”

“Ya, misalnya coto Makassar gitu. Atau sop konro.”

“Wah, Ibu gak bisa masaknya. Lagian gak tau juga, emang pada suka ya orang-orang sini menu kayak gitu…”

“Kan belum dicoba, Bu. Dites aja dulu. Siapa tau karena di sini gak ada, orang-orang gak pada nanyain. Kalo masaknya sih gampang, udah ada bumbu instannya,” jurus kedua dilancarkan Saiful.

“Di tukang sayur ada kali ya yang jual bumbunya. Nantilah Ibu tanya-tanya sama tukang sayur langganan.”

“Lha, Ibu jauh-jauh. Saya bisa bawain besok contoh bumbunya. Tinggal campur air aja, cemplungin daging. Beres deh.”

“Kayak bumbu nasi goreng, ya?”

“Ya, mirip-mirip gitulah, Bu.”

“Yowis, besok coba bawa, ya.”

“Siaaap.”

Baru saja Saiful mau berdiri mengeluarkan dompet, ponselnya berbunyi.

“Pul! Di mana lu? Urgent, nih!”

Suara Mulyono di ujung telepon.

“Di warteg langganan deket kantor makan siang. Lu di mana, sih? Teriak-teriak segala.”

“Tau, nih, berisik banget tuh kontraktor ngebor jalan!”

“Lagian nelepon di sana. Cari yang sepilah.”

“Namanya juga urgent. Share loc, ya! Gua ke sana!”

“Buset, tinggal jalan kaki doang pake share location.”

“Teknologi, cuy, teknologi!”

Saiful mengirim posisi lokasi saat itu juga. Waktu istirahat masih ada setengah jam lagi. Akhirnya Saiful beranjak dari warteg itu, supaya waktu kerjanya efektif. Dia sudah tahu kalau ngobrol dengan Mulyono tidak akan sebentar. Dia memilih untuk berpapasan di jalan menuju kantor.

Sudah setengah jalan, akhirnya Saiful berpapasan dengan Mulyono.

“Lah, lu kenapa udah jalan? Gua mau ngobrol juga,” sahut Mulyono.

“Sambil jalan aja, Mul. Biar efektif. Setengah jam lagi, nih. Belum salat. Ada berita apa? Pake urgent segala.”

“Gini, gua udah ngorek-ngorek temennya Inka.”

“Lu korek idungnya?”

“Matanya, bro! Gua congkel!”

“Hahaha, sadis.”

“Lagian canda aja, gua lagi serius, nih. Kata Kristi sobatnya Inka itu, dia ada rasa juga ke gua, Pul! Itulah kenapa dia dingin ke gua. Grogi kali. Hehehe,” dada Mulyono membusung, dagunya terangkat.

“Udah gitu doang berita urgent-nya? Lu nelepon tadi juga kelar.”

“Yaaah, bedalah. Ini kudu disampaikan secara live! Hahaha!”

“Awas lalat masuk mulut lu. Nganga aja.”

Mulyono langsung menutup mulutnya.

“Eh, ada lagi, Pul! Gua baru inget. Kristi juga nanya balik ke gua. Dia ada rasa tuh ke sales depan meja lu! Gua bilang gak terlalu akrab, tanya Saiful aja. Hahaha.”

“Lu apa-apaan, sih, Mul. Gua ini sama orang gak deket-deket banget.”

“Iya, itu kan versi lu. Tapi orang-orang nyaman deket sama lu. Itu yang gua lihat lho, ya.”

“Ya, alhamdulillah kalo pada nyaman mah.”

Tanpa terasa mereka sudah sampai di kantor distributor PT Raja Bugis. Saiful langsung menuju mejanya untuk mengambil sendal jepit untuk wudu. Di depan mejanya rupanya sudah ada Martin dan Kristi yang sedang asyik ngobrol membelakangi arah Saiful datang.

Saiful mengangkat kedua telunjuknya, lalu menyentuhkannya ke pundak Martin dan Kristi. Maksud hati ingin bilang permisi mau ambil sendal, tapi yang terjadi malah jantung Saiful berdegup kencang lagi.

DEGGG!

Bulu roma pun kembali berdiri. Merinding kedua lengannya. Saiful segera melepaskan kedua telunjuknya dari pundak Martin dan Kristi.

“Eh, Ipul. Sori yaa jadi ngobrol di mejanya. Martin nih malah ajak ngobrol,” kata Kristi manja.

“Eh, gak apa-apa, kok. Cuma mau ambil sendal. Dilanjut deh ngobrolnya,” balas Saiful sambil bergegas.

“Yang lama ya, Pul, salatnya,” canda Martin.

“Sa ae lu, Tin.”

Saiful berjalan ke arah musala sambil melihat kedua telapak tangannya. Saat menyentuh kedua pundak temannya tadi, ada rasa hangat menjalar, selain jantung yang berdetak kencang dan tangan yang merinding.

Tanda apa ini?

Di tengah jalan, dia berpapasan lagi dengan Mulyono.

“Awas nabrak, cuy! Lihat jalan, dong. Malah lihat telapak tangan.”

“Eh, pas bener, Mul. Abis salat, kita ke mejanya Inka, ya. Urgent!”

“Ha? Gua belum mau nembak, cuy! Atur strategi dulu! Belum siap, nih!”

“Udah tenang aja. Ada yang mau gua tes.”

Mulyono hanya bengong ditinggal Saiful yang berjalan cepat ke musala.

oOo

Selepas wirid, Saiful tidak banyak buang waktu. Dia langsung ajak Mulyono ke meja Inka.

“Pul, santai, Pul! Lu kayak bawa kambing aja!” celoteh Mulyono sambil tergopoh-gopoh diseret Saiful.

“Eh, sori, sori. Bau lu mirip sih,” ledek Saiful.

“Sialan lu, Pul!”

Mereka pun tiba di meja Inka. Yang punya meja hanya bengong dihampiri dua pria ngos-ngosan.

“Ka, sori, ya. Ada yang mau gua buktiin,” ucap Saiful.

Inka masih bengong.

Mulyono sudah tidak keruan napasnya. Antara ngos-ngosan dan mendengus. Tegang.

Saiful pun menyentuh pundak Mulyono dan Inka berbarengan.

DEGGG!

Seperti yang pertama kali terjadi, jantung Saiful deg-degan, kulitnya merinding, dan telapak tangannya menghangat. Tapi semua kembali normal begitu dia lepaskan sentuhan dari pundak keduanya. Lalu dicobanya kembali, dan terjadi lagi perasaan aneh itu.

Saiful menghela napas, “Oke. Sekarang, pinjem tangannya ya, Ka. Maaf, ya… tangan lu juga, Pul,” Saiful melanjutkan aksinya.

DEGGG!

“Wah… hampir fix.”

“Apanya yang fix?” Mulyono masih heran dengan aksi sobatnya itu.

Inka masih bengong.

Saiful menghela napas lagi, “Gini, kalian saling suka, kan? Ayo ngaku. Bisik-bisik aja…”

“Heh, Pul, apaan sih…”

Wajah Mulyono memerah. Inka tampak makin manis dengan pipinya yang merona.

“Udah, deeeh. Kata Kristi, Inka juga ada rasa ke Mul, kan? Kalo Mulyono, sih… udah jelaslah itu. Oke, kelar. Gua balik ke meja, yak.”

Saiful dengan tenang melengos meninggalkan Mulyono dan Inka yang masih bengong. Dan wajah keduanya yang merona. Tersipu malu. Sama-sama mau.

Setelah kejadian di hari itu, Saiful semakin dikenal di kantor distributor PT Raja Bugis sebagai Mas Comblang. Banyak temannya yang tiba-tiba membawa kecengan ke meja Saiful, untuk minta disentuh tangan magisnya, diramal apakah berjodoh atau tidak. Banyak juga yang kembali dengan muka kecewa, karena Saiful tidak merasakan apa-apa.

Mulyono baru sadar, bukan dia yang mempunyai daya magis sepulang dari air terjun Kali Jodoh di Kabupaten Pinrang, Sulawesi Selatan, melainkan sahabatnya. Namun begitu, Saiful meminta Mulyono untuk merahasiakan daya magisnya itu. Cukup sampai orang sekantor saja yang tahu.

Jauh dalam lubuk hati Saiful, dia merencanakan sesuatu, untuk kembali menguji perasaan mantannya. Sebenarnya tidak bisa dibilang mantan, karena Saiful ditolak tiga kali semasa kuliah. Adik kelas yang berbeda empat tahun. Saiful masih menyimpan rasa itu, walau sudah jelas ditolak berkali-kali. Jawaban, “Kang Ipul terlalu baik buat aku,” terlalu klise baginya. Itu bukan alasan penolakan. Pasti ada alasan lainnya.

Tunggu, ya, Joy. Aku akan cari kamu. Pasti kita ketemu lagi.

Saiful membatin. Berdialog dengan kedua telapak tangannya.

###

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.