Barisan Para Bedebah

"Kalau kamu mati sih gak apa-apa. Lah, aku punya anak sama suami."
Aku tertawa hambar sementara ia lanjut berbincang dengan yang lain sambil sesekali menyuap nasi ke dalam mulutnya. Kerang rebus sore itu tiba-tiba tidak terasa segar lagi di lidahku. Otak ini sudah ngambek dan hati ini terlanjur sebel gegara satu kalimat yang berawal dari obrolan tentang tingkat mortalitas pasien dengan Covid-19.
Tiga koma lima persen, kira-kira, angka mortalitas menurut WHO. Kalau seluruh jumlah calon spesialis penyakit dalam di universitasku dimasukkan dalam rumus tersebut, berarti hitungannya akan ada 6-7 orang yang meninggal. Cukup banyak, bukan? Tapi, kalau menilik ajaran agamaku, meninggal karena wabah itu termasuk mati syahid. Tentu saja tidak ada orang yang mau serta merta mati karena Covid-19, menjadi angka statistik di data WHO, dan hanya dibayar karangan bunga dari departemen, bukan?
Kareanya, ketika kalimat itu menggetarkan gendang telingaku, hatiku yang jadinya bergidik. Lain kali akan kuingat-ingat untuk tidak duduk di sampingnya kalau ada acara lagi. Kalau tiba-tiba makananku beracun atau aku kena reaksi alergi yang menyempitkan jalan napasku, kemungkinan besar dia hanya akan berdiri lalu ikut teriak "Astagfirullah! Astagfirullah!" tanpa ada usaha membebaskan ini tenggorokan yang menciut. Kan, kalau menurutnya, aku mati gak masalah, toh?
Sore menjadi malam, berlanjut pagi, menjadi sore lagi, dan disusul malam minggu ketika ponselku tidak berhenti berbunyi dari rentetan notifikasi Whatsapp. Sebagai tim jomblo dan kaum rebahan, ponsel banyak bunyi malam minggu itu tandanya ada yang perlu digarap secepatnya. Benar saja, Pak Ketua minta aku untuk merapikan jadwal jaga darurat yang baru dibuat. Darurat Corona, tulisnya, dari supervisor minta kita menyiapkan jadwal jaga selama 2 minggu ke depan dengan asumsi tidak ada pelayanan.
Surabaya, 14 Maret 2020 pukul 19.41, belum ada yang positif Covid-19. Namun, aku yakin dalam hati kecil masing-masing dari kami yang ada di grup Whatsapp itu tahu bahwa pecah telur sudah di depan mata. Tinggal menunggu hari, atau bahkan jam, sampai ada pasien yang diantarkan ke IGD dengan status 'Pasien Dalam Pengawasan Covid-19'. Sedikit lagi kami akan pakai seragam putih, kacamata besar, masker, seperti tenaga medis Wuhan yang bolak-balik muncul di televisi, IGstory, bahkan TikTok.
It's about time, Surabaya. Brace yourself.
Beberapa grup Whatsapp memanas malam itu. Berbincang, bergunjing, mencari stok masker, hand sanitizer, mempertanyakan beban kerja, menyumpah kebijakan yang tidak jelas, dan tentu saja ada yang alim mengajak kita berdoa bersama yang hanya kubalas dengan 'Aamiin' singkat. Bukannya tidak peduli, tapi masih ada tanggungan proposal kegiatan yang harus kurampungkan. Kalau kegiatan itu nantinya batal, tidak apa. Pokoknya kalau tiba-tiba ditanya, proposalnya sudah jadi. Lebih baik sedia payung sebelum hujan. Atau, biar lebih kekinian, lebih baik sedia hand sanitizer dan masker sebelum Covid-19. Stok sanitizier saya aman, masker juga aman. Cara cuci tangan yang baik dan benar juga sudah hapal di luar kepala sejak baru masuk jadi PPDS di departemen ini.
Kapan ya kecemasan itu datang dan akhirnya menetap ke dalam otak hingga bergelayut manja di dalam dada? Ketika kulihat rak Indomie Goreng kosong di supermarket dekat rumah? Ketika label harga sabun cuci tangan menjadi satu-satunya bukti bahwa barang itu sempat dijual sebelum akhirnya meninggalkan etalase yang kosong? Atau saat aku menyadari batuk kering tidak nyaman diikuti nyeri telan tanpa adanya keluhan panas meskipun tidak ada riwayat kontak dengan pasien Covid-19?
Aku masih mondar-mandir di supermarket, berharap menemukan 1 botol sisa hand sanitizer, atau sabun cuci tangan merk tertentu, meskipun sejujurnya aku paham bahwa kedua benda itu sudah lenyap dari toko itu, seperti halnya Indomie Goreng. Tissue basah, pikirku, aku kemari untuk membeli tissue basah. Kuambil saja beberapa yang bertuliskan 'anti-bakteri', meskipun paham betul kalau Covid-19 adalah virus dan WHO menyarankan untuk memakai alkohol berkadar minimal 75% sebagai sanitizer. Maksudku, semua orang di gedung itu kalut akan kepanikan yang sama; tergambar dari kerutan di dahi, langkah yang gusar, ataupun keluhan atas terbatasnya masker yang dijual; apa iya aku tidak boleh menenangkan diri sedikit dengan membeli tissue basah lebih banyak daripada biasanya? Boleh, kan? Toh, semua tissue basah ini juga tidak memenuhi standar WHO sebagai sanitizer yang baik dan mumpuni, cuma buat menenangkan hati sendiri saja.
Tenggorokanku gatal dan kepalaku berdenyut sekali. Setir mobilku kotor, kugosoknya ia keras-keras dengan tissue basah yang baru kubeli. Ponselku lengket, kusemprotkanlah cairan pembersih agar kuman-kumannya mati. Kuambil tas kecil yang jarang kupakai, kutaruh tissue basah, hand sanitizer, sabun mandi kecil, alkohol semprot, sampai termometer ke dalamnya. Napasku makin cepat, kakiku berderap gusar di lantai kamar yang terlalu dingin untuk suhu tubuhku yang menghangat. Kucek lagi ponselku, belum ada aturan baru yang mengharuskanku untuk turun saat itu juga di lini depan rumah sakit rujukan untuk kasus Covid-19 di Jawa Timur.
'Ini rasanya kayak mau maju perang. Ya gak perang juga, sih. Tapi tahu kan gambaran yang kalau ada di komik-komik itu? I can relate rasanya,' aku menulisnya cepat-cepat, lalu kumatikan lampu kamar dan segera bergelung ke dalam selimut.
'NAKUTIN!' balasnya tak lama kemudian.
'Hahahahaha! Perasaan bisa berangkat tapi gak bisa pulang.'
'RAKAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!'
'Hahahahaha! Iya, iyaaaaaaaa. I'll be back, 'kay.'
'Promise?'
Aku diam lama. Ruang percakapan Telegramku seperti muncul dari drama romantis. Karakter utama saat itu akan membalas apa ya, pikirku?
'I promise.'
'Duh, bawel!'
'Semoga bisa balik, ya.'
Sesungguhnya, kalau dari suasana hati saat itu dan tendensi jiwa yang sudah terlalu lama mengonsumsi obat antidepressan, kalimat terakhir sungguh menjadi opsi yang sangat menarik. Namun, ada pesan di aplikasi lain mendetingkan ponselku saat itu, membuatku duduk di kasur dan ingin menyumpah.
'Terserah kalian yang pada mau maju presentasi aja sih mau tetap ada forum atau enggak. Aku kan gak ada kepentingan.'
Wow, ini sudah larut dan ada saja orang yang masih mood untuk jadi bedebah di era pandemi macam ini. Social Distancing yang digalakkan oleh banyak organisasi kesehatan tampaknya diterapkan juga sampai ke hati, tak hanya dalam satuan meter atau langkah oleh orang ini. Benar apa kata pepatah, kalau lihat watak asli manusia tunggulah sampai kepepet. Ancamlah dia dengan penularan Covid-19 dan mundurlah ia ke garda terbelakang agar tidak tertular sendirian.
Aku membuka Telegramku kembali, membuka ruang percakapan yang tadi. Kuketik dengan cepat sambil menahan batukku agar tidak terlalu keras dan menyakiti tenggorokanku, 'Insyaallah. After all, I wanna eat Gyukaku or Bumi again after this shit ends.'
Kuselipkan ponselku ke bawah bantal dan kupejamkan mataku. Sebelum kantuk menenggelamkan sadar, aku berdoa dalam hati, "Kalau inginMu aku untuk berdiri di depan dengan jas putih dan stetoskopku, aku titip untuk ibu-ibu tukang sapu daerah perumahanku tetap bisa beli beras tanpa sempat kelaparan, juga semoga bapak-bapak penjual sate yang kapan hari viral di instagram itu bisa bawa uang lebih dari lima ribu perak ke rumah tiap harinya."
Kupejamkan mataku, lelap, dan kubiarkan adzan subuh senin pagi menarikku ke dunia yang penuh dengan drama dan polemiknya ini. Bagaimana kabar rumah sakit hari ini, pikirku. Bagaimana mereka yang sendirian dan belum bisa keluar untuk membeli beras? Bagaimana tukang sate viral yang dagangannya kadang sampai dikerubungi semut karena tidak ada yang membeli? Aku turun ke bawah dan kulihat kantong beras 5kg yang masih utuh di samping tiga galon air mineral penuh.
Ah, mungkin aku juga masih jadi bedebah di era pandemi ini ya, Tuhan?
Aku batuk sekali lagi, tenggorokanku masih nyeri, suhu tubuhku 36,3. Pagi ini, kuambil lagi jas putihku, kutenteng kembali stetoskopku, tak lupa kupoleskan gincu ungu tua sebelum akhirnya kututupi wajahku dengan masker hijau susu. Whatsappku masih terus berdenting, menanyakan dimana kebijakan libur 14 hari untuk kami yang sudah mengucap sumpah dokter tapi masih menjadi mahasiswa. Aku memakan apelku, meminum air hangat yang disiapkan untukku, dan menertawakan diriku.
Tuhan, bedebah yang satu ini akan kembali ke rumah sakit. Semoga mereka yang ingin mengabdi Kau kuatkan mental dan tubuhnya untuk mengabdi. Semoga mereka yang bedebah hatinya diisi dengan welas asih, otaknya diberi kebijakan, dan tubuhnya ditegapkan dengan sempurna. Karena kami para bedebah ini takut dengan makhluk berukuran nanometer yang dibaptis dengan nama Covid-19 itu, Tuhan. Dan, terlebih lagi, punggung bedebah yang ketakutan tidak akan cakap difoto jika dibebani dengan jas warna putih, sebuah stetoskop, dan masker hijau susu.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.