Ayah Minta Maaf, Ya

Minta maaf pada anak, khususnya anak laki-laki, biasanya tak mudah bagi seorang ayah. Tapi, apa salahnya? Toh tidak dosa, kan?

Ayah Minta Maaf, Ya
Dok. Pribadi


"Yah, ini kan lagi buka puasa. Kenapa sih bahas masalah hidungku?"

"Ya, Ayah 'kan hanya ... " 

Belum tuntas kalimat itu, anakku, Fathan, sudah bangkit dari sofa tempat kami duduk dan pergi ke kamarnya sambil bergumam tak karuan. Untungnya tidak banting pintu kamarnya. 

Saya pun tertegun sambil mulut terus mengunyah menu makanan buka puasa. 

Terjadilah self-talk ini, "Apa salah saya? Saya kan hanya mengungkapkan rasa khawatir dengan kondisi hidungnya yang seperti pilek tapi tidak ada apa-apa. Sudah lama kondisinya seperti itu. Orangtua mana yang tidak resah?"

"Apakah salah ayah bertanya pada anaknya yang seperti sedang mengidap penyakit? Tidak ada yang salah toh? Saya benar, kan?"

"Sudah naluri orangtua begitu 'kan? Jangankan anak kandung sendiri, siapa pun yang sudah dekat dengan kita pasti kita juga merasakan 'sakit' bila orang yang kita sayangi sedang mengalami hal yang tidak enak."

"Ah, sudahlah," saya pun beranjak dari sofa menuju kamar mandi yang hanya beberapa langkah untuk berwudhu. Dekat pintu kamar mandi, saya sempat berhenti dan coba menguping ke pintu kamar Fathan yang memang dekat dengan kamar mandi. 

"Hmm ... tidak ada isak tangis," kembali self-talk berkata lagi. "Baguslah. Semoga dia menyadari bahwa yang terjadi barusan merupakan rasa sayang seorang ayah pada anaknya."

Masuk ke kamar mandi, saya mulai buka keran air untuk berwudhu. Nah, di saat prosesi bersuci itulah kok pikiran berkelebat lagi sehingga saya merasa kurang khusu. 

"Apa saya sudah benar ya? Kalau dipikir-pikir memang saya suka random sih. Bukan momen yang tepat saya membicarakan soal hidungnya yang bermasalah itu. Duh ... salah ya? Terus, saya harus minta maaf gitu? Walah ... masa sih? Saya kan ayahnya. Dan dia anak laki-laki. Gengsi ah. Mau ditaro di mana wibawa saya sebagai seorang ayah?"

Pertanyaan demi pertanyaan terus seliweran di kepala selama proses berwudhu. Bahkan saat keluar dari kamar mandi pun saya sempat berdiri sejenak sambil melihat Fathan yang ternyata sudah duduk di ruang tamu sedang makan besar. Mungkin dia sudah lapar. Ditambah lagi pembahasan dadakan soal hidungnya yang membuatnya tidak nyaman dengan saya.

Soal gengsi umumnya memang selalu menjadi ganjalan bagi seorang ayah terhadap anak laki-lakinya. Bahkan, ternyata, ada hasil penelitian yang menguatkan hal ini. Seorang peneliti dan penulis asal Kanada keturunan Asia yang bernama Anupama Subrapaniyam pernah bilang yang intinya bahwa seorang ayah memang secara tidak sadar bersikap berbeda terhadap anak laki-laki ketimbang anak perempuan.

Dari pemilihan kata-kata saja sudah berbeda, kata Anupama yang kelahiran India itu. Terhadap anak perempuan, seorang ayah selalu memakai kata-kata yang bersifat menghibur dan komparasi seperti "lebih baik, baiknya, lebih bagus ... "

Tapi, terhadap anak laki-laki, seorang ayah selalu melontarkan kata-kata yang bersifat pencapaian. "Kamu bisa, menang, hayoo ... kamu kuat..." kata-kata seperti ini yang biasanya kita para ayah pakai.

Begitu juga dalam permainan, tentu kita sudah tahu bahwa seorang ayah terhadap anak laki-laki selalu melakukan permainan yang lebih 'keras' ketimbang terhadap anak perempuan. Makanya, gak heran kalau gengsi ayah seperti saya ini lebih besar ketimbang logika ... hehe. 

Tapi, entah kenapa  saat itu ... saya hampiri Fathan dan saya ulurkan tangan saya sambil berujar, "Ayah minta maaf, ya."

Fathan melihat saya sejenak kemudian tangan kanannya menyambut uluran tangan saya. "Oii ... itu tangan ada makanan," kata saya perlahan. Ia mungkin terkejut dengan sikap saya itu yang tak biasa. Akhirnya ia bengkokkan tangannya sedemikian rupa sehingga saya bisa menyambut punggung tangannya untuk bersalaman sambil kepalanya menunduk seperti ingin mencium tangan saya. "Sudah gak usah, makan aja. Cepet ya. Segera shalat setelah itu."

Saya pun segera masuk kamar dan shalat maghrib. Setelah selesai shalat saya merenung lagi. 

"Minta maaf pada Fathan tadi ternyata melegakan. Meski saya merasa benar. Tapi, saya ada salah juga. Waktunya tidak tepat."

Tak lama setelah kejadian itu, dan setelah shalat maghrib, Fathan pamit mau kembali ke kost seperti rencana awal. "Tapi, aku mau mampir dulu di kedai kopi langganan ya," katanya.

Kedai kopi itu memang tak jauh dari rumah kami. Hanya sekitar 300 meter. Kadang saya dan Fathan kongkow berdua saja di kedai kopi itu. Dan saat kongkow itu biasanya saya ajak dia untuk membahas apa pun. Tempatnya memang nyaman dan tidak terlalu besar serta tidak banyak pengunjung, sehingga enak untuk ngobrol. Seharusnya di tempat itu dan saat kongkow itulah saya bahas soal hidungnya itu. "He he ... dasar bapak-bapak ..." batinku. 

Tiba-tiba ada bunyi notifikasi WA dari ponsel saya. Dari Fathan. "Yah, aku minta maaf juga ya tadi."

Yessss ... alhamdulillah ... dia ternyata minta maaf juga. It works! Berhasil. Saya memang ingin membiasakan selalu ada kata maaf di antara komunikasi kami. Dan tak perlu saat bersalah. Saat merasa benar pun tak ada salahnya. Dan ... biasanya memang yang terjadi saling maaf-memaafkan. 

Percaya atau tidak, efek maaf-memaafkan ini, kata para ahli psikologi punya efek positif. Ada penelitian yang dilakukan pada 2014 terhadap 337 peserta yang meminta maaf lebih dulu pada pasangan ternyata bisa menurunkan kemarahan mereka. 

Tapi ... kata maaf ini harus tulus, kata para peneliti itu. Kata maaf yang masih menggantung dengan embel-embel kata seperti ini "Sebenarnya kamu salah juga ... " atau "Yang penting udah minta maaf ... " akibatnya emosi tidak menurun, malah muncul rasa dendam. 

Makanya, saat saya mengulurkan tangan ke Fathan, kalimat yang keluar dari mulut saya hanya, "Ayah minta maaf, ya ... " Tak ada kata-kata lain. Titik, tidak pakai koma ... hehe.

Terbayang bila tidak ada kata maaf yang tulus dari saya? Fathan mungkin masih dongkol. Dan dalam kondisi itu ia pamit kembali ke kost naik motor selama satu jam lebih tentu akan membuat saya was-was. 

Ini menjadi salah-satu pelajaran berharga buat kami berdua di momen Ramadan lalu itu. Menjadi seorang ayah tak selamanya harus merasa benar. Nobody's perfect. Minta maaf bukan pula dosa kan? Tak ada ruginya juga. Allah pun Maha Pengampun toh ... kita ini apalah? 

Yang menjadi pelajaran lain buat saya adalah momen yang tepat untuk bahas hal-hal sensitif dengan anak. Kejadian ini telah mengingatkan saya pada ritual saya dan Fathan yang sudah lama tak kami lakukan. Yaitu, boys' talk. Ya itu tadi, kongkow sambil ngobrol dan bahas hal-hal apa pun. Mungkin karena sejak ia kuliah dan kost jauh dari rumah membuat kami luput terhadap ritual itu. 

Dan saya merasa ini merupakan cara Allah menegur kami di malam Ramadan. Gengsi kita sebagai seorang ayah terhadap anak laki-laki tak akan membuat kita lebih berwibawa atau lebih benar. Kata maaf di saat kita merasa benar tidak akan meruntuhkan wibawa kita sebagai seorang ayah.  

 

~ ramadhan 2022/1443 H ~ 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.