RENDANG EXTRAVAGANJA

Sebuah cerita untuk buku Anthology Kuliner Nusantara

RENDANG EXTRAVAGANJA

“A food to die for!!”

Begitulah ucapan lebay dari Pak Boss bule ketika pertama kali mencicipi rendang.

Yak! Betul! Rendang bikinan saya yang, konon kabarnya, fenomenal itu. Pada suatu bisnis trip, saya iseng bikin rendang dan saya bawa ke kantor buat bekal makan siang. Padahal rendang yang saya buat pada waktu itu cuma dibuat dengan bumbu kemasan yang sengaja saya bawa dari Indonesia. Dengan sedikit modifikasi dan tambahan beberapa bumbu, jadilah rendang instant yang ternyata sangat tidak mengecewakan rasanya.

Beberapa teman kantor yang kebetulan ga banyak, karena pada waktu itu masih masa pandemi Covid 19, penasaran untuk mencoba rendang tersebut. Akibatnya, semua meminta saya untuk bawa rendang lagi buat besok makan siang. Saya langsung bilang, no way jose! Berani bayar berapa, nyuruh-nyuruh saya masak? Hehehehe…..

Tapi karena saya memang orang yang baik hati, akhirnya saya janjikan juga untuk masak rendang lagi sebelum saya pulang minggu depan. Kebetulan bumbu kemasan yang saya bawa masih ada beberapa bungkus.

Dan terjadilah makan siang minimalis di kantor, di hari Jumat terakhir sebelum saya balik ke Indonesia. Rendang 1.5 kg yang saya masak malam sebelumnya, nasi putih yang harus saya masak beberapa batch, karena di apartment cuma ada rice cooker segede mangkok, plus broccoli dan wortel yang direbus sebentar, jadi menu makan siang yang harus dibagi sama 5 orang bapak-bapak bule raksasa yang mungkin biasanya makan daging setengah kilo sendirian. Jadi saya langsung kasih warning dong, “Ambil dagingnya jangan banyak-banyak, kalo bumbunya boleh yang banyak, bisa diaduk-aduk sama nasi,” saya menjelaskan sambil memberi contoh ke mereka gimana mengaduk bumbu rendang sama nasi, dan menyuapkan dengan nikmat ke mulut saya. Tanpa menunggu lama, hidangan yang memang minimalis banget itu lenyap ga berbekas.

“Wah …. Klo kayak begini tandanya si Vina harus lebih sering nih, dateng ke sini,” kata salah seorang bapak sambil trus memandangi piring-piring yang sudah kosong dengan pandangan yang ga rela kalo itu semua udah abis.

Daaaannn…. Itu lah yang terjadi, kembali saya harus melakukan bisnis trip ke negara mereka. Kali ini saya membawa misi yang lain selain urusan kerjaan. Saya harus buatin rendang buat kolega kantor saya dengan bumbu rendang yang lebih autentik. Mereka harus ngerasain rendang hasil racikan bumbu saya sendiri. Dan bukan saya namanya kalo ga kurang kerjaan. Coba bayangin ada ga, sih, perempuan yang lagi traveling buat bisnis trip, trus bawa-bawa bumbu rendang.

Beberapa hari sebelum berangkat, di sela-sela waktu packing, menyiapkan makanan yang akan ditinggalkan buat orang rumah, beresin materi kerjaan yang akan dibawa, dan segala printilannya, saya pun menyiapkan bumbu rendang yang akan saya bawa nanti.

Biasanya kalau masak rendang, semua bumbu yang sudah dihaluskan akan saya campur langsung ke dalam santan yang sudah panas. Kemudian setelah campuran santan dan bumbu tersebut sudah mengental dan mengeluarkan minyak, baru deh daging dimasukkan. Tapi kali ini karena bumbu rendang ini akan saya bawa, jadi semua bumbu yang sudah dihaluskan saya tumis sebentar, supaya lebih awet.

Saya siapkan semua bumbu yang sudah saya hafal di luar kepala dengan hati-hati. Untuk membuat rendang diperlukan bermacam-macam bumbu. Saya ingat dulu nenek, yang mewariskan resep rendang andalannya ke saya, pernah bilang, “kalau ditanya resep bikin rendang, bilang aja, masukin semua bumbu yang ada di dapur, itulah resepnya.”

Dan memang betul, coba kita pikirin, deh, bumbu yang ada di dapur: bawang merah, bawang putih, cabe, merica, jahe, kunyit, lengkuas, kemiri, ketumbar, jinten, itu semua jadi bumbu halus. Kemudian ditambah dengan daun-daunan yang akan menguatkan aroma rendang tersebut, yaitu  daun salam, daun jeruk, daun kunyit ditambah lagi dengan sereh. Itu semua masuk sebagai bumbu untuk membuat rendang. Jangan tanya saya takarannya ya, karena saya terbiasa masak dengan timbangan tangan dan perasaan.

Setelah semua bumbu ditumis setengah matang sampai tercium harum, kemudian saya diamkan sampai panasnya hilang. Bumbu setengah matang tersebut saya bagi menjadi 3 bagian dan dimasukkan ke dalam plastic vacuum, untuk selanjutnya disimpan di dalam freezer supaya beku. Dengan cara seperti ini bumbu akan lebih awet untuk dibawa perjalanan jauh.

Tibalah saat keberangkatan. Bumbu rendang beku sudah aman di dalam koper. Perjalanan panjang dan transit sudah jadi hal yang biasa buat saya. 16 jam di dalam pesawat saya bagi menjadi sesi nonton, baca, tidur, nonton lagi dan baca lagi. Sampai waktunya sebentar lagi mendarat. Biasanya persiapan mendarat saya lakukan dengan santai, sikat gigi, cuci muka, ganti baju & pake sepatu. Tapi kali ini kegiatan tersebut saya jalani dengan sedikit deg-degan. Tiba-tiba aja saya teringat sama si bumbu beku yang ada di koper saya. Selama ini saya belum pernah bawa hasil olahan basah seperti ini. Biasanya saya bawa makanan atau bumbu di dalam kemasan, yang selama ini tidak pernah bermasalah di pemeriksaan bea cukai. Tapi kali ini kan beda, bumbu ini hasil olahan sendiri yang ga ada keterangan tentang ingredients dan sebagainya. Waduh!!

Semakin dekat waktu sampai, semakin deg-degan rasanya. Kalau sampai ketauan mungkin ga akan ada sanksi, tapi pasti akan dibuang. Naah…. ga rela banget saya kalo bumbu yang sudah saya siapkan dengan sepenuh hati dan cinta itu harus dibuang. Hmmmm…… saya cuma bisa berdoa. Semoga bisa lolos. Semoga Allah melindungi si bumbu, karena ini dibuat untuk menyenangkan orang lain, supaya bisa menikmati rendang dengan rasa yang authentic.

Doa trus saya panjatkan, sampai akhirnya saya bisa keluar dengan aman dan tenang melewati imigrasi dan bea cukai.  Alhamdulillah…. bumbu rendang aman, siap menjadi santapan!

Kesibukan yang langsung menyambut saya dari hari pertama sampai, membuat saya melupakan si bumbu yang sudah tersimpan aman di freezer. Ga terasa tinggal seminggu lagi saya harus mengakhiri bisnis trip ini. Kalau bukan karena salah seorang kolega yang mengingatkan tentang janji buat bikin rendang lagi, mungkin saya akhirnya lupa sama si bumbu yang sudah duduk manis di dalam freezer. Setelah berdiskusi dan tawar menawar, akhirnya diputuskan untuk makan malam dengan menu rendang di hari Jumat terakhir kunjungan saya. Deal!

Dua hari sebelum acara makan malam, saya mulai mengeluarkan si bumbu. Sepulang kantor saya mampir ke supermarket untuk belanja daging, santan kalengan, beras basmati, ga ketinggalan broccoli dan wortel. Jangan heran ya, kenapa selalu ada broccoli dan wortel dalam menu saya, karena mereka berdua adalah sayur favorit saya sebagai pengganti carbo.

Kebetulan di kunjungan saya kali ini, saya diberi akomodasi berupa rumah, bukan apartemen kecil di tengah kota seperti biasa. Karena bentuknya rumah, dapurnya juga lumayan luas dan lengkap. Alat-alat masaknya sangat memadai dan ada beberapa yang berukuran besar. Kayaknya kolega kantor saya ini berharap banget saya masak, sampe niat kasih saya rumah yang dapurnya lengkap kayak gini… hahahaha.

Proses masak pun saya mulai di malam hari sepulang saya dari kantor. Bumbu rendang yang sudah saya keluarkan dari freezer tadi pagi, sudah melembek. Saya masukkan ke dalam panci besar yang sudah panas. Bumbu tersebut cukup untuk membuat 3 kg rendang. Setelah bumbu panas dan mulai tercium harum, saya tuangkan santan kalengan. Entah berapa kaleng santan yang masuk ke dalam panci. Sambil sekali-sekali mengaduk santan, saya menyiapkan daging. Daging yang sebetulnya sudah terpotong-potong itu, saya potong-potong lagi, karena menurut saya potongannya kegedean. Menurut teman-teman saya di sini, sebetulnya daging yang dibeli di supermarket di sini itu ga perlu dicuci lagi. Cukup ditekan-tekan dengan tissue dapur supaya ga terlalu basah, trus siap untuk dimasak. Tapi buat saya yang biasa beli daging di Indonesia, kalau daging ga dicuci sampai 3 kali, rasanya ga bersih. Jadi tetep dunk si daging saya cuci dan saya tiriskan dulu sebelum mulai dimasak.

Kuah santan dan bumbu sudah mulai mengental dan mengeluarkan minyak. Harum rempah-rempah menyeruak ke seluruh rumah. Usaha exhaust fan di dapur untuk menyedot udara hasil masakan sepertinya tidak terlalu berhasil. Semoga yang punya rumah ga protes, nih, besok.

Daging pun saya masukkan ke dalam kuah santan. Sambil diaduk pelan-pelan, terlihat daging mulai menyatu dengan kuah santan. Daging yang sebelumnya berwarna merah, sekarang mulai berubah menjadi agak kecoklatan, dan teksturnya pun mulai melembut. Proses memasak tidak saya lanjutkan sampai selesai. Setelah daging terlihat setengah matang, kompor saya matikan, sambil ngomong dalam hati, “to be continued tomorrow, yaaaaa…..”

Saya pun mandi dan bersiap tidur.

Ternyata rencana makan malam dengan menu rendang ini kedengeran juga sama para isteri kolega saya. Jadi pagi-pagi di kantor salah seorang bapak ngomong gini sambil nyengir-nyengir sama, “Vin, bini gw mau ikut makan rendang nih, ok, ga? Dia penasaran waktu itu gw ceritain makan rendang bikinan loe di kantor. Boleh ya, bini gw ikut.” Si bapak berkata setengah memohon. Yaah…. Masa iya saya bilang ga. Bisa-bisa tahun depan ga dapet project lagi!

Akhirnya membengkak lah peserta makan rendang, yang tadinya berempat, sekarang jadi berenam. Baiklah…..

Pulang kantor, kembali saya lanjutkan masak rendang tersebut. Pas lagi nyalain kompor, mata saya tertuju pada jendela dapur. Di pinggiran jendela itu, saya taruh 2 pohon kecil dalam pot. Pohon-pohon imut ini saya beli di dispensary deket kantor. Yaa… kebetulan saya datang ke negara yang sudah melegalkan cannabis a.k.a ganja a.k.a jimenk a.k.a gele. Jadi dispensary ada di mana-mana.  Dispensary adalah tempat yang sudah diatur oleh pemerintah di mana orang-orang bisa membeli produk-produk ganja untuk penggunaan medis atau rekreasi. Di dispensary tersebut dijual berbagai macam turunan produk dari ganja, ga cuma yang bisa dihisap seperti rokok, tapi banyak yang berbentuk obat-obatan, minyak, minuman, kue, coklat, permen macem-macem deh. Mereka juga jual yang masih dalam bentuk bunga yang bisa diolah sendiri oleh pengguna. Di dispensary itu mereka juga punya show case berupa ruangan tempat mereka menanam pohon-pohon ganja dari berbagai belahan dunia, termasuk dari Aceh. Semua ditanam di dalam glass house yang bisa dilihat langsung oleh pengunjung dari ruang tunggu. Bibit pohon tersebut juga dijual buat yang mau menanam di rumah.

Keliatannya bebas banget, ya. Tapi sebenernya semua betul-betul diatur dalam regulasi yang ketat. Kuota pembelian diatur, orang ga bisa bebas beli sebanyak-banyaknya. Pembeli juga harus menyerahkan ID sebelum bisa masuk ke dalam toko. Dan begitu ID kita diperiksa, bisa langsung ketauan ini kunjungan kita yang ke berapa kali. Pajaknya juga ga main-main. Bisa ada produk yang kena pajak 30%!

Pengunjung datang dari berbagai kalangan, tapi yang saya liat banyak justru yang datang dengan resep dokter.  Jadi jangan mengira datang ke sini akan ketemu para junkies, yang saya sering liat justru orang-orang dengan masalah medis dan psikologis. Ada yang datang dengan kursi roda. Ada yang datang dengan kepala yang sudah membotak karena kemoterapi, ada yang dengan kulit yang terlihat melepuh, saya pikir abis kena luka bakar, ternyata dia adalah penderita lupus yang kulitnya bisa tiba-tiba meradang tanpa sebab, ada juga yang datang masih dengan menggotong-gotong botol infus.

Nah…. Di sinilah saya iseng beli 2 pohon imut tersebut. Pohon ditanam di 2 pot kecil dengan gambar smiley lagi nyengir di bagian depan pot yang berbentuk kotak. Ada kertas kecil berisi petunjuk perawatan ditempel di sisi lain pot. Gampang banget ngerawatnya. Letakkan aja di area yang ga kena matahari langsung, trus semprotin air sedikit sekali-sekali. Kalau sudah setinggi 20 cm, bisa dipindah ke pot yang lebih besar, tidak disarankan untuk dipindah ke tanah, karena penyebarannya sangat cepat. Padahal dalam satu rumah hanya dibatasi oleh regulasi bahwa tidak boleh menanam lebih dari 2 pohon. Jadi ya sudah, saya taro lah pohon-pohon imut itu di pinggiran jendela dapur.

Ketika mata saya tertuju ke pohon-pohon tersebut, kaget banget saya ngeliat daun-daun yang tumbuh dengan subur. Seingat saya waktu beli cuma ada 4-5 lembar daun di pohon. Sekarang kayaknya udah lebih dari 20 lembar. Otak iseng saya langsung bermain dong. Saya inget, duluuuuuuu banget nenek sering cerita, kalau di Sumatera orang sering menambahkan ganja dalam masakannya. Katanya itu akan menambah cita rasa dan kelezatan dari makanan tersebut. Dan ganja itu sendiri mempunyai efek bikin laper, jadi dengan menambahkan ganja pada masakan akan menambah rasa lezat pada makanan dan membuat orang yang makannya makin berselera. Tapi kan saya juga lupa ya, waktu itu nenek saya cerita, yang dimasukin itu apanya, bunganya, atau daunnya atau apa, ya? Yaaah…. Berhubung sekarang yang ada daun, ya udah saya masukin aja niih si daun ke rendang qiqiqi…

Saya petik daun-daun itu dengan hati-hati, sambil ngomong pelan-pelan, “maaf ya, kamu masih kecil udah saya petikin, jangan ngambek ya, besok tumbuhin lagi daun yang banyak.”

Lumayan bisa dapat segenggam daun, ga tau berapa lembar. Saya cuci dan keringkan dengan tissue. Kemudian saya iris tipis-tipis. Irisan daun itu menyebarkan wangi khas yang segar. Dan dengan mengucapkan bismillah… saya sebarkan irisan daun tersebut ke dalam rendang yang sedang bergolak seperti magma yang siap meletus. Dan proses memasak pun saya selesaikan malam itu. Daging yang sudah empuk dan kuah yang mongering, terlihat menggairahkan banget untuk disantap.

Dari pengalaman saya, memasak rendang memang sebaiknya tidak dilakukan dengan sekali jadi. Mendiamkan rendang yang setengah matang semalaman, akan membuat bumbu lebih meresap. Esoknya proses masak bisa diselesaikan. Untuk kemudian didiamkan lagi semalaman sebelum siap disantap. Rendang yang dimasak dengan cara seperti ini akan terasa lebih enak karena bumbu benar-benar meresap dalam daging dan daging juga jadi lebih lembut dan empuk. Selain itu juga bisa awet lebih lama.

Hari Jumat yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Saya pamit keluar kantor lebih cepat karena masih ada yang harus saya siapkan untuk makan malam tersebut. Salah seorang bapak bilang kalau isterinya mau bawa salad ketimun, salah satunya lagi bilang kalo isterinya sudah menyiapkan dessert. Yumm….. lengkap, deh, menu malam ini.

Sambil berjalan keluar, saya berseru mengingatkan, “Jangan lupa, bawa wine yang banyak!”

Serentak dua orang bapak menjawab, “Siyaaaapppp!”

Persiapan pun selesai. Nasi gurih yang saya masak dengan beras basmati, sedikit santan, irisan daun jeruk dan parutan kulit lemon, pasti akan jadi teman yang pas buat disantap sama rendang. Rebusan broccoli dan wortel yang saya rebus dengan ditambah sedikit butter, merica & garam. Terlihat segar dan sexy.

Semua sudah terhidang di atas meja yang sebetulnya hanya punya 4 kursi. Untung ada 2 kursi kerja yang bisa dipakai. Jadi saya selipkan 2 kursi itu di antara kursi-kursi meja makan.

Ting tong…. Assalamu’alaykum…. Assalamu’alaykum…. Suara bell pintu yang terhubung dengan Alexa di atas meja dapur, berbunyi. Jangan heran bunyinya assalamu’alaykum. Itu karena settingan Alexa yang saya ganti, jadi ga cuma tingtong doang hahaha….

Serombongan orang pun menyerbu masuk ke dalam rumah begitu dibuka. 4 orang bapak-bapak dengan 2 orang yang membawa isteri. Jadi ada 6 orang yang datang. Naah loh! Koq, saya bisa salah itung, ya. Ini kursi kenapa cuma 6…. Aduuuh… trus ambo duduak di mano, ko??

Kayaknya kesibukan masak bikin saya salah hitung. Untung di belakang ada kursi taman. Salah seorang bapak dengan sigap menggotong kursi tersebut masuk, sambil bilang,”Ga boleh banget nih tukang masak ga dapet tempat duduk, bisa-bisa besok ga mau masak lagi buat kita.”

Hahaha…. kurang asem dateng jauh-jauh dibilang tukang masak.

Dengan berdesak-desakan kami duduk mengelilingi meja makan. Rendang saya bagi di dua piring saji besar, supaya ga berebutan. Dengan cepat rendang, nasi, dan sayuran berpindah ke piring masing-masing. Salad ketimun yang dibawa oleh salah seorang isteri ternyata cocok juga dimakan bareng rendang.

Makan malam berlangsung meriah dan hangat. Kami berusaha untuk tidak membicarakan soal pekerjaan. Tapi berkali-kali pembicaraaan kembali ke soal kerjaan. Salah seorang bapak selalu berusaha mengalihkan pembicaraan dengan menceritakan cerita-cerita lucu yang sebenernya ga lucu. Tapi makin malam koq rasanya jadi makin lucu, ya? Ketawa yang sambung menyambung, membuat perut yang penuh jadi semakin tegang. Tiba-tiba saya jadi inget sama daun-daun imut yang saya iris tipis-tipis dan saya campurin ke rendang kemaren. Masa sih kena daunnya aja bisa bikin ngakak ga berenti-berenti?

“Hahahah!!” Tiba-tiba suara tawa saya meledak sendirian, padahal yang lain lagi diem mengatur napas.

Yang lain melihat saya tiba-tiba ketawa, mereka pun ikut ketawa seperti ketularan. Hahahaha…. Bener-bener kocak niiih….

Makan malam pun selesai, piring-piring sudah kosong, gelas dan botol wine pun sudah tinggal kenangan. Wajah-wajah di depan saya terlihat kenyang dan bahagia. Saya pun merasa puas dan bahagia banget. Karena tadi salah seorang bapak berbisik ke saya, entah karena irisan daun ganja, atau karena wine yang berbotol-botol, beliau bilang project semester depan sudah di tangan saya. Yessssss…. Alhamdulillah…… berarti semester depan saya datang lagi ya, Pak. Bikin rendang lagi dong… hahahaha.

Semua berpamitan pulang dengan hati senang dan perut kenyang.

Dan setelah membaca cerita saya ini, pasti ada teman-teman yang gatel mau tanya ke saya, “Jadi di sana loe ngejimenk ga, Vin???”

Terus terang ya, saya takut untuk ngejawabnya…. Takut pada ngiri!!!

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.