Pesan Perdamaian dari Makanan yang Dikucilkan

Cerita tentang rawon untuk Anthology Kuliner Nusantara

Pesan Perdamaian dari Makanan yang Dikucilkan
Dokumen Pribadi Makan siang rawon

Waktu kecil, saya, adik dan kakak di rumah sering makan telur dibagi empat. Kebayang kan kondisi ekonomi kami saat itu? Jadi, ketika ada kesempatan makan di luar rumah, yang belum tentu tiga bulan sekali, adalah kemewahan tersendiri. Salah satu momen paling berkesan adalah saat saya mencicipi soto Semarang. Dan ini seingat saya adalah kali pertama saya makan di luar bareng bapak saya, kalau tidak salah waktu itu saya masih umur tiga tahun. Saya masih ingat walaupun samar, karena saya masih digendong, dan belum sekolah. Peristiwa makan Soto itupun tanpa sengaja. Jadi kami harus keluar kota dan berganti bus di terminal Semarang nah di terminal itulah saya makan soto bersama ayah saya.

Itu adalah soto terenak, sekaligus makanan terenak pertama yang pernah saya makan. Buat tambahan informasi karena nggak ada lauk saya pernah makan nasi cuma pake parutan kelapa dan garam. Wajar dong kalau ketemu soto langsung keluar noraknya. Ayah saya menambahkan jeruk nipis ke kuah soto, baunya masih suka kebayang sampai sekarang.  Saya minta tambahan sate kerang waktu itu dan kami makan berdua karena cuma bisa beli satu tusuk. Empat kata kunci yang menempel sampai sekarang: soto, jeruk nipis, sate kerang dan terminal. 

Saya sering mengulang peristiwa ini sendiri, pergi ke terminal cari warung soto, sayangnya nggak semua warung soto menyediakan sate kerang, jadi selalu aja ada yang kurang.

Kebiasaan ini terus berlanjut sampai sekarang. Saya tergila-gila pada satu jenis makanan ini, SOTO. Setiap mampir ke kota mana pun, pertanyaan pertama saya pasti, “Di sini ada soto nggak?”

Dan anehnya, hampir semua daerah di Indonesia punya soto versi mereka sendiri. Ada soto Medan, soto Padang, soto Aceh, soto Betawi, soto Makassar, soto Banjar. Semuanya punya karakter masing-masing, di beberapa kota namanya kadang berbeda ada yang menyebut tauto, coto atau sroto.  

Saya punya satu ritual yang tak pernah absen, setiap makan soto yakni selalu saya tambahkan jeruk nipis. Bahkan di rumah saya selalu sedia jeruk nipis, kalau lagi kangen makanan apa aja saya kucurin jeruk nipis.          

Tapi ada satu hal yang mengganggu pikiran saya. Ada satu makanan yang kalau dilihat dari bahan dan bentuknya, harusnya masuk keluarga besar soto. Tapi kenyataannya dia seperti dikucilkan dan dikeluarkan dari silsilah itu. Hanya karena satu bahan: kluwek.

Karena satu bahan ini, warnanya kuahnya jadi hitam legam, padahal kuahnya, daging, bumbu rempahnya, saya rasa nggak ada bedanya sama soto. Apa mungkin karena warna, dia jadi tidak dianggap "satu darah" sama soto-soto lain. Kalau iya, wah... tega amat. Soto kok rasis.

Udah tau dong. Masakan ini adalah rawon. Walaupun dikucilkan dia tidak patah semangat, saya suka menyebutnya soto indy karena dia berkarir secara independen, tetap menunjukkan jati dirinya, dengan keunikan warna, tekstur dan tentu rasanya.

Biasanya rawon disajikan bersama pelengkap seperti telur asin, tempe garit, dan tauge mentah. Nah, tauge mentah ini kayak punya daya magis sendiri. Bau langu-nya bikin selera makan bertambah. Apakah mungkin karena tauge mentah inilah maka makanan ini disebut RAW-on? (Hehe… maaf, saya memang lemah sama plesetan.)

Rawon ini berasal dari Jawa Timur. Tapi ada satu hal yang saya agak keberatan soal rawon ini. Kenapa di satu daerah, makanan enak ini, gurih, lembut, hangat, ditempeli label menggunakan nama makhluk yang dibenci Allah, “Rawon Setan”. Kasihan kan si rawon ini udah mana dikucilkan di kasih nama yang nyeremin pula. Tapi sudah lah ya mungkin itu strategi marketing, dan faktanya memang jadi rame dan ditiru di mana mana. Sambel setan, tahu iblis… pokoknya semua yang pedes-pedes dikasih nama hantu.

Saya penasaran ada nggak sih masakan lain yang pakai kluwek juga dan jadi hitam dan dikucilkan? Ternyata ada Sop Konro katanya juga dimasak pake kluwek tapi apakah dia juga dikucilkan saya belum riset sejauh itu.

Tapi walaupun rawon wujudnya hitam saya tetap sayang, mungkin justru karena warnanya ini rawon jadi istimewa.Yang pasti yang paling membuat bangga sama makanan yang satu ini, selain rasanya, dan independensi nya ada pesan tersembunyi di balik namanya, ada sebuah pesan perdamaian di balik semangkuk kuah hitam yang hangat ini.Coba aja dibalik kata RAWON, jadi “NO WAR”. Selamat menyeruput rawon.

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.