Wisata batin Jess

Kisah seorang perempuan yang terdampar sendirian di sebuah pulau kosong.

Wisata batin Jess
https://pixabay.com/photos/shell-sand-sunset-evening-sun-2709715/

Entah sudah berapa lama aku tertidur. Aku heran dengan kedamaian ini. Sayup-sayup aku bahkan bisa mendengar bunyi deburan ombak. "Suara burung camar? Masa iya?", aku tak mempercayai pendengaranku sendiri. Rasa penasaran membuatku ingin membuka mata, tapi mataku terlalu berat. Dan semuanya kembali gelap.

Rasa dingin menjalar di sekujur tubuh, dengan kejam memaksaku tersadar. Entah tadi aku tertidur atau pingsan. Aku gemetar, gigiku gemeletuk. Aku terkesiap tak mempercayai mataku sendiri, aku tak terbangun di ranjang kamar hotelku yang empuk. Mataku nanar memandang hamparan pasir dan laut di depanku. Aku ada dimana??

Dengan panik aku berusaha bangun. "Aduh sakit," jeritku tertahan.  Aku menatap baju renangku yang sobek. Goresan luka panjang di kaki dan tanganku mulai terasa perih meski tampaknya sudah berhenti berdarah. Papan selancarku hilang. Ia sudah berlayar sendiri meninggalkan aku entah kemana. Atau mungkin juga ia sudah hancur terhantam karang. Aku bergidik ngeri membayangkannya.

Entah bagaimana ceritanya aku bisa terdampar di sini. Aku memijit kedua pelipisku, berusaha keras mengingat apa yang terjadi. Memori terakhirku hanya pagi itu cerah sekali. Jeff lagi-lagi zoom meeting koordinasi dengan kantornya. Entah sampai kapan baru  selesai. Kami sempat berdebat sengit pagi itu. Buru-buru aku turun ke pantai untuk menenangkan diri.

Jeff, pria yang kupacari dua tahun belakangan ini. Pria yang baik. Mungkin terlalu baik. "Baik tapi lemah. Gak pernah tahu cara berkata tidak", pikirku sinis.

Laut berkilau sangat cantik tertimpa mentari pagi, bahkan terlalu cantik. Ombak melambai manja memanggilku, angin pun tak mau kalah, ia membelai rambutku dengan lembut. Aku tak kuasa menolak ajakannya. Sepi. Ya, itu yang kurasakan. "Aku seharusnya merasa happy kan bukan sepi," tanyaku dalam hati. Aku menyongsong rayuannya dengan gembira dan menaiki papan selancarku, mengayuh menjauh dari pantai. 

Semuanya baik-baik saja sampai kemudian hujan mulai turun, makin lama makin lebat. Aku mulai panik dan berusaha berenang ke arah pantai. Aku jadi bingung dan hilang arah. Gelombang laut mulai menggila lalu menggulungku. Aku berjuang sekuat tenaga mencoba berenang melepaskan diri tapi nyatanya aku tak sekuat itu. Aku tak berdaya. Dan bang.. tiba-tiba badanku terbanting dan semuanya jadi gelap. Aku tidak tahu lagi apa yang terjadi setelahnya. Apakah aku terhempas ombak ke pantai ini atau ada ikan lumba-lumba yang menolongku? Entahlah.. Wallahualam.

Dengan susah payah aku berusaha bangun dan berjalan terseok-seok menyusuri pantai, berharap akan bertemu manusia lain selain diriku, tapi tak ada seorangpun. "Pulau kosong kamseupay, bahkan kurasa Alien pun tak mau mampir kesini." batinku kecut.

Tak terasa air mata membanjiri pelupuk mataku. Padahal aku bukan kategori wanita cengeng. Aku cenderung galak. Mulutku pun tajam, tak kalah dengan mulut ikan cucut.

Rasa takut dan bingung bercampur aduk. Kakiku yang telanjang mulai terasa sakit menginjak pasir yang kasar dan dingin.

"Aku lapar. Aku haus. Aku tak bisa berpikir. Aku butuh kopi. Aku butuh kafein," teriakku frustasi pada ombak di laut. Tapi ia cuek tak menggubris, sibuk dengan rutinitas hariannya menghempaskan diri ke batu karang yang tegak berdiri. Mungkin dipikirnya aku sejenis manusia edan yang tak perlu diladeni.

"Jess.. Jess.. udah kondisi kaya begini, masih sempet2nya mikirin pengen ngopi lho," aku terkekeh geli, menertawai omonganku sendiri. Aku meringis menahan sakit. 

Aku jadi menyesali pertengkaranku dengan Jeff tadi pagi. "Ah tapi dia juga salah.. udah jauh-jauh kesini bukannya enjoy liburan malah sibuk cek email lah, sibuk telepon sana sinilah. Wajar donk kalau aku marah," kataku membela diri.

Jeff yang selalu lembur, Jeff yang selalu kurang tidur, Jeff yang selalu sibuk pontang-panting mengerjakan tugas dari bosnya dengan penuh pengabdian dimana saja dan kapan saja, tapi dia Jeff yang sama, yang sangat menyayangiku, yang selalu berusaha menyenangkan aku, Jeff yang mati-matian meluangkan waktu untuk berlibur bersamaku.

 "Jeff, aku kangen, apakah kita bakalan bisa ketemu lagi?" bisikku lirih. 

"Dasar Bos jahanam, gak tau diri, gue sumpahin lu berak nanas" teriakku geram. Kemarahanku berpindah ke bosnya Jeff, seolah itu bisa merubah kondisi yang ada.

Emosiku naik turun, tak mau kalah eksis dengan gelombang pasang surut air laut.

Andai saja aku tidak terlalu emosional, andai saja aku tidak kekanak-kanakan, andai saja aku mau mengalah sedikit pada situasi dan tidak pergi berselancar sendiri. Andai saja.. andai saja..Ah.. memang penyesalan selalu datang terlambat. Aku menangis tersedu-sedu seperti seorang anak kecil.

"Apakah aku akan mati disini?" pertanyaan itu menyelinap ke dalam pikiranku.

"Tidak.. jangan.. Aku belum mau mati," aku menggelengkan kepalaku kuat-kuat.

"Ya Tuhan, tolonglah aku, kasihanilah hambaMu" ratapku pedih.

Lama aku terdiam terpaku memandang hampa lautan seperti orang linglung. Berharap ada perahu yang bakal mampir. Langit sudah mulai gelap. Hanya beberapa bintang yang tersenyum malu-malu di atas sana. Suasana hening, sunyi, sepi. Hanya perutku yang berisik dari tadi menjerit minta diisi.

Pupus sudah pertolongan akan segera datang. Aku hanya bisa menyesali keputusanku yang gegabah. Pergi berselancar sendirian sungguh bukan keputusan bijaksana. Dan aku sudah merasakan akibatnya sekarang. Karma instan. Hahaha..

"Kalau ada binatang buas, game over beneran nih," batinku pasrah. Aku memejamkan mata berusaha tidur. Berharap saat bangun nanti aku sudah kembali ke kamar hotelku yang nyaman. Ini semua hanya mimpi buruk belaka.

Ngomong-ngomong soal mimpi yang buruk, pikiranku jadi ngelantur ke lagu "Antara Anyer dan Jakarta" yang dinyanyikan Sheila Majid. Cocok banget dengan situasiku saat ini.

"Deru sang ombak, bersilih ke pantai.. disambut alunan nyiur melambai.." nyanyiku serak namun penuh penghayatan. "Udah haus pakai nyanyi segala luh," aku ngebanyol sendiri. Berada sendirian di pulau kosong seperti ini sungguh membuatku stress. Mana lapar, mana haus. Mataku mulai berkunang-kunang karena dehidrasi.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara motor memecah keheningan. Aku menengok ke arah suara itu. Nampaknya berasal dari mesin perahu sejenis speed boat yang  mendekat. Cahaya lampunya yang terang menyorot ke arah pantai tempat aku berdiri. Makin lama, makin dekat. Secercah harapan muncul ke permukaan. Dengan sisa tenaga yang ada aku berteriak sekuat tenaga. "Tolong.. tolong saya.." sambil melambaikan tangan sekuat tenaga.

Samar-samar aku melihat beberapa orang turun dari speed boat. Wajah Jeff yang panik mendekat. Aku mengucek-ngucek mataku setengah tak percaya.

"Syukurlah akhirnya ketemu. Aku udah dari kemarin nyariin kamu. Are you OK Jess?" tanya Jeff memberondongku dengan pertanyaan.

Ia memelukku erat. Kehangatan pelukan yang sangat aku rindukan. "Terima kasih Tuhan," air mataku meleleh. Mudah-mudahan ini bukan fatamorgana. Aku tersenyum lemah padanya dan semuanya kembali menjadi gelap. 

 

 

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.