Kesempatan Kedua

Kesempatan Kedua

"Mas kamu tega, ya? Kamu selalu seperti ini. Kapan kamu pernah membela hakku? Sekali saja?" Suara  itu lirih tetapi tajam menusuk.

"Maafkan aku Din, tolonglah pahami. Ibu mau mengajak anak-anak ke Bandung karena semua kumpul di sana. Aku juga baru tahu semalam rencana ini," sahut lelaki di seberang telpon.

"Kamu baru tahu rencana Ibu semalam? Dan aku kalah, padahal aku sudah mengatakan rencanaku dua bulan yang lalu. Semua sudah siap bahkan tiket, reservasi hotel, travel semua sudah aku bayar, coba kau tanyakan anak-anak mereka mau ikut Eyang ke Bandung atau Bunda ke Lombok?" Ia berusaha tetap tenang tanpa emosi, meski amarah membakarnya.

Ini yang dikagumi Radit, bahwa Dinda selalu bisa menguasai diri bahkan di saat emosinya memuncak sekalipun. Tetapi justru situasi seperti ini adalah yang tergenting dan paling ditakutkan Radit. Karena hapal betul sifat Dinda, maka diapun berusaha untuk tenang.

"Tadi pagi waktu sarapan, Eyang sudah menyampaikan pada anak-anak dan mereka senang karena akan bertemu Bobby, anak Kak Nadia juga disana. Maafkan aku, Din ... aku tak bisa mengecewakan Eyang dan anak-anak," ucapnya lirih.

"Tapi kau sanggup mengecewakan aku? Bahkan saat liburan anak-anak yang menjadi jatahku? Tega kamu, Mas ... tega." Kali ini suaranya terbata-bata akibat isak tangis di ujung telpon.

"Din … please, jangan nangis. Aku janji sebelum anak-anak pergi, dia nginap dulu bersama kamu ya, atau ajak anak-anak berenang?" bujuk Radit dengan suara bingung, karena sejujurnya dia selalu tak tega melihat wanita menangis, apalagi itu Dinda—ibu dari anaknya.

"Sudahlah, tak penting. Selamat siang." Telepon ditutup tanpa menunggu jawaban dari seberang. Dan tumpahlah air mata dengan segala kepiluannya, meringkuk di sofa sambil memeluk bantal.

Liburan yang sudah direncanakan jauh hari, perjalanan yang kiranya bisa membuat ia dan anak-anak bahagia. Teringat bagimana hebohnya diskusi mereka bertiga tentang perjalanan ini. Sampai diputuskan mereka akan pergi ke Lombok, menikmati destinasi wisata laut dan air terjun yang dilihatnya di brosur. Semua sudah disiapkan bahkan seminggu yang lalu sengaja dibelikannya Rangga tas ransel berwarna biru dan Mita berwarna pink, sandal gunung ukuran mereka yang sangat susah dicari, demi perjalan ini dia rela menyusuri setiap toko di mall hingga ditemukannya ukuran yang pas. Tetapi dalam sekejap rencana itu gagal dan yang membuat hatinya sedih adalah saat memikirkan sosok yang menggagalkan itu adalah Eyang, ibunya Radit sekaligus mantan mertuanya.

Hampir dua tahun sejak dia memutuskan mengajukan gugutan cerai. Sejak itu pula Dinda bertekad hidup mandiri. Dia keluar dari rumah yang ditempatinya bersama Radit walau Radit berkeras agar ia tak pergi dari rumah, tapi sudah menjadi tekadnya berpisah dengan Radit berarti memiliki dunia baru, kehidupan baru dan memulai kisah baru dalam lembaran hidupnya.

Tak sempat ia berpikir tentang rasa terpuruk bahwa hak asuh anak dimenangkan oleh Radit, karena saat memutuskan berpisah ia adalah ibu rumah tangga yang tidak bekerja. Maka pada poin ini, Dinda kalah. Hak asuh mutlak diberikan pada Radit dengan pembagian waktu yang dimusyawarahkan oleh kedua belah pihak.

Akhirnya rela Dinda berbagi waktu dengan Radit, mengatur jadwal pertemuan dengan anak-anak yang tetap tidak adil menurutnya. Syukur dengan berjalannya waktu mereka bisa berdamai hingga tak pernah ada pertengkaran urusan anak. Apalagi mereka berdua sudah berjanji untuk membesarkan anak-anak ini bersama tanpa ribut hingga menjadikan luka yang lebih dalam bagi buah hati mereka.

Namun kali ini kekesalannya memuncak. Ia marah pada keadaan tak terelakkan, bahkan Dinda menjerit keras meluapkan emosinya hingga mengagetkan Mbok Ratmi yang sedang masak di dapur. Tergopoh-gopoh, wanita paruh baya itu lari menuju sumber suara. Betapa kagetnya dia saat di sofa menemui majikannya menangis tersedu, lalu dia berjongkok berusaha menenangkan dengan suara lirih, diusapnya bahu majikannya.

Walau tak tau penyebab situasi pilu seperti ini, ia hanya bisa berdoa dan berusaha menenangkan dengan caranya.

"Sabar, Den ... sabar, istigfar Den,  jangan nangis," Mbok Ratmi menenangkan dengan suara lembut keibuan, karena sejak menikah dengan Radit, Mbok Ratmi sudah bekerja dengan keluarga ini. Jadi dia tahu betul perjalanan rumah tangga pasangan muda ini. Bagaimana Dinda melahirkan anak pertama hingga anak ke-duanya sampai pada hal yang paling terpuruk, perceraian pasangan muda ini.

"Sabar Den Putri ... ayo dibawa doa, nggeh. Serahkan pada gusti Allah biar semua tenang." Wanita paruh baya itu berusaha tetap menenangkan Dinda yang masih tersedu.

Tak tega Mbok Ratmi mendengar suara tangis majikannya, karena selama ini Mbok Ratmi tahu ketegaran Dinda. Sejak bercerai, Dinda berusaha bangkit untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Dikontraknya rumah kecil ini, lalu dengan tekun Dinda mulai membuat kue kering, risoles, martabak dan lumpia. Mereka berdua bekerja bila ada pesanan, dari cuma beberapa teman yang memesan karena kasihan, hingga kini Dinda sudah memiliki 4 pegawai bagian produksi. Sekarang semua dikerjakan dengan profesional, bahkan Dinda sudah memiliki 9 outlet yang tersebar di berbagai tempat.

Ia sungguh tak pernah mengeluh, bahkan ketika akibat perceraian yang paling fatal adalah kemarahan orang tuanya sendiri. Tak ada dukungan dari keluarganya, hingga Dinda benar-benar hidup sendiri. Sejak bercerai pula Dinda tak pernah menjumpai orang tuanya karena Dinda tahu orang tuanya masih marah.

Selama ini pun Mbok Ratmi tak pernah bertanya apa alasan hingga mereka berpisah, yang dia tahu bahwa majikannya adalah pasangan yang serasi memiliki dua anak yang sehat, keluarga harmonis dan selalu bahagia. Bagai petir siang bolong saat malam hari Mbok Ratmi dipanggil Dinda dengan suara terbata-bata. Dinda bertanya padanya, untuk memilih ingin ikut siapa, apakah Eyang atau dirinya.

Walau itu pilihan yang sangat sulit sebab hubungannya dengan Eyang, ibunda Radit, sangatlah baik. Walau agak cerewet, tetapi dia paham maksudnya adalah demi kebaikan, tetapi secara hati dia sangat menyayangi Dinda wanita muda yang baik, mengabdi pada keluarga bahkan sangat patuh pada suami. Tak dipungkiri hubungan Dinda dan Eyang ada pada posisi tidak akur. Ada saja masalah kecil yang menjadi pemicu  pertengkaran, walau Mbok Ratmi sangat tahu Dinda tak pernah membantah di depan Eyang, tetapi kadang Mbok Ratmi tahu Dinda menangis dan marah pada mertuanya itu.

Maka dengan lirih, Mbok berkata akan ikut Dinda, tak tega dia melihat wanita muda ini hidup sendiri, sebab sejak pertengkaran terakhir, Radit pergi kerumah Eyang membawa anak-anak. Tak berselang lama, Dinda pun mengajak Mbok Ratmi pindah ke rumah kontrakan. Memulai semua kehidupan baru mereka.

 

***

"Terus, apa tindakanmu sekarang?" tanya wanita cantik yang sedang sibuk memotong daging steak.

"Aku bisa apa? Percuma aku melawan kalau anak-anak sudah bahagia mau berjumpa Bobby sepupunya di Bandung," ujar Dinda lesu.

"Ya sudah kalau kau tak mau melawan, berarti kamu jangan sedih. Kan sudah ikhlas?" sahut nya santai.

"Aku kesal, Nit. Radit selalu seperti ini, dia tak pernah mau membantah perkataan Ibunya, dan selalu sanggup menikam perasaanku," suaranya tidak menyembunyikan emosi yang tertahan.

"Haaii Dinda sayangku, kamu tuh mengenal Radit udah dari jaman kuda besi dan kamu paham betul sifat dia. Kamu sendiri yang bilang dulu mencintai dia karena dia lelaki berbakti pada orang tuanya. Nah kok, sekarang itu jadi masalah?" tanya Nita gemas.

"Ya Tuhan, please, Yuanita Ambara jangan itu terus yang kau jadikan senjata membunuhku. Sekarang aku benci lelaki yang selalu patuh pada orang tua," sahut Dinda dengan ekspresi geram.

"Hihihi, baiklah Dinda Febria, mari kita mencari preman pasar sebagai pendampingmu," celetuknya menyamai ekspresi sahabatnya.

Dan mereka berdua akhirnya tertawa. Bertemu Nita sahabatnya adalah obat mujarab untuk luka batinnya. Tak tahan, akhirnya ditelponnya Nita dan meminta waktu bertemu. Di sela kesibukannya sebagai dokter, Nita berusahan menemui sahabatnya, mendengar keluh kesahnya, menjadi tampungan kekesalan dan amarah yang ujungnya harus bisa menghibur dengan cara konyol tetapi tulus.

"Dinda, kamu diet, ya? Kok kurus banget, sih?" Melihat sahabatnya, dia tahu Dinda kehilangan sekitar 5kg berat badannya dari terakhir mereka berjumpa.

"Gak tahu nih, aku rada susah makan. Bawaanya lemes, pusing dan mual," sahut Dinda.

"Gila! Kamu hamil? Sama siapa?" seru Nita yang terkejut mendengar penjelasannya.

"Hamil, gundulmu! Emang bisa bunting digigit nyamuk?" sahut Dinda tertawa kecil.

"Kali aja ada yang nyolek dikit," balasnya sambil melirik nakal.

"Kampret, dasar binal … tapi serius mungkin aku kecapean, ya. Jadi menstruasiku tidak teratur. Ini aku baru ingat sudah hampir empat bulan aku tidak datang bulan," sahutnya santai.

Mendengar penjelasan temannya, kening Nita berkerut. Naluri dokternya langsung mencium ada yang tidak beres dalam diri sahabatnya ini.

"Serius? Kamu harus segera cek lab lengkap, bila perlu pupsmear, ini penting. Tolong segera ya, jangan main-main dengan penyakit," sahutnya tegas.

"Kamu tuh, langsung galak, ya. Mana ada pasien yang berani dengan kamu," balas Dinda dengan nada sedikit tegang.

"Dengarkan, apapun yang di luar kebiasaan, adalah pertanda atau sinyal dari tubuh kita. Kamu tidak datang bulan selama 4 bulan, padahal kamu tidak melakukan hubungan seksual, jadi tidak ada kemungkinan hamil. Perlu dong, kamu chek up seluruhnya biar tahu apa yang terjadi di dalam tubuhmu. Biar penanganannya juga cepat dan tepat," tutur Nita panjang dan serius.

"Aku gak mau tahu, besok Senin kamu datang ke Rumah Sakit, aku tunggu. Aku sendiri yang akan memeriksa kamu. Aku praktek jam 10, oke?" titah Nita dengan suara tegas, pertanda perintah itu tak bisa ditolak.

Maka dengan lesu dan terpaksa, Dinda menganguk. Melihat anggukan sahabatnya, lega rasa hati Nita walau ada desir aneh yang dia rasakan yang berusaha kuat ditepisnya. Tak ingin merusak hari, maka Nita memesan es krim vanilla untuk mereka berdua. Banyak cerita konyol yang mengalir dari mereka hingga tawa membuat mereka melupakan segalanya, tetapi tidak untuk bayangan mengerikan yang menjadi diagnosa awalnya sebagai dokter spesialis penyakit dalam.

 

***

Ruangan praktek dokter Yuanita Ambara sangat khas, tidak selerti ruang praktek dokter biasanya yang putih bersih, dingin dan mengerikan. Kita akan menjumpai ruangan yang didominasi warna hijau sejuk di mana ada lukisan besar yang menggambarkan suasana pasar tradisional. Jika memandang lukisan itu, langsung saja imajinasi kita kembali pada sebuah kampung yang penduduknya ramah, dengan pasar tradisional yang menjual berbagai makanan. Lezat serta sayur-mayur dan buah segar, bahkan jajanan pasar juga akan terbayang. Otomatis senyum di bibir kita merekah, bahagia di hati dan lupalah akan penyakit yang kita rasakan. Bahkan banyak pasien yang betah lama konsultasi di ruangan itu.

Tapi kali ini wajah dokter muda itu sangat galau. Ada guratan kesedihan serta kekhawatiran yang mendalam. Sebagai dokter spesialis, dia sangat tahu apa yang terjadi di depan sana dengan membaca tabel hasil lab yang baru diterimanya.

Gambaran seperti apa yang terjadi sebulan, dua bulan, enam bulan bahkan setahun yang akan datang. Ada kegelisahan yang sangat, sesak di dada, yang akhirnya berujung pada butiran di sudut matanya. Dia menangis untuk hasil laboratorium sahabatnya Dinda Febria, feelingnya benar tentang diagnosa awalnya diyakini dengan foto scan dan hasil laboratorium bahwa ada benjolan di ovarium sahabatnya. Tetapi dia butuh mengumpulkan kekuatan untuk memberitahu sahabatnya itu dan memintanya untuk menjalani tahap berikutnya.

Dengan ragu diambil ponselnya, dicarinya dalam kontak nama Radit, sejenak dia ragu maka di kirimkannya  pesan pada Dinda.

Nita :

Say, malam ini ada di rumah? Aku mau ketemu nih.

Beberapa saat kemudian, ponselnya berbunyi tanda pesan masuk.

Dinda :

Sori, Say, malam ini Radit jelek itu minta ketemuan, aku gak tahu dia mau ngapain. Aku sudah terlanjur janji sama dia.

Ada apa? Kalau besok gimana?

Tanpa sadar, Nita tersenyum bahagia karena entah mengapa dia merasakan bahwa sebenarnya Radit dan Dinda masih saling mencintai, tapi ego mereka sangat tinggi dan akhirnya mengalahkan logika

Nita :

Cieee ciee, yang mau kencan. Awas lho, radar Radit tuh bisa bikin tekdung biarpun jarak jauh.

Dinda :

Udah gak ngaruh, mau dia telanjang juga aku udah gak napsu.

Nita :

Serius? Aku bilang Radit lho ya, suruh dia telanjang di depanmu, awas aja kamu pingsan.

Dinda :

Dasar dokter gila! Aku malah curiga kamu PSK yang menyamar jadi dokter.

Nita :

Wakss, ya udah aku PSK aja, biar kamu senang. Eeittzz, selamat ya untuk kencannya, aku tunggu ceritanya besok sore.

Dinda :

Muuaaach, sampai jumpa besok sore ya, aku tunggu di rumah! Besok ada pesanan lumpia, jadi kamu bisa icip dikit.

Membayangkan sahabatnya malam ini dia bahagia, tetapi membayangkan sesuatu yang menyeramkan di dalam tubuh sahabatnya membuat hatinya kembali pilu. Baiklah, apapun itu harus mereka hadapi. Dia berjanji akan menemani Dinda sampai semua tuntas.

 

***

Sudah dua puluh menit mobil terparkir di pinggir jalan depan rumah kontrakan Dinda. Saat pintu dibuka, Radit disambut senyum Mbok Ratmi yang selalu ramah dan keibuan. Ada rasa lega melepas Dinda tinggal berdua ditemani Mbok Ratmi, maka tak pernah berubah perlakuan Radit pada wanita paruh baya itu.

Setelah menunggu di ruang tamu, tak berapa lama mbok Ratmi keluar dengan nampan berisi teh panas kesukaan majikannya. "Mbok sehat?" Sapa Radit sopan.

"Alhamdulillah Mbok sehat Den, tapi Den Putri yang sakit sekarang. Suka pusing, gak mau makan, Den. Mbok suka sedih melihatnya," sahut Mbok Ratmi sedih.

"Sakit apa? Sudah ke dokter? Coba nanti aku tanya ya, Mbok," balas Radit terkejut.

"Jangan …  jangan tanya Den Putri, nanti dia marah. Disangka Mbok ngadu ke Den Bagus," sahut Mbok gugup.

"Baiklah, malam ini saya ajak dia makan, Mbok tenang aja, ya. Terima kasih sudah menjaga Dinda, ya Mbok," ujarnya sambil meraih cangkir teh hangat itu.

Tak berapa lama keluarlah Dinda dari kamarnya, melangkah santai dengan rok pendek batik yang membuat tubuhnya tampak kecil sekali. Rambut tergerai, sempurna dengan kacamata yang membingkai wajahnya.

Terpana Radit melihatnya, hingga dia tersadar dan pura-pura meminum teh kembali.

"Mbok malam ini saya pergi dengan Mas Radit, ya. Mungkin pulangnya agak malam. Supaya Mbok gak nunggu, saya bawa kunci sendiri, ya. Jadi Mbok bisa istirahat kalau sudah mengantuk," ujar Dinda pada Mbok dengan lembut.

"Iya Den, hati-hati, ya. Nanti pintu langsung Mbok kunci," sahut Mbok Ratmi patuh.

Ada rasa lega melihat kedua majikannya ini bisa kembali akur walau masih terpisahkan. Selalu ada doa terbaik untuk mereka yang tak pernah berhenti diucapkannya.

Maka keduanya berjalan beriringan, pintu mobil dibukakan untuk Dinda, dan Radit setengah berlari menuju pintu sebelah. Mobil melaju pelan keluar dari komplek, menyusuri jalan kota yang ramai. Masih dengan kebisuan dan pikiran, masing-masing dari mereka belum ada yang memulai pembicaraan. Kaku dan tegang mengingat perdebatan terakhir mereka di telepon. Dengan gelisah tangan Radit menekan tombol on radio, secara acak tanpa melihat frekuensi siarannya agar ada suara lain di dalam mobil. Sayup terdengar suara lembut Anji. Walau lagu sudah setengah dinyayikan, tetap saja membius mereka berdua.

 

Oh tuhan

Kucinta dia

Kusayang dia

Rindu dia, inginkan dia

Utuhkanlah rasa cinta dihatiku

Hanya padanya, untuk dia ….

Entah mengapa mendengar lagu ini mereka semakin membisu, tetapi Dinda dari kursinya tiba-tiba mengambil tisu dan mengelap sudut matanya yang berair. Radit masih diam membisu, bingung hendak berkata apa.

"Mas, aku kangen anak-anak, aku ingin liburan bersama mereka, semua udah aku persiapkan, Mas, tolong mengerti," ucap Dinda terbata-bata sambil beruai air mata.

Radit tak tega melihatnya, dia menyalahkan diri sendiri yang selalu lemah melihat air mata wanita terlebih itu adalah Dinda.

"Din, aku akan bilang ke Ibu bahwa mereka di Bandung cuma seminggu ya, setelah itu kamu bisa liburan ke Lombok sesuai rencana. Bisa kan?" bujuk Radit lembut.

"Tapi reservasi hotel? Travel? Tiket pesawat juga sudah aku bayar, dan tanggal tak mungkin bisa di batalkan," sesal Dinda masih berurai air mata.

"Aku ganti semuanya, sebagai bonus aku tambahkan satu tiket untuk Mbok Ratmi, ya. Kalian bisa berempat pergi berlibur," bujuk Radit masih dengan suara lembut dan bijaksana.

"Serius?" seru Dinda terkejut dengan ide Radit sambil menatap pria di sebelahnya dengan mata terbelalak.

Sambil mengangguk Radit menjawab, "iya aku janji, tapi jangan menagis lagi. Maafkan aku Din, sebelum anak-anak pergi kita pergi berenang bersama, ya? Mau kan, kita berenang?" Lelaki itu masih membujuk Dinda.

"Terima kasih ya Mas, tapi beneran ya, bilang Ibu di Bandung cuma seminggu," rajuk Dinda pada Radit.

"Iya seminggu, tidak lebih," ujar Radit menyakinkan.

Senyum mengembang dari bibir Dinda, dia menggengam tangan Radit sebagai ucapan terima kasih. Ada desir halus di relung hati Radit yang selalu menyiksanya. Sampai hari ini belum ada yang bisa mengisi jiwanya selain wanita di sampingnya ini. Tetapi entahlah, alam mempermainkan semuanya hingga ia dengan emosi mengabulkan permohonan cerai Dinda dua tahun yang lalu. Itulah penyesalan dan kebodohannya yang tak pernah dia maafkan.

Nasi sudah menjadi bubur, sekarang apapun dia lakukan demi kebahagiaan anak-anaknya dan Dinda walaupun status mereka bukan pasangam suami istri lagi, menjadi sahabat dan patner dalam mengurus anak juga tak mengapa ia lakukan.

Setelah suasana hati keduanya tenang, ada obrolan ringan dari keduanya. Bahkan Radit dengan lugasnya bercerita pekerjaannya, membicarakan beberapa teman kantor yang juga sudah dikenal Dinda, bahkan bercerita tentang Mang Marta, si tukang somay yang selalu menanyakan keberadaan Dinda bila Radit mampir makan somay.

Mobil memasuki jalan yang sangat padat, banyak berjajar jualan gerobak dan kaki lima. Mungkin bila jendela mobil dibuka, segala macam aroma masakan masuk tercium dan mereka menjadi kenyang.

Mencari tempat parkir agak susah bila malam hari di lokasi ini. Maka dengan sigap Radit memarkir mobilnya dekat dengan pohon, setelah mobil berhenti dan mesin dimatikan, Radit menoleh ke samping sambil tersenyum.

"Silakan Tuan Putri, kita makan malam di Seafood Bulan. Aku kangen makan udang saos tiramnya," ujar Radit sambil bergaya seperti mempersilahkan tuan putri.

"Hahaha, aku pengen makan cap cay goreng, dan puyunghay pedas," balas Dinda.

"Kamu boleh pesan apapun dan makan sebanyak apapun. Kamu terlalu kurus, kaya orang gak makan seabad," celetuknya sambil melirik, membuat Dinda tertawa.

Mereka berdua tertawa sambil melangkah turun. Karena kedai ini adalah tempat makan favorit mereka, maka keakraban dengan pemilik sudah terjalin. Ada pertanyaan dari pemilik kedai mengapa mereka jarang kesini dan dengan ringan Dinda menjawab mereka lagi semedi, jadi gak bisa sering ke sini. Maka tertawalah mereka semua mendengar jawaban konyol Dinda.

Makan malam itu sungguh membahagiakan. Ada tawa lepas serta kepercayaan yang kembali terjalin. Amarah menguap entah ke mana, ada gurat bahagia yang tampak dari keduanya.

Sampailah mobil berhenti di depan rumah, mesin dimatikan tetapi keduanya masih mengobrol dan enggan mengakhiri. Tersadar karena ada sorot lampu mobil dari depan, maka Dinda tersenyum, menoleh dengan mengucapkan terima kasih pada Radit untuk traktiran makan malamnya.

"Makasih ya, Mas, udah ditraktir. Salam buat anak-anak, titip peluk dan cium buat mereka," kata Dinda lembut.

"Sini ..." sahut Radit sambil menyodorkan pipinya untuk dicium.

"Enak aja, itu namanya ambil kesempatan," sahut Dinda sambil mendorong bahu Radit dan tertawa.

"Lho, katanya titip cium? Salahnya di mana? Ya harus cium dong, baru nanti titipannya aku sampaikan," ujarnya  dengan wajah lugu sambil menahan tawa.

Tak ingin memperpanjang, Dinda langsung membuka pintu mobil melangkah turun. Ia melambaikan tangan pada Radit yang masih di dalam mobil. Memastikan sampai  Dinda masuk ke dalam rumah, barulah Radit melaju pulang dengan mobilnya. Ada bahagia untuk malam ini yang mereka simpan di hati.

 

***

Di ruang tamu yang sejuk ini Nita berusaha bersikap tenang dan santai. Ada dua cangkir teh panas serta sepiring lumpia hangat tersedia, tetapi selera makannya beberapa hari ini hilang. Padahal biasanya dia akan menghabiskan beberapa potong lumpia dalam sekejap. Karena tak bisa dipungkiri lumpia buatan sahabatnya ini adalah yang terenak. Sering dia menggoda sahabatnya memiliki mantra yang didapatkannya dari bertapa di gunung yang dihuni sekelompok jin koki, dan Dinda diberikan resep ajaib agar semua masakannya terasa enak di lidah orang.

Dari arah dapur muncul si tuan rumahnya, sore ini wajahnya bersemu merah entah karena bahagia atau karena seharian di dapur terkena hawa panas kompor. Dia berdiri dan memberikan pelukan hangat. Kali ini didekapnya sahabatnya itu lebih erat seolah ingin berbagi energi karena sebentar lagi akan memberitahukan hasil diagnosa.

"Nunggu lama, ya? Maaf, nanggung habis siapkan pesenan buat               Bu Mirna, ada arisan di rumahnya. Sekarang sudah beres, Mbok sudah pergi mengantar," sapanya ramah menjelaskan kegiatannya di dapur.

"Iya gak apa, kaya sama siapa aja," sahut Nita sambil meneguk teh dari cangkirnya, berusaha menutupi rasa gugup.

"Kamu kesini mau kasih tau hasil lab, kan? Gimana bersih, kan? Kamu ngeyel sih, dibilang sok mentang-mentang dokter spesialis jadi tahu apapun soal penyakit dalam," sahutnya sambil tertawa.

Nita tersenyum berusaha tenang lalu diambilnya amplop putih dari dalam tasnya. Sejenak dibacanya nama yang tertera seolah memastikan benar itu milik Dinda.

Diraihnya amplop itu oleh Dinda, dibukanya perlahan lalu dibentangkannya lembaran yang berisi tabel angka dan istilah kedokteran yang tidak dipahaminya.

"Jadi begini Din, berdasar hasil lab dan foto scan, di dalam ovariummu terdapat benjolan. Nah, aku gak tahu itu berbahaya apa bukan, kecuali kamu mau menjalani operasi biopsi. Jadi kita harus menjalani operasi dulu untuk mengambil sampel dari sel itu. Setelah dilakukan penelitian nanti, baru ketahuan sel itu berbahaya atau tidak. Kalau berbahaya kita harus menjalani rangkaian pengobatan panjang termasuk kemo agar sel itu bersih," dijelaskannya panjang lebar, sambil berusaha ia tepis segala gundahnya agar ia sendiri tegar menghadapi pertemuan sore ini.

"Intinya aku positif kanker?" gumam Dinda dengan suara yang lirih.

"Belum pasti, harus ada operasi biopsi dulu yang aku sarankan harus segera dilakukan," ujar Nita.

"Bullshit! Jangan menghiburku, aku cuma ingin kamu jelaskan apa yang terjadi bila aku tak menjalani semua yang kau sarankan! Tolong jelaskan bagaimana tubuhku sebulan lagi? Tiga bulan lagi? Setahun lagi? Dua tahun lagi? Atau mungkin umurku tinggal beberapa bulan lagi?” Dinda histeris dan Nita tahu ini aka terjadi.  “Jawab! Tolong jawab yang jujur kalau kau sahabatku!"

Nita sangat paham apa yang terjadi pada seseorang yang baru menerima kenyataan bahwa dia pengidap kanker, histeris ini biasa dia hadapi dengan beberapa pasien. Maka dia berusaha tenang.

"Dinda tolong tenang, dan pahami … aku pun berat menerima kenyataan. Aku harus berusaha menempatkan diri sebagai dokter tapi nuraniku menolak, dan berkata bahwa aku adalah sahabatmu, orang yang sangat menyayangimu. Akupun sama sedihnya dengan dirimu," tuturnya dengan  suara lirih.

Sementara Dinda berusaha tenang menatap Nita dengan tajam tapi sangat terkejut menerima kenyataan. Ia berusaha untuk tidak menangis di hadapan Nita.

"Tolong beri tahu aku Nita, agar aku bisa mempersiapkan semuanya sendiri," ucapnya pelan nyaris tak terdengar.

"Kamu tidak sendiri, ada aku! Kamu harus berjuang melawannya, dia harus dilawan dan kamu harus kuat!" teriak Nita lepas kontrol.

"Tolong katakan, aku mau mendengarnya," sahut Dinda dengan suara bergetar.

"Bila kamu tetap tidak mau menjalani biopsi, kami tidak tahu itu ganas atau tidak. Bila itu ternyata ganas, sel kanker itu cepat sekali menyebar bukan hitungan bulan atau minggu tetapi hitungan jam bahkan detik. Dia menyebar, menyerang bagian organ kita yang lemah. Benjolanmu ada di ovarium, dia menghalangi dan menyumbat, itu salah satu penyebab kau tidak menstruasi selama 4 bulan ini.” Dinda mengalihkan pandangan sejenak, berusaha kuat menahan tangis.

“Tubuhmu memberi sinyal dan kita harus segera merespon. Istilahnya ada organ yang meminta tolong padamu untuk diselamatkan, maka harusnya kamu segera memberi pertolongan. Bahkan aku tidak tahu seberapa berbahayanya sel itu, aku tak ingin terlambat hingga kamu dinyatakan stadium 4. Itu berarti kita hanya tinggal menunggu waktu. Jadi tolong, Din, bila kau mau sekali ini saja mendengar, mari segera kita lakukan biopsi.”

Setelah itu Nita tak lagi bisa menahan isak tangisnya. Rasanya seperti mengeluarkan gumpalan batu yang menahan hatinya. Antara lega dan sedih. Dinda pun menagis tak kuasa bertahan.  Dua sahabat itu berpelukan menumpahkan segalanya sambil saling menguatkan.

***

Hidup seperti gulita yang dirasakan Dinda. Tak ada gairah, sepanjang malam ia hanya mengurung diri di kamar, bahkan tidak keluar untuk makan. Mbok Ratmi merasa ada yang aneh tetapi berusaha menenangkan diri. Diketuknya pintu kamar Dinda, tapi tak ada yang menyahut. Sekilas didengarnya suara isak tangis dari dalam kamar, maka dia dengan gemetar menekan nomor telepon Radit.

Mbok Ratmi tak ingin ada sesuatu yang terjadi pada Dinda. Setelah menjelaskan semuanya, Mbok menganguk angguk sambil menangis mendengarkan perintah dari seberang telepon.

Tak lama suara mobil berhenti di depan rumah, Mbok Ratmi tergopoh membuka pintu depan sehingga Radit masuk masih menggunakan pakaian kerjanya. Dengan langkah tenang dia menghampiri pintu kamar Dinda, diketuknya dengan pelan sambil memanggil, "Din ... Dinda, tolong buka pintunya. Ada apa?" ujar Radit dengan suara lembut, dia tahu ini pasti masalah serius hingga Dinda seperti ini.

Dinda dari dalam mendengar sayup suara Radit, kenapa harus hari ini dia datang? Di saat dia ingin sendiri menumpahkan seluruh sedihnya, kenapa harus Radit yang menemuinya? Tetapi suara ketukan pintu terus dia dengar dan Dinda tahu Radit tak akan menyerah sampai dia bisa membuka pintu itu. Maka dengan lemah dipaksakannya bangun meraih kunci dan membukanya.

Benar saja, dihadapannya berdiri Radit dengan tatapan bingung. Tak kuasa lagi, dipeluknya lelaki itu seolah ingin menumpahkan segala sakit dan air mata agar kesedihannya berkurang. Dengan sigap didekapnya Dinda, dibaginya energi agar wanita itu bisa tenang lalu dibimbingnya Dinda ke ruang tamu. Didudukkannya Dinda pada kursi hingga bisa ditatapnya wajah wanita. Lalu setelah tenang di sodorkannya air putih segelas. Diminumnya air itu oleh Dinda lalu ia menarik nafas panjang dan menatap Radit.

"Ada apa?" Tanya Radit lembut.

"Aku akan mati, tolong jaga anak-anak. Bila kau menikah, pastikan dia wanita baik yang bisa menjaga anak-anakku, katakan pada istrimu jangan pernah dia memukul anakku." Dengan tersendat Dinda berbicara sambil berurai air mata.

Masih bingung Radit dengan semua pernyataan Dinda, tetapi dia tetap tenang.

"Hari ini Nita menjelaskan hasil labku. Ternyata ada benjolan di ovariumku, aku harus operasi biopsi untuk mengetahui jenis sel itu. Tapi aku sudah yakin itu kanker, aku sudah tahu itu sel kanker karena aku merasakan sakit sekali. Aku tak ingin melakukan rangkaian hal bodoh karena pada akhirnya aku akan mati juga," tutur Dinda dengan suaranya yang pelan menjelaskan pada Radit yang tampak kaget.

"Biarkan anak-anak liburan di Bandung, aku tak ingin mereka melihatku dalam kondisi sakit, biarkan aku sendiri dan kau jangan kesini lagi. Aku tak mau kau datang dengan muka kasihan padaku, biarkan aku sendiri." Wanita itu tetap berbicara dengan suara pelan.

Radit masih tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia terdiam tak bergerak seperti patung dan dengan tenang direngkuhnya tubuh Dinda dalam dekapannya. Maka tak kuasa Dinda menangis tersedu dalam pelukan Radit.

 

***

 

Benar saja sepertinya sel kanker itu lebih kuat, berusaha menguasai tubuh Dinda. Sekarang Dinda sudah sangat susah berdiri, buang air sudah menjadi siksaan untuk dirinya bahkan dudukpun dia sudah kesakitan. Operasi biopsi sudah dijalani, dengan hasil yang menunjukkan ia positif kanker. Dengan begitu ia harus melakukan rangkaian kemoterapi dan itu sangat menyiksa.

Semua orang di sekeliling Dinda berusaha membuatnya senang, bahkan anak-anak sering menginap di rumah Dinda. Tamu tetap di rumah itu adalah Radit dan Nita. Tanpa diminta Radit selalu mengantarkannya untuk menjalani kemoterapi di rumah sakit.

Ini adalah kemo keempat, dan kondisi Dinda sangat menurun dratis bahkan untuk berjalanpun dia susah.

Saat sedang bersiap untuk pergi ke rumah sakit, tiba-tiba dia merasakan nyeri yang sangat di bagian pinggulnya yang membuat dia menghentikan menyisir rambut dan berusaha menahan sakitnya.

"Ayah, liat Bunda kesakitan," kata Mita anak keduanya.

Sontak Radit yang menunggu di ruang tamu berlari ke kamar Dinda. Dipegangnya tangan Dinda sambil dituntunnya beristigfar. Dia tahu Dinda sangat kesakitan dan Radit tidak tega melihatnya. Maka dibaringkannya Dinda di tempat tidur, sementara ia duduk di samping tempat tidur dengan perasaan gundah. Setelah menelepon Nita mengabarkan kondisi Dinda dan meminta pembatalan jadwal kemo hari ini, diselimutinya Dinda. Radit meminta Mbok Ratmi membuat teh hangat yang tidak terlalu manis untuk Dinda, dan meminta anak-anaknya bermain di luar agar Bunda bisa istirahat.

"Dinda, aku tidak tahu waktu yang pantas untuk mengatakannya, aku ingin kita rujuk, agar aku bisa merawatmu, kita bisa kumpul dengan anak-anak. Kumhon terima aku kembali demi anak-anak dan kita," ujar Radit sambil menggengam tangan Dinda.

 

Tak ada sepatah katapun yang diucapkan Dinda, tetapi tangan Radit digenggamnya dengan erat pertanda Dinda menerimanya kembali sebagai suami. Maka segera ia meminta ijin mengabarkan orang tua Dinda tentang berita rujuknya mereka berharap restu dari orang tua mereka.

Sejak itu berkumpulah mereka kembali di rumah kontrakan itu, bahkan Eyang sering datang mengunjungi Dinda. Eyang sepertinya banyak berubah menjadi lebih sabar dan lembut menghadapi Dinda.

Tiba-tiba Eyang sudah datang dengan membawa singkong rebus, pisang rebus sebagai camilan Dinda. Duduk berdua sambil mengobrol bahkan mereka berbagi resep masakan, hal yang sangat mustahil dulu dilakukan.

Semua berharap perubahan untuk kebaikan Dinda yang kondisinya semakin menurun, kadang tiga hari Dinda tak bisa bergerak, badannya semua sakit dan terasa kaku bahkan untuk tertawa saja dia meringis kesakitan. Tetapi Dinda sudah pasrah dengan kondisinya, yang membuatnya yakin adalah adanya keluarga yang mendukungnya. Radit yang tak pernah lelah menemaninya, bahkan dengan sabar selalu menjadi tumpahan emosi Dinda yang tidak stabil akibat rasa depresi menjalani kemoterapi.

Rambut Dinda sudah mulai rontok, saat sisiran ada banyak helai rambut yang jatuh ke lantai dan bahunya. Di beberapa bagian kulit tampak hitam dan lebam, itu semua pengaruh cairan biru kemoterapi. Setiap habis menjalani kemoterapi, Dinda akan disiksa dengan rasa mual yang sangat, serta rasa sakit seperti terbakar di tenggorokan bahkan untuk meneguk airpun sudah menjadi siksaan.

Malam hari tak pernah bisa tertidur, maka Radit akan menemaninya bergadang, sekedar memeluknya dalam walau dalam diam, seolah memberi kekuatan. Bahkan untuk meninggalkannya bekerja selalu ada rasa khawatir yang sangat. Ia memastikan anak-anak menemani Bundanya saat siang, walau sekedar membaca buku atau main game tetap mereka lakukan di dekat Bunda.

Aktivitas yang sangat terbatas membuat Dinda frustasi, marah pada diri sendiri, merasa putus asa dan mogok tidak mau melanjutkan kemo. Dibutuhkan kesabaran dari orang-orang disekelilingnya.

Besok adalah jadwal kemo, tapi Dinda selalu emosi bila diingatkan soal kemo. Seperti malam ini, setelah kedua anaknya datang ke kamar untuk mencium pipi dan pamit tidur bukannya bahagia tetapi Dinda malah marah, dan ditumpahkannya amarah itu pada Radit.

"Aku sudah macam mayat hidup, hanya tidur di kamar bahkan untuk dudukpun aku tak sanggup. Aku Ibu yang tak berguna, bahkan anakku yang mengalah padaku," ucapnya emosi.

"Dinda, anak-anak bahagia menemanimu, coba kau lihat bagaimana Rangga menjadi sangat bertanggung jawab. Mita menjadi gadis yang mandiri, dan harusnya kamu bahagia," sahut Radit sabar.

"Aku Ibu yang tak tahu diri, mungkin aku tak akan sempat melihat Rangga kuliah, atau aku sudah tak ada saat Mita menstruasi pertama, bahkan aku tak akan pernah mendengar cerita mereka tentang teman sekolahnya nanti, aku tak bisa menemani mereka wisuda. Pasti aku sudah tak ada bila momen bahagia itu terjadi.” Dinda meracaukan hal-hal yang menghantuinya akhir-akhir ini. Penuh emosi, tangisnya luruh dalam pelukan Radit.

"Hei kenapa kamu menangis? Aku ingin kamu ada saat semua momen itu terjadi. Maka dengarkan aku, berjuanglah untuk sembuh, beri aku kesempatan untuk menebus semua kesalahanku, jangan kau siksa aku dengan rasa bersalah Dinda. Aku ingin sekali mengajakmu dan anak-anak liburan ke Lombok tapi kamu harus sehat karena aku tak ingin menggendongmu menuruni tangga untuk mencapai air terjun, aku ingin melihatmu bermain ombak bersama anak- anak, aku ingin mereka menimbun kita dengan pasir dalam posisi berpelukan. Jadi tolong sembuh, jalani kemo ya? Besok aku antar kemo, ya?" ujar Radit dengan suara bergetar hinnga tak sadar mengeluarkan air mata.

Tak pernah Dinda melihat Radit menangis hingga tak kuasa dia menganggukan kepala tanda setuju untuk melanjutkan kemo. Malam itu mereka tidur berpelukan seolah tak ingin terpisahkan.

 

***

Hari ini seperti janjinya Dinda mau menjalani kemoterapi yang ke 6. Bajunya tampak kedodoran, dikenakannya topi cantik untukmmenutupi kepalanya yang botak. Dinda membutuhkan kursi roda untuk mengurangi rasa sakit bila ia paksakan berjalan, tapi hari ini ada senyum dan binar di matanya.

Semangat untuk sembuh, karena ia ingin menemani suami dan anaknya tumbuh besar. Pagi ini anak-anak berpamitan sekolah, meminta Bunda untuk membuatkan soto ayam sebagai menu makan siang mereka. Dengan tawa Dinda menyanggupi, dan diberikannya uang pada Mbok Ratmi untuk membeli ayam dan menyuruhnya masak soto pesanan anak-anak. Sekalian dia pamit untuk pergi kemo, anggukan bahagia dan syukur wanita tua itu karena majikannya bersemangat kembali.

Sesaat sebelum memasuki ruangan kemo, Dinda meminta ponsel Radit. Setelah diberikan makan dengan tenaga yang ada dia berusaha mengetik sesuatu.

Setiamu akan ku bayar suatu hari nanti

Sabarmu akan kugangi dengan malam panjang yang tak pernah berganti siang

Tabahmu akan kubalas dengan pengabdian seumur hidupku

Kasihmu telah mampu membuatku kembali hidup, merasa menjadi wanitamu yang teristimewa

 

Lalu benda itu diberikan kembali pada Radit, dibacanya perlahan, tak terasa air mata Radit keluar. Dipeluknya wanita yang duduk di kursi roda itu sambil berbisik, “Aku mencintaimu dulu, sekarang dan nanti Dinda Febria. Beri aku kesempatan kedua untuk sepenuhnya membahagiakanmu. Sembuhlah untuk aku dan anak-anak," ucapnya lirih sambil menangis.

 

Dari koridor, dokter Yuanita Ambara, sahabat mereka berdua melihat dan bisa merasakan kekuatan cinta mereka. Tak kuasa ikut menangis hingga ditahannya langkah suster yang ada di sampingnya, seolah memberikan waktu bagi kedua pasangan itu untuk menikmati waktu mereka lebih lama. Karena dengan kembalinya Dinda menjalani kemoterapi maka ada harapan untuknya kembali hidup. Dan dia tahu siapa yang berhasil meluluhkan kekerasan hati Dinda, serta dia yakin untuk siapa Dinda mau berjuang hidup dan melawan sel kanker itu.

Doa terindah untuk mereka yang bisa melewati fase di mana harus saling memberi semangat untuk melawan kanker, karena dibutuhkan energi positif untuk kembali berjuang hidup.

 

 

Note: cerita ini saya persembahkan untuk semua pasangan yang sedang berjuang melawan kanker. Kesempatan kedua itu pasti ada.

Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.