Aku yang Tak Layak
1.
Siang itu Jakarta sedang diguyur hujan, ini hujan pertama sejak musim panas melanda Indonesia. Kali ini pemerintah bergerak cepat sehingga banjir hanya terjadi di beberapa titik. Di sebuah kedai kopi, Dhiandra sedang berkumpul dengan teman – temannya. Mereka sedang membahas rencana membuka usaha bersama. Enri yang berpengalaman dalam dunia kuliner, Timo yang mempunyai pengalaman dalam berbisnis, dan Rio yang punya basic Event Organizer berkumpul membahas rencana pembukaan usaha meraka yang tinggal beberapa hari.
Selama meeting ada yang menganggu pikiran Dhiandra, dia tidak bisa berkonsentrasi penuh dengan apa yang sedang teman – temannya bicarakan. Pikiran Dhiandra lari ke mana – mana.
“Ra, lu lagi kenapa sih. Lu lagi ada masalah?” Timo yang sedari tadi merasa ada yang salah dengan Dhiandra akhirnya bertanya.
“Eh, enggak kok. Gue gak papa.” Jawab Dhiandra sedikit gelagapan karena pertanyaan dadakan.
“Udahlah Ra, lu jujur aja. Lagi mikirin apaan sih? Serius banget kayaknya.” Rio ikut menimpali “Pasti soal cowok nih, acieeeee yuhuuuy” Rio menggoda.
“Apaan sih O, gak tahu”. Dhiandra menatap sinis Rio enggan digoda makhluk satu itu. “Beneran gue gak papa”. Dhiandra meyakinkan yang lain, senyum tersimpul di bibirnya namun sorot matanya tetap gelisah.
Akhir – akhir ini, Dhiandra memang sedang memikirkan berbagai hal selain pekerjaan dan usaha yang sedang mereka bangun. Dhiandra yang tahun ini menginjak usia yang pas untuk menikah, diserang oleh berbagai pertanyaan tentang siapa calonnya, kapan nikah, dan berbagai pertanyaan tentang pernikahan lainnya yang bukan hanya datang dari keluarga atau temannya, bahkan datang dari orang lain yang kebetulan bertemu – ngobrol dengannya.
Tapi, Dhiandra tidak pernah terusik dengan pertanyaan – pertanyaan itu. Dhiandra selalu menganggapnya angin lalu, terlebih Dhiandra masih mencari alasan untuk apa menikah? Kenapa harus menikah? Tapi hari itu, Dhiandra menemukan satu pertanyaan yang berhasil mengguncang hati dan pikirannya.
Dhiandra teringat percakapan yang tak sengaja dia dengar sebelum teman – temannya sampai. Percakapan dua orang gadis seumurannya yang duduk di meja sebrang yang kebetulan suaranya cukup jelas bisa didengar oleh Dhiandra bahkan pengunjung kafe yang lain. Salah satu perempuan yang berambut pirang menggebu menceritakan seperti apa pasangan yang dia inginkan.
“Gue ya, kalau milih calon harus berasal dari keluarga yang hangat, Bahagia, jarang bertengkar, pokoknya harus dari keluarga yang harmonis. Kalau gak gitu, gue mending putus, nyari yang lain. Toh keluarga gue aja dari keluarga baik - baik masa calon gue enggak.” Tutup perempuan itu dengan nada yang cukup sinis
Perempuan di sampingnya mencoba mencerna ucapannya kemudian berpendapat, “Yakin? meskipun ternyata orang yang lu sukanya baik – baik aja?”
“Yakin” kata perempuan pirang itu tegas.
“Lu harus tahu, orang yang berasal dari keluarga berantakan, sering berantem, terus ekonominya rendah hidupnya gak bakal bener. Pasti bakal banyak yang dia sembunyiin, terus pas nanti udah nikah, pernikahannya bakal gak jauh beda sama orang tuanya”. Si perempuan pirang meyakinkan.
“Enggak semua kali, banyak kok yang berakhir Bahagia. Ya, meskipun gak sedikit yang berakhiran sama”. perempuan yang satu mencoba memberikan pandangan lain
“Iya, tapi gue memilih menghindari dari pada masuk kelompok yang “gak sedikit” itu. Coba deh lu pikirin. Emang ada cowok dari keluarga baik - baik yang mau sama cewek yang keluarganya berantakan?” tanya si perempuan pirang lagi.
Deg, mendegar pertanyaan itu membuat Dhiandra terasa ditinju langsung di ulu hatinya.
Dhiandra Kembali teringat akan siapa dirinya, berasal dan dibesarkan di keluarga seperti apa. Semua ingatan tentang keluarganya seolah langsung hadir pada saat itu. Dhiandra ingat sejak kecil kehidupannya diselimuti dengan pertengkaran orang tua, sejak pertamakali bisa mengingat sesuatu yang diingatnya adalah kata – kata kasar yang dilontarkan orang tuanya setiap kali berselisih, dia yang setiap malam harus menutup telinga tat kala orang tuanya bertengkar hebat yang alasannya tak Dhiandra pamahi.
Dhiandra yang menyadari bahwa kondisi keluarganya tak berubah hingga saat ini. Meski orang tuanya sudah setengah baya, meski dirinya kini menginjak usia dewasa, keadaan rumah dan keluarganya selalu sama, bahkan terasa jauh lebih mengerikan karena Dhiandra paham betul apa yang mereka pertengkarkan, kata – kata kasar yang mereka lontarkan, Dhiandra semakin sakit saat mengingat bahwa hingga kini dia masih harus menyaksikan pertengkaran dan kondisi keluarganya yang seperti itu.
“Apa aku tak layak?”
“Apakah aku tak berhak dipilih kemudian Bahagia?”
“Apa aku akan menjadi sumber petaka orang lain karena berasal dari keluarga seperti itu?”
“Apa aku memang tak sepantasnya dilihat sebagai pribadi yang berbeda?”
“Apa tidak ada ruang untukku karena berasal dari keluarga seperti ini?”
“Apa aku…benar – benar tak layak”.
Semua tanya itu memenuhi kepala Dhiandra.
“Mo, pas kemarin lu nikah sebelumnya lu nyari tahu dulu gak gimana keluarga calon istri? Dan seberapa penting menurut lu keluarga calon lu?” Dhiandra refleks bertanya dengan nada yang coba dia buat sesantai mungkin.
Semua terkaget mendengar pertanyaan Dhiandra karena ini kali pertama temannya ini menanyakan hal- hal seperti ini. Dhiandra adalah satu – satunya yang menutup rapat tentang masalah pribadinya, terutama yang berkaitan dengan keluarga dan pasangan.
“Widiiiih, tuh kan beneeeeeer ada yang punya calon nih. Kenalin napa, simpen sendiri mulu, kita perlu perayaan kali Ra” Rio usil menggoda
“Aisssh, lu diem dulu napa O. gue lagi nanya Timo nih, kalau lu mau jawab sih gak papa” Dhiandra kesal tapi ditutupinya dengan nada becanda
“Serius itu pertanyaan lu Ra?” Rio masih menggoda Dhiandra
“Becanda O, kagak usah dipikirin”. Akhirnya Dhiandra memilih menghindar
“Ra, bagi gue yang terpenting adalah istri gue. Mau keluarganya kayak gimana kalau pasangan guenya gak seusai sama gue ya susah, apalagi kalau ditambah keluarganya yang mungkin sering buat kita gak nyaman. Tapi, kalau pasangan guenya enak diajak diskusi, enak diajak hang out bareng, bawaanya selalu bikin gue nyaman, ya kenapa enggak. Apapun bentuk keluarganya” Timo tidak menghiraukan Rio, dia menjawab pertanyaan itu dengan serius. Timo ingin tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan Dhiandra.
“Tapi gue enggak, bagi gue pas milih pasangan harus dilihat 4 hal. Keluarga, Harta, Rupa, Agama”. Rio tak sependapat
“Kalau salah satu dari itu gak baik berarti lu mundur O?” Dhiandra lebih tertarik dengan jawaban Rio
“Iya, coba lu pikir. Keluarga adalah tempat dia belajar segala hal pertama kali, apa yang dia dapatkan di keluarga sudah barang tentu akan sangat melekat di dia. Orang tuanya keras, anaknya pasti ikut keras. Orang tuanya sering berantem, anaknyapun pas nikah akan memiliki kecenderungan ke arah sana. Lu mau nikah terus pernikahan lu isinya berantem mulu? Gue sih ogah”. Ada kesongongan di nada bicara Rio
Dhiandra mencoba tetap tersenyum mendengar jawaban Rio, jika dipikir secara logika memang apa yang dikatakan Rio adalah kemungkinan yang paling mungkin terjadi. Dhiandra ingat soal pola asuh anak akan berpengaruh kepada bagaimana anak itu akan mengasuh anaknya suatu hari nanti. Pola berkelanjutan.
“Gue setuju sama lu O. Itu juga yang jadi pertimbangan gue pas dulu batal lanjut sama yang sebelumnya. Keluarganya terlalu berpengaruh ke arah yang tidak baik, jadi gue milih mundur. Beruntung keluarga istri gue sekarang semuanya baik”. Timo menimpali
Dhiandra kaget mendengar pernyataan Timo, ternyata Timopun sama dengan pemikiran orang – orang kebanyakan. Dhiandra semakin merasa tak layak.
“Tapi… itu dulu. Pemikiran gue sempit banget dulu. Toh yang paling utama yang harus lu lihat dari pasangan lu adalah agamanya. Dan inget, yang akan menikah adalah kita dan pasangan, bukan keluarga kita”. Lanjut Timo
“Tapi Mo, soal agama emang paling utama tapi inget juga pernikahan itu bukan cuma antar dua insan tapi antar dua keluarga besar. Kalau keluarga besar gak cocok, jangan harap ke depannya baik – baik saja”. Rio tetap dengan pemikirannya
“Setuju”. Sahut Dhiandra, menurutnya memang itulah yang terjadi di keluarganya. Salah dari awal, keluarga besar ayahnya yang tak bisa menerima pernikahan orang tuanya, kemudian memperlakukan ibunya dengan tidak baik yang berakhir dengan habisnya kesabaran ibu Dhiandra, maka terjadilah pertengkaran yang hampir setiap saat.
“Iya kan Ra”. Rio bangga ada yang setuju pendapatnya
Dhiandra mengangguk
“Iya, tapi masih bisa dibicarakan”. Timo kurang setuju
“Lu bisa ngomong kayak gitu karena istri lu dari keluarga baik – baik Mo, beda cerita kalau bukan dari keluarga baik - baik”. Rio langsung menyanggah. Timo akhirnya memilih diam.
“Ri, lu diem bae. Setujukan lu sama gue?” Rio gemas karena Enri tidak berbicara satu patah katapun.
Enri hanya mengangkat bahunya
“Gak asyik lu ah”. Rio menyerah
“Meeting kita anggap beres aja ya, hasilnya seperti pembahasan di awal. Soalnya gue harus langsung pergi nih ada property yang harus gue siapin sekarang sebelum launching”. Tutup Rio yang sedari tadi sudah melirik jam berkali – kali.
“Yowis, kita cukupkan dulu hari ini. Gue juga harus langsung pergi”. Timo menutup pertemuan itu kemudian mereka berpamitan.
Dhiandra pulang dengan Enri karena mereka satu arah, hari tiu Dhiandra semakin meyakinkan diri bahwa dia harus bersiap untuk mandiri dan tak berharap dengan sesuatu yang dinamakan pernikahan. Dhiandra semakin melabeli dirinya “Aku tak layak”.
“Enggak semua gitu kok Ra, percaya deh. Nanti kalau ada waktu kita diskusi lagi”. Enri membuyarkan pikiran Dhiandra.
Dapatkan reward khusus dengan mendukung The Writers.
List Reward dapat dilihat di: https://trakteer.id/the-writers/showcase.